1. Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari :मत्स्य; IAST:
matsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata
matsya sendiri
berarti ikan.
Suatu ketika Brahma yang kelelahan
setelah selesai menciptakan suatu Yuga memutuskan untuk tidur dan
beristirahat. Kala Brahma tengah tertidur itulah, sesosok Ashura bernama
bernama Hayagriva memasuki Brahmaloka dan mencuri Veda dari Brahma.
Wisnu yang tengah mengawasi dunia dari Vaikuntha langsung menyadari
bahwa ada sesuatu yang diambil dari Brahmaloka. Ia juga melihat sang
Ashura Hayagriva turun dari Brahmaloka dan menyelam ke dalam laut,
bersembunyi di sana.
Di saat yang sama Wisnu melihat seorang raja (Manu / Prajapati) bernama
Vaivasvata Manu sudah sejak lama berdoa supaya ia bisa bertemu dengan
Wisnu. Karena meskipun ia putra Brahma, sulit sekali baginya untuk bisa
bertemu Wisnu. Sadar bahwa Veda akan jadi sangat berbahaya di tangan
Ashura, Wisnu akhirnya turun ke dunia dan menjelma menjadi seekor ikan
kecil yang berenang di sungai tempat Manu Vaivasvata biasa minum dan
berdoa. Saat
Sang Manu menangkupkan tangannya untuk minum, ia mendapati seekor ikan
kecil di antara kedua tangannya. Ikan kecil itu memohon agar Sang Manu
bersedia membawanya menjauh dari sungai. Sang Manu menyanggupi
permohonan Sang Ikan dan memasukkan ikan itu ke dalam kamandalam – teko
air dari bahan logam – miliknya. Sesampainya di istana ia tetap
membiarkan sang ikan dalam kamandalam, namun esok harinya ia mendengar
si ikan berteriak minta tolong dan mendapati Sang Ikan sudah membesar
seukuran kamandalamnya. Ia segera memasukkan ikan itu ke dalam tempayan
dan tak lama kemudian ikan itu tumbuh sebesar tempayan, ia beralih
menuang ikan itu ke dalam gentong air dan didapatinya ikan itu kembali
membesar dengan kecepatan luar biasa. Karena kehabisan akal, Sang Manu segera membopong ikan itu ke sungai
tempat ia menemukannya dan menceburkan ikan itu ke sungai itu. Sekali
lagi ikan itu membesar dengan kecepatan yang tidak wajar. Pada akhirnya
Sang Manu memutuskan melempar ikan itu ke laut dan saat itu jugalah ikan
itu membesar ke ukuran maksimalnya dan sebuah tanduk tumbuh di dahinya.
Ukurannya ini melebihi ukuran Ashura manapun yang ada di bumi saat itu. Sang
Manu langsung bersimpuh ketika menyadari siapa sebenarnya ikan ini.
Manu Vaivasvata menyatakan diri bersedia memberikan pertolongan apapun
pada Wisnu tapi Wisnu mengatakan bahwa ia kemari untuk menolong Sang
Manu. Ia meminta Sang Manu membuat bahtera besar dan membawa segala
benih tanaman dan aneka hewan yang ada di muka bumi, serta seluruh
Saptarsi (Tujuh Rsi) bersama keluarga mereka, karena Yuga ini akan
segera musnah diterjang air bah. Ia juga memerintahkan Sang Manu untuk
mengajak serta Raja Naga Vasuki (Basuki) supaya Sang Manu bisa
menggunakan naga itu sebagai tali pengait antara bahteranya dengan
tanduk Matsya. Manu menyanggupi perintah Sang Ikan dan segera pulang untuk mengerjakan
bahtera yang dimaksud. Sementara itu Matsya menyelam ke dasar samudera
untuk mencari Hayagriva. Begitu menemukan Sang Ashura, Matsya langsung
menyerangnya tanpa ampun. Pertarungan Matsya dan Hayagriva berlangsung
relatif sebentar dibandingkan pertarungan Wisnu dengan Ashura lainnya
(hanya beberapa hari). Ketika Hayagriva tewas, Matsya mengambil kembali
lontar Veda yang sempat dicuri dan berenang kembali ke permukaan. Di permukaan ia dapati Sang Manu telah menyelesaikan bahteranya. Basuki
segera melilitkan ekornya di badan kapal sementara lehernya ia lilitkan
ke tanduk Matsya. Setelah itu Matsya segera menghela bahtera Manu
menjauh dari daratan. Air bah dan badai berkepanjangan menerjang tak berapa lama kemudian dan
Matsya membawa bahtera itu ke sebuah tempat yang aman, daratan yang
tidak terjangkau air bah, dan menurunkan seluruh penumpang bahtera di
sana. Sesudah tugasnya selesai, Sang Matsya kembali menjadi sosok Wisnu
dan terbang kembali ke Vaikuntha.
2. Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
Dalam agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma)
adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura
raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga.
Pada mulanya Dewata, baik Adhitya maupun Astawasu, serta
para Ashura adalah makhluk fana. Mereka bisa mati dan terbunuh kapan
saja dalam medan perang. Masalah mulai timbul ketika suatu ketika jumlah
Ashura jauh melebihi para Dewata. Dewata yang kalah jumlah terpaksa
mundur dari Swargaloka dan mengungsi ke Brahmaloka. Di Brahmaloka,
Brahma yang mendengar keluh-kesah para Dewata menyatakan dirinya tidak
bisa membantu banyak dan menyarankan para Dewata beranjak ke Vaikuntha,
meminta bantuan Wisnu.
Wisnu mengatakan bahwa jauh di bawah Kshirsagar – lautan
susu – terdapat Amerta (Amrta / Amrita) – air keabadian. Dewata memang
memiliki Amerta, tapi jumlahnya amat sedikit. Mereka harus mendapatkan
Amerta tambahan supaya mereka bisa menang bertempur melawan Ashura pada
masa-masa mendatang. Dengan Amerta tambahan ini, Dewata akan menjadi
makhluk abadi. Tapi untuk mendapatkan Amerta yang berada di dalam lautan
itu, kekuatan Dewata semata tidak cukup. Dewata harus meminta bantuan
pada dua pihak : Para Ashura yang dipimpin Mahabali dan Raja Naga
Basuki.
Jadi pertama-tama para dewa datang kepada saudara sepupu
mereka, Ashura, menawarkan tawaran ‘gencatan senjata’ untuk sementara
guna menyukseskan misi mengaduk Kshirsagar dan mengambil Amerta.
Kebanyakan Ashura tidak setuju, tapi pemimpin mereka, Mahabali, setuju
untuk bekerjasama.
Para dewa kemudian beranjak menemui Basuki, dan menawarkan
sedikit Tirta Amerta sebagai imbalan kepada Basuki kalau Basuki bersedia
menjadi tali pemutar Gunung Mandarachala (atau Gunung Meru). Basuki –
sebagaimana kebanyakan naga yang mendambakan keabadian – setuju-setuju
saja dengan usulan itu. Tapi ia baru mau datang kalau Dewata dan Ashura
sudah selesai mencabut Gunung Meru.
Mencabut gunung setinggi 84,000 Yojana (sekitar 1.082.000
km – 85 kali diameter bumi) ini ternyata bukan perkara enteng. Meskipun
seluruh Dewata dan Ashura sudah berusaha mencabut gunung ini, tetap saja
mereka kesulitan. Di tengah keputus asaan ini, para Dewata minta
bantuan pada Wisnu untuk turut membantu. Jadi Wisnu turun dan turut
membantu dua pihak ini mencabut gunung ini. Lalu timbul satu masalah
lagi, gunung ini selalu tenggelam setiap kali hendak dibawa ke titik
pengeboran. Wisnu pun memanggil Garuda untuk membantu mereka memanggul
gunung itu.
Wisnu sendiri merubah dirinya menjadi sosok kura-kura
raksasa – yang disebut Kurma – dan memerintahkan Garuda meletakkan
gunung itu di punggungnya setelah itu ia menyuruh Sang Garuda pergi dari
tempat itu karena Basuki tidak akan mau datang kalau ia melihat Garuda
ada di sana (Garuda dan Naga selalu bermusuhan). Kurma membawa Gunung
Meru ke titik yang telah ditentukan lalu Basuki pun datang. Ia
melilitkan tubuhnya pada gunung itu dan para Dewata mengambil posisi di
bagian kepala Basuki.
Tapi para Ashura curiga bahwa jika kepala Basuki terlalu
dekat dengan Dewata, dua pihak ini mungkin akan merencanakan sesuatu
yang tidak-tidak pada mereka. Maka mereka pun bersikeras mengambil
posisi di bagian kepala Basuki. Wisnu meminta para Dewata ‘mengalah’.
Mahabali curiga karena para Dewata tidak melawan, tapi rakyat dan
menteri-menterinya sudah terlanjur ambil posisi. Dewata akhirnya
memegang ekor Basuki.
Kecurigaan Mahabali jadi kenyataan. Setiap beberapa
putaran, akibat cengkeraman para Ashura yang terlalu keras, Basuki
selalu memuntahkan upas (racun / bisa) yang membuat para Ashura terbakar
dan kemudian mati. Mahabali kecewa namun sudah terlambat bagi dirinya
dan rakyatnya untuk berganti posisi.
