SETRA GANDA MAYU (Gandamayu) adalah setra sebagai titik awal perjalanan bagi sang atman ke alam baka atau alam halus bhwah loka yang sebagaimana disebutkan majalah hindu raditya dalam mitos pohon angker dan kuburan, Setra Ganda Mayu berasal dari suku kata sansekerta yaitu :
➡ SETRA artinya kuburan,
➡ GANDA berarti harum dan
➡ MAYU berarti mayat.
Jadi Setra Ganda Mayu artinya, sebuah tempat di mana mayat (jenazah) manusia diperlakukan sedemikian rupa, sehingga di tempat inilah mayat-mayat dimuliakan atau diperlakukan dengan menghormatinya, sehingga roh dari mayat-mayat tersebut akhirnya memperoleh keharuman (kebahagiaan) di alam sana.
Inilah sebabnya, mengapa sesungguhnya setra atau kuburan merupakan tempat suci. Di setra menjadi salah satu tempat, di mana para keluarga dari orang yang meninggal dunia mendoakan roh atman orang tersebut supaya mendapat tempat di alam yang terang. Dengan demikian, setra dalam konsep Hindu Dharma bukanlah tempat membuang jenazah saja sebagaimana dapat dilihat dari penampakan fisik, tetapi setra juga merupakan titik awal perjalanan bagi sang roh ke alam baka yaitu alam halus bhwah loka).
Meskipun setra sejatinya merupakan areal yang disucikan, toh secara umum masyarakat menganggap tempat semacam itu sebagai tempat angker, entah itu di dunia Timur maupun Barat sekalipun. Paling tidak di belahan dunia Barat, kepercayaan akan kuburan kuno yang angker sering bisa kita saksikan dalam tayangan – tayangan film. Sementara di Nusantara, sebagian besar masyarakatnya memang mengasosiasikan kuburan sebagai tempat yang menyeramkan.
Di Bali, kuburan menjadi pusat berbagai ritual rahasia para praktisi ilmu gaib, terutama dari disiplin tantrik.
Vidya tantrik sebagai sebuah sadhana spiritual untuk mencapai pembebasan rohani, maupun
avidya tantrik yang mengembangkan magis destruktif, sama-sama menjadikan kuburan sebagai “laboratoriumnya.”
Dalam falsafah murni tantrik atau tantra, kuburan sebagai tempat berguru terbaik,
Di mana ruang ini memberikan manusia suatu kesadaran, bahwa manusia pada akhirnya menjadi tulang-belulang yang setara dengan seonggok sampah.
Dengan kesadaran, bahwa tubuh merupakan suatu materi yang tak kekal, maka para pengikut tantris melakukan perenungan (yoga sadhana) di kuburan untuk mencari hakikat yang lebih dalam dari fisik.
Dengan perenungan ini, seorang praktisi tantrik kemudian menemukan kesadaran rohani, sebagai suatu yang lebih mulai melampaui badan dan seluruh perhatian pun kemudian dipusatkan kepada keberadaan dan pertumbuhan rohani ini.
Dalam lontar-lontar disebutkan, kalau sejumlah orang suci mencapai pencerahan di kuburan, misalnya Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Mpu Bradah, dan lain-lain. Kuburan sangat baik di dalam membantu manusia menumbuhkan rasa pasrah dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dengan kepasrahan dan ketulusan ini, sadhana spiritual bisa berhasil lebih cepat.
Inilah keutamaan kuburan. Hanya saja, karena di Bali
mungkin dalam sejarahnya, yang melakukan ritual yadnya rahasia di kuburan lebih sering para penganut avidya tantrik, atau mereka yang termotivasi berbuat jahat, akhirnya citra kuburan sebagai tempat suci berubah menjadi tempat menyeramkan, leteh (cuntaka), sumber kejahatan dan sebagainya.
Citra kuburan sebagai tempat angker juga dipengaruhi pengalaman sejumlah orang yang pernah melihat hantu kuburan dan menjadi sumber ketakutan bagi banyak orang.
Sesungguhnya hantu kuburan ini adalah badan etheris dari jazad orang yang meninggal dan baru dikubur,
Badan etheris terbentuk dari bahan yang amat halus yang tak dapat ditangkap dengan indra biasa.
Badan etheris ini merupakan pasangan badan fisik dan bentuknya pun serupa.
Bila seseorang masih hidup, maka badan etheris bisa dipisahkan dengan badan fisik, tetapi tak bisa berada jauh dari tubuh fisik.
Pada saat kematian, atman (sang aku; sarira kosha) ke luar badan bersama-sama dengan badan etheris.
Dan seseorang benar-benar dikatakan meninggal dunia, bila benang penghubung (sutratman) antara badan fisik dan badan etheris terputus dan jika belum terputus, badan etheris inilah yang sering nampak sebagai hantu kuburan yang bisa dilihat oleh orang yang peka.
Selama benang penghubung (sutratman) antara badan fisik dan badan etheris belum terputus, maka selama itu pula orang yang walaupun sudah dikatakan mengalami proses kematian, dia dapat hidup kembali, pada detik terputusnya tali sutratman inilah kita mati dan tidak mungkin lagi untuk hidup kembali. Bersamaan dengan putusnya tali sutratman tadi yang dalam upacara ngaben disebutkan menggunakan tirtha pengentas sebagai pemutus ikatan tersebut sehingga prana di ubun-ubun juga buyar, kembali kepada samudera besar energi prana (kehidupan) yang universal. Maka hal ini sangatlah prinsip dalam perjalanan suci sang atman ke alam baka.
sumber: beritasatu, sejarahharirayahindu