Proses pengeboran itu menghasilkan beberapa harta berharga yang dibagi dua antara para Dewata dan Ashura :
• Laksmi, dewi keberuntungan, memilih Wisnu sebagai pasangannya.
• Apsara, para bidadari. Nama-nama mereka antara lain Rambha, Menaka,
Punjisthala, Urvasi, Thilothamai, dan lainnya. Sebagian dari mereka
berpasangan dengan para Dewata, sebagian lagi berpasangan dengan
Gandarwa.
• Varuni atau Sura, dewi pembuat alkohol, menjadi pasangan dari Baruna (Varuna) – dewa samudra.
• Kamadhenu atau Surabhi, sapi pengabul segala kehendak – diambil oleh Wisnu dan kelak akan diberikan kepada para rsi pertapa.
• Airavata, dan beberapa ekor gajah, diambil oleh Indra.
• Uchhaishravas, kuda paling cepat di muka bumi. Diberikan pada para Ashura.
• Kaustubha, permata paling berharga di dunia, dikenakan oleh Wisnu.
• Parijat, bunga yang takkan pernah layu – dibawa ke Indraloka oleh para dewa.
• Astra-astra berbentuk panah – diambil oleh para Ashura.
• Chandra, dewa bulan.
• Dhanvantari, dokter para dewa. Ia membawa Amerta bersama dengannya.
• Halahala, racun mematikan yang muncul ketika proses pengadukan.
Ditelan oleh Siwa dan Nandi. Namun sebagai akibatnya, tenggorokan Siwa
berubah menjadi biru terbakar.
• Shankha, terompet kerang Wisnu
• Jyestha – dewi ketidakberuntungan
• Sebuah payung yang diambil Baruna
• Anting-anting yang kelak diberikan pada Aditi, oleh putranya, Indra
• Kalpavriksha atau Pohon Kalpataru.
• Nidra atau kemalasan.
• Uchhaishravas kelak akan ditunggangi oleh Arjuna dalam Mahabaratha.
• Siwa pada awalnya tidak mau ikut campur dalam Samudra Mathan, sampai ketika Halahala keluar, barulah ia mau turun tangan.
• Selain Adhitya, Prajapati, dan Astawasu, pihak Dewata juga dibantu oleh beberapa Rsi.
• Mahabali adalah Ashura paling cerdas dan mau berpikir panjang
dibandingkan kaumnya yang lain. Namun, meski ia diangkat menjadi raja,
kaumnya sering tidak mau mendengarkannya.
Dikarenakan proses pembagiannya agak ‘kurang adil’. Dewata
mendapat jatah lebih banyak daripada Ashura. Karena itulah para Ashura
menuntut supaya Amerta diberikan pada mereka karena Dewata sudah
mengambil bagian lebih banyak daripada mereka.
Kemudian para Dewata kalah argumen dan akhirnya Amerta
diberikan pada Ashura. Tapi itu tidak berlangsung lama. Wisnu berhasil
merebut kembali Amerta itu dengan mengubah dirinya menjadi sosok wanita
cantik bernama Mohini.
3. Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
Waraha (Sanskerta: वाराह;
Varāha)
adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi
hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran).
Pada peristiwa di masa kemunculan Matsya Awatara, Banjir
besar menerjang bumi dan menenggelamkan seluruh daratan. Tapi sebenarnya
yang terjadi lebih parah daripada itu.
Konon bumi terjerumus ke dalam kekacauan Mahapralaya. Pada
mulanya semuanya tenang dan damai sampai akhirnya Wisnu yang mulanya
tertidur memunculkan sebuah sulur yang menunjang sebuah bunga teratai
raksasa di ujungnya. Dari dalam bunga teratai itu munculah Brahma.
Brahma yang kaget dipanggil ‘mendadak’ seperti itu langsung
menyaksikan yang ada di dunia ini hanya ada kekacauan. Kekagetan
keduanya adalah ia duduk di atas bunga teratai raksasa yang pangkalnya
tak terlihat, tak peduli seberapa jauhnya Brahma mencoba turun. Akhirnya
Brahma menyerah mencari pangkal teratai itu dan memilih untuk melakukan
tapa. Dalam tapanya Beliau mendapat ‘pesan’ dari Wisnu. “Brahma,
waktunya Anda menciptakan kembali dunia dan segala isinya sekali lagi.”
Brahma kembali bertapa. Dalam tapanya ia memunculkan
sepuluh Prajapati antara lain : Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu,
Bhrigu, Daksa, Marici, Wasishta, dan Narada. Selain itu juga lahir
entitas bernama Dharma dan Adharma. Lalu ia menciptakan pasangan Manu :
Swayambhu Manu dan istrinya Satarupa. Swayambhu Manu, Prajapati, dan
Brahma kemudian mulai mengukir isi bumi sekali lagi.
Tapi setelah beberapa lama, Brahma merasa ada yang ‘tidak
beres’. Penciptaan berjalan amat lambat sehingga Brahma memanggil
kembali Swayambhu Manu dan bertanya apa masalahnya sehingga pekerjaan
Swayambhu terhambat.
Dan Sang Manu menjawab, “Saya bekerja sebagaimana Ayahanda perintahkan, tapi bumi sedang tenggelam!”
Brahma berpikir sejenak. Prajapati dan Manu jelas tidak
cukup kuat untuk mengeluarkan bumi dari lautan. Akhirnya ia memutuskan
untuk minta bantuan Wisnu. Dari lubang hidung Brahma keluarlah seekor
celeng (babi hutan) sebesar kelingking Brahma. Celeng itu langsung
membesar menjadi celeng raksasa, Waraha Awatara. Waraha kemudian
mengangkat bumi dari dalam samudera dan terus menopangnya sampai
daratan-daratan bumi benar-benar stabil.
Di antara para Prajapati ada seorang yang bernama Kashyapa.
Kashyapa beristrikan 13 orang putri Daksha – yang notabene adalah
saudaranya laki-lakinya. Setiap menjelang matahari terbenam, para
Prajapati – termasuk Kashyapa – biasanya melakukan pemujaan pada Brahman
(dalam wujud Trimurti), dalam hal ini Kashyapa hendak memuja Siwa.
Tiba-tiba salah satu istrinya, Diti, datang pada Kashyapa
dan minta ‘dilayani di ranjang’. Kashyapa sih mau-mau saja melayani
istrinya yang satu ini, tapi ia harus melaksanakan upacara pemujaan
sehingga ia mengatakan, “Tentu Diti, tapi nanti. Ini waktu suci
pemujaan.”
Tapi Diti tidak mau menunggu dan dalam benaknya timbul
pikiran, “Idih, suamiku sok suci banget! Seberapa kuat sih suamiku bakal
bertahan?”
Diti pun mengambil inisiatif ‘ganas’ sehingga Kashyapa pun ‘takluk’.
Kesalahan besar bagi Kashyapa dan Diti!
"Melakukan" saat suaminya hendak memuja Siwa menghantarkannya
pada kutukan. Diti kemudian mengandung dan kelak akan melahirkan dua
Ashura. Yang satu bernama Hiranyaksa dan yang satu lagi bernama
Hiranyakashipu.
Ashura terkenal sekali dengan kekuatan mereka yang setara
dewa dan hobi mereka yang suka berbuat onar. Ashura yang bisa mengontrol
emosinya bisa saja menjadi dewa, tapi Hiranyaksa tidak termasuk salah
satunya. Ia punya pemikiran “Untuk menjadi dewa, aku harus mengalahkan
dewa-dewa dan merebut tahta mereka.”
Jadi itulah yang dia lakukan. Ia menghajar para dewa, minus
Baruna, dan menaklukkan tiga dunia (Patala dan Naraka – alam baka,
Swargaloka – kahyangan, dan Arcapada – dunia manusia). Sampai ia
menyadari bahwa ada empat dewa yang belum mengakui kehebatannya : Tiga
Trimurti dan Baruna. Ia tidak mengacuhkan Baruna, Siwa tidak diketahui
rimbanya, Brahma adalah kakeknya – jadi ia tidak mau melawannya, jadi
satu-satunya Trimurti yang hendak ia tantang adalah Wisnu.
Ketika ia berkeliling mencari Wisnu, ia bertemu Baruna yang
sedang dalam wujud ular raksasa dan menantangnya berkelahi. Baruna
menolak berkelahi dan menyatakan bahwa lawannya yang sebanding dengannya
adalah Wisnu. Ia menyuruh Hiranyaksa mencari Narada guna menanyakan
keberadaan Wisnu.
Narada menunjukkan tempat Wisnu berdiam pada Hiranyaksa
dengan ‘senang hati’, “Kamu ingin berkelahi dengan Wisnu? Dia sedang
mengambil wujud Waraha, Celeng Raksasa. Dia sedang di Rasatala, sedang
mengangkat bumi.”
Singkat cerita, Hiranyaksa ‘mengganggu’ Waraha yang tengah
menopang bumi. Hiranyaksa menyatakan dirinya sebagai pembela Ashura dan
hendak membersihkan jalan Ashura dari duri yang melukai mereka.
Wisnu langsung menggeram, “Aku sedang menjadi binatang buas
maka Aku mendengar ocehanmu. Kau mengatakan bahwa dirimu pembela para
Ashura dan ingin membersihkan jalan Ashura dari duri yang melukainya.
Aku kau anggap duri. Bukan, Aku bukan duri, Aku Maha Pembalas Kejahatan.
Sudah banyak sekali korban kejahatanmu. Sudah berulang kali kau
menggunakan kekerasan dalam memaksakan kehendakmu. Kau telah
menakut-nakuti manusia dengan menebar ancaman. Aku tidak suka kekerasan,
tetapi Aku sedang mewujud menjadi binatang buas, mari bertarung!
Saatnya kau mempertanggung-jawabkan kekerasan yang telah kau lakukan
berkali-kali.”
Jadi dua makhluk itu pun bertarung. Saat mereka bertarung
konon segala bencana terjadi di muka bumi. Ombak dan gelombang besar
menggelora di seluruh samudra, gempa bumi di mana-mana, semua gunung
meletus, dan topan mengamuk di berbagai tempat. Konon pertarungan ini
berlangsung selama 1000 tahun sebelum akhirnya Hiranyaksa terbunuh oleh
Waraha.
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat
bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat,
dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah
itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi
dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata.
Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua
taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa:
cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
• Diti tidak pernah melahirkan anak-anak yang ‘beres’.
Nyaris semua anaknya adalah Ashura dan nasib mereka selalu berakhir
dengan dibunuh oleh Wisnu atau Dewata, kecuali anaknya yang terakhir.
Berbeda sekali dengan saudarinya Aditi yang melahirkan para dewa
golongan Adhitya.
• Pertarungan Waraha dengan Hiranyaksa adalah pertarungan Wisnu yang
paling lama sebagai Awatara. Jadi boleh dikata, Hiranyaksa adalah salah
satu Ashura paling kuat.
• Daksha – saudara Kashayapa – adalah ayah mertua Siwa.
4. Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga
Narasingh,
Nārasiṃha)
adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia,
berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan
memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol
dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam
bahaya.
Menurut kitab
Purana, pada menjelang akhir zaman
Satyayuga (zaman kebenaran),
Pada zaman ini, setiap orang berhak memuja Istadewata (Dewa
Utama) –nya masing-masing. Ada yang memuja Brahma, Wisnu, Siwa, Indra,
Bayu, Baruna, atau yang lainnya. Tetapi karena saudara lelakinya (Hiranyaksa)
dibunuh oleh Wisnu beberapa tahun yang lalu, Hiranyakasipu menjadi
sangat marah dan bersumpah tidak akan pernah memuja dewa yang namanya
Wisnu, bahkan ia bersumpah akan melenyapkan Wisnu dan seluruh pemuja
Wisnu dari kerajaannya.
Pemaksaan kehendak paling efektif dilakukan dengan anarki,
hal itu dapat dilakukan kalau dirinya memiliki kesaktian. Maka
Hiranyakasipu pun mulai bertapa dengan keras, memusatkan perhatiannya
hanya kepada Bhatara Brahma selama bertahun-tahun. Brahma pun harus
menepati hukum yang berlaku, di mana setiap makhluk yang melakukan tapa
dengan sungguh-sungguh harus dikabulkan keinginannya.
Ketika Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan keinginannya,
Hiranyakasipu menyatakan bahwa ia ingin diberikan kehidupan abadi yang
tidak bisa mati dan tidak bisa dibunuh, Namun Dewa Brahma menolak, dan
menyuruhnya untuk meminta permohonan lain.
Tak hilang akal, Hiranyakasipu meminta anugrah agar dia
tidak bisa dibunuh oleh dewa, manusia ataupun hewan, baik saat pagi
siang maupun malam, baik saat ia berada di langit maupun berpijak di
bumi, baik oleh api, air ataupun senjata, baik saat ia ada di dalam
maupun luar kediamannya. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma
mengabulkannya.
Setelah mendapatkan kekuatan itu, ia melarang semua orang
di kerajaannya memuja dewa lain selain Siwa (dan Brahma), dan perintah
itu juga hendak ia berlakukan juga bagi istrinya. Yang bernama Lilawati.
Bhatara Indra yang tahu akan rencana Hiranyakasipu langsung
mengevakuasi Lilawati dari istana Hiranyakasipu.
Ketika Bhatara Indra memberi perlindungan pada Lilawati,
Lilawati tengah hamil tua dan beberapa waktu kemudian melahirkan seorang
putra bernama Prahlada. Lilawati dan Prahlada tinggal dalam
perlindungan dan ajaran Rsi Narada – brahmana pemuja Wisnu, salah satu
dari tujuh Sapta Rsi.
Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang
budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari
sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Hiranyakasipu beberapa kali mencoba membujuk anaknya untuk meninggalkan
Wisnu tapi Prahlada tidak mau. Mengetahui para dewa melindungi istri
serta anaknya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci
Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri.
Kesal dengan sikap anaknya, Hiranyakasipu berkali-kali
mencoba membunuh anaknya dengan berbagai metode : dijatuhkan dari
tebing, ditebas, dipukuli, sampai dihantam dengan astra, tapi anehnya
Prahlada ternyata tidak juga mati.
Setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena
dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa
Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia
tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara
langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu.
Saat ayah dan anak itu bertemu di istana Hiranyakasipu, Sang Raja Ashura menantang Prahlada.
Hiranyakasipu : “Katakan di mana aku bisa temukan Wisnu! Biar kutantang dia bertarung!”
Prahlada : “Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul.”
Mendengar jawaban itu, ia merasa diolok-olok dengan
perkataan anaknya, hiranyakasipu sangat marah, mengamuk dan
menghancurkan segala sesuatu didekatnya. Hiranyakasipu memukul salah
satu pilar istananya hingga retak menjadi dua bagian. Tiba-tiba
terdengar suara yang menggemparkan dari pilar yang seharusnya kosong,
keluarlah sesosok manusia raksasa berkepala singa. Sosok ini memiliki
empat tangan dan memanggul seekor naga di punggungnya. Dan sosok ini lah
yang disebut Narasinga, Awatara Wisnu.
Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya sekaligus menghukum Hiranyakasipu atas perbuatannya.
Hiranyakasipu pun maju menyerang Narasinga. Pertarungan dua
makhluk ini berlangsung sampai senja. Ketika senja mulai turun,
Narasinga mencengkeram Hiranyakasipu, mendudukkannya di pangkuannya lalu
mencabik-cabik perut Hiranyakasipu dengan kukunya. Tindakan ini membuat
berkah dari Brahma tidak berlaku karena :
✔Narasinga bukan manusia, binatang, ataupun dewa. Ia adalah perwujudan ketiganya.
✔Hiranyaksipu dibunuh bukan saat pagi, siang, atau malam melainkan senja – peralihan dari siang menuju malam.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh dengan senjata, air, atau api melainkan oleh kuku Narasinga.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh di luar ataupun di dalam kediamannya, bukan pula di darat atau udara. Ia dibunuh di pangkuan Wisnu.
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana.
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang
bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari
keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang
keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
• Naga yang dipanggul Narasinga adalah Ananta Sesa. Pada
kesempatan-kesempatan berikutnya Ananta Sesa setidaknya dua kali turut
mendampingi penjelmaan Wisnu ke dunia, yakni sebagai Laksmana – saudara
Rama – dan Baladewa – saudara Kresna.
• Narasinga adalah awatara Wisnu paling buas dan ‘brangasan’.
Dalam satu versi diceritakan : setelah membunuh
Hiranyakasipu, ia lepas kontrol dan tak terkendali. (Aksi Narasinga baru
berhenti setelah Siwa turun ke dunia dan bertempur melawan Narasinga)
Pembahasan selanjutnya...
5. Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ;
Vāmana)
adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga,
Meskipun sudah mendapatkan Tirta Amerta, ada masanya para
dewa mengalami kekalahan. Mahabali, Raja Asura yang sempat kena tipu
Mohini pada masa Satya Yuga kini kembali untuk menantang para dewa.
Dengan bantuan Sukracarya (salah satu Graha – penguasa Venus dan guru
para Asura), ia memperoleh kekuatan dan pasukan yang cukup kuat untuk
melawan Dewata kembali. Indra dan Dewata lainnya yang merasa terdesak
dinasehati untuk meninggalkan Swargaloka karena jika tetap tinggal,
mereka akan benar-benar ditaklukkan Mahabali. Maka sekali lagi Dewata
dipaksa meninggalkan kahyangan dan Mahabali pun mengangkat dirinya
menjadi raja tiga dunia : dunia manusia, dunia dewa, dan dunia alam
baka. Di dunia manusia, Mahabali meraih popularitas luar biasa di
kalangan manusia oleh karena kemurahan hati dan keadilannya. Ia tidak
memaksa manusia tunduk padanya dengan cara anarkisme seperti Raja-Raja
Asura yang sebelumnya sehingga meskipun Raja Kahyangan bukan lagi Indra,
sebagian besar manusia tidak protes.
Tapi tentu saja Indra yang diusir dari kahyangan tidak
terlalu suka dengan kehadiran Mahabali. Ia sempat beberapa kali meminta
para Trimurti ambil tindakan, tapi Wisnu belum mau ambil tindakan sampai
tiba masanya ketika Mahabali sudah mulai merasa bahwa ia adalah entitas
paling mulia, tak ada lagi makhluk yang lebih tinggi dari dirinya.
Saat itulah Wisnu menjelma melalui perantaraan Kashyapa dan
Aditi, lahir sebagai putra Aditi, berwujud anak cebol yang kemudian
menjadi brahmana seperti Kashyapa. Anak ini diberi nama oleh Aditi dan
Kashyapa dengan nama Wamana, artinya ‘Si Pendek’.
Pada suatu ketika Mahabali mengadakan ‘open house’ dan
mengundang segenap orang, terutama brahmana untuk bertandang ke
istananya di Swargaloka. Wamana pun turut datang menemui Mahabali sambil
membawa-bawa payung dan kendi air. Sukracarya – guru Mahabali – yang
melihat kedatangan Wamana langsung kaget setengah mati. Ia lalu
memperingatkan Mahabali dengan keras supaya Mahabali tidak memberikan
apapun yang diminta Wamana.
Tapi Mahabali keras kepala. Dalam pandangannya, brahmana
ini meskipun masih berwujud anak kecil (atau orang cebol) punya kharisma
yang luar biasa. Mahabali menempatkan Wamana di tempat duduk kehormatan
dan menanyakan apa permintaan Wamana.
“Apakah Paduka menginginkan tanah, emas, istana, atau gadis yang cantik?
Apakah menginginkan hewan gajah, kuda atau kijang?
Kami akan memberikan apa pun yang kami miliki yang diinginkan Paduka Brahmana,” tanya Bali.
Wamana menjawab pelan, “Kau telah berbicara penuh
kerendahan hati, kebajikan dan kebangsawanan. Sukra agung dan Brighu
adalah Acaryamu, Gurumu. Prahlada Yang Agung adalah kakekmu, Wirocana
Yang Dermawan adalah ayahmu. Aku yakin Raja tidak akan menarik mundur
ucapanmu. Aku ingin tanah tiga langkah yang diukur oleh kakiku.”
Setengah kecewa karena sang brahmana kecil hanya meminta
hal yang sepele baginya, Bali berucap, “Tentu saja Paduka masih
anak-anak, bahasa anak-anak, permintaannya masih sederhana. Baik, Paduka
tidak mau minta tumpukan emas dan hanya tanah tiga langkah? Aku pegang
kata-kataku.”
Sambil tersenyum Vamana menjawab, “Aku menghargaimu Raja
dermawan. Jika seorang manusia tidak bisa menaklukkan keinginan, semua
hal di dunia tidak akan mencukupinya.”
Sekali lagi Sukracarya mewanti-wanti Mahabali, “Diriku
mencintai semua Asura dan Raja Bali adalah murid terkasihku. Kamu telah
gegabah Raja! Kau belum tahu soal langkah kaki Narayana! Memang menarik
janji, membatalkan komitmen itu seperti menarik pohon dari tanah yang
membuat cepat mengering dan jatuh. Akan tetapi dalam keadaan darurat
Raja boleh ingkar janji. Raja belum tahu siapa sejatinya Brahmana kecil
ini.”
Bali hanya menjawab, “Guru, dalam darahku mengalir darah
nenek buyut Kayadhu yang suci, mengalir darah kakek Prahlada yang agung,
diriku malu, merupakan keaiban untuk menarik perkataan. Kalaupun
Brahmana ini adalah Narayana, maka pemberianku ini akan menjadi
perbuatan mulia: memberi, telapak tangan menghadap ke bawah terhadap
Narayana.”
Sukracarya pun menjadi marah dan akhirnya mengutuk
Mahabali, “Raja telah merasa lebih bijak dariku. Aku kutuk sehingga
kemuliaanmu segera punah.” Dan setelah itu Sukracarya pun pergi
meninggalkan istana Mahabali.
Ketika kembali menemui brahmana kecil itu, Mahabali
mendapat kejutan besar. Sesuatu yang ditakutkan oleh Sukracarya terjadi.
Tubuh Wamana membesar dan terus membesar, wujud ini dinamakan
Triwikrama. Kakinya konon bertambah menjadi tiga. Kaki pertamanya
menutupi seluruh bumi, kaki keduanya menutupi seluruh kahyangan dan
konon dari atas langit turun Baruna – dalam wujud naga – yang langsung
melilit Mahabali dengan dibantu oleh Garuda.
“Belum tiga langkah, Raja,” kata Wamana.
Mahabali langsung tahu apa yang diminta oleh Wamana. Wamana
memintanya untuk menyerahkan kembali hak kekuasaan Dewata pada para
Aditya. Karena itu Bali berucap, “Diriku menyadari kesalahanku, aku
berjanji dapat memberikan semua milikku. Ternyata semuanya adalah
milik-Mu. Terima kasih Narayana, hamba paham dengan menerima persembahan
hamba, berarti semua kesalahan hamba telah diampuni. Terima kasih
Narayana, biarlah langkah kaki ketiga-Mu, Engkau letakkan di kepala
kami.”
Dan terjadilah demikian. Selanjutnya ada dua versi mengenai
nasib Mahabali. Versi pertama menyatakan ia mati, versi kedua
menyatakan ia tetap hidup. Tapi apapun versinya, semuanya bersepakat
soal janji Wamana kepada Mahabali.
Mahabali adalah cucu Prahlada – putra Hiranyakasipu (lihat
pembahasan Narasinga Awatara), karena itulah ia tidak seberingas Asura
lainnya. Dan ketika Wisnu menyaksikan bahwa Bali tidak menentang
otoritas kekuasaan Trimurti seperti pendahulu-pendahulunya, ia
menjanjikan Bali akan terlahir kembali di Sutala – bagian dari Pratala
(alam baka), dan pada Mahayuga selanjutnya ialah yang akan menjadi
Indra. Untuk sementara di Sutala, ia menjadi asisten Batara Yama,
mengurusi jiwa-jiwa orang mati.
• Ada sekte tertentu di India yang tidak mempercayai Wamana sebagai Awatara Wisnu melainkan Awatara Ganesha.
• Indra selalu berganti-ganti setiap Mahayuga. Indra pertama adalah
Yajna, atau Wisnu sendiri. Baruna – penguasa lautan – pun dikatakan
pernah menjadi Indra.
• Baruna punya dua wujud : wujud naga dan manusia. Tapi sebenarnya dia
juga Aditya, dengan kata lain dia adalah ‘kakak’ dari Wamana dan Indra.
• Mahabali konon merupakan singkatan dari ‘Mahatma Bali’ yang artinya ‘Bali Yang Berjiwa Besar’.
• Mahabali adalah cucu Prahlada, dan dia termasuk dalam golongan Danawa.
• Narayana adalah nama lain Wisnu.
6. Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST:
Parashurāma Bhārgava) atau
yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh
Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama
Parashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah
Bhargawa yang
bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara
Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga.
Ada seorang Rsi yang menjadi bagian dari tujuh Sapta Rsi
bernama Jamadagni. Jamadagni telah memiliki empat putra namun suatu
ketika istrinya hamil putra kelimanya, Jamadgani dan istrinya, Renuka,
mendapat pesan dari Batara Siwa bahwa Batara Wisnu akan menitis kepada
putra kelima mereka. Putra kelima mereka ini dinamai Rama atau
Ramabhadra.
Sebagai istri brahmana yang tergabung dalam Sapta Rsi,
Renuka memiliki kemampuan untuk memadatkan tanah liat yang masih basah
dan belum dibakar menjadi pot tembikar untuk menampung air. Namun suatu
saat hendak mengambil air di sungai, ia terpesona melihat sekawanan
gandarwa , satu pikiran untuk ‘serong’ dengan para gandarwa langsung
melintas di pikiran Renuka. Akibatnya kendi air di tangannya langsung
meleleh dan larut dalam air. Renuka pun ketakutan dan tidak berani
pulang karena ia tahu suaminya pasti akan marah besar padanya.
Jamadagni tidak perlu waktu lama untuk tahu perbuatan
istrinya itu. Dalam meditasinya, lintasan pikiran Renuka masuk ke dalam
pikirannya. Dengan kekuatannya, Sang Rsi memaksa sang istri pulang lalu
memanggil putra sulungnya dan menyodorkan sebuah kapak kepadanya. “Bunuh
ibumu dengan kapak itu!” kata Jamadagni.
Sang putra sulung ketakutan dan menolak perintah sang ayah,
dan sebagai akibatnya ia dikutuk menjadi batu. Putra kedua, ketiga, dan
keempat juga dipanggil dan diberi perintah serupa, dan semuanya
menolak. Akhirnya empat putranya pun berubah menjadi batu. Sampai
akhirnya Rama mengambil kapak itu dan tanpa ragu memenggal kepala
ibunya.
Jamadagni terkesan oleh kepatuhan Rama sehingga menawarinya
untuk mengabulkan dua permintaan Rama. Rama hanya meminta sang ayah
menghidupkan kembali ibu dan empat kakaknya. Kemudian dengan senang hati
Jamadagni mengabulkannya.
***
Meskipun merupakan awatara Wisnu, Rama dan ayahnya termasuk brahmana
sekte Shaivanism (Siwaisme) yang lazim hidup bertapa, menyendiri di
tengah hutan atau pegunungan, makan seadanya dari hutan, dan melumuri
tubuh mereka dengan abu. Ketika sudah cukup usia, Rama meninggalkan
rumahnya untuk bermeditasi pada Siwa. Setelah melakukan tapa selama
bertahun-tahun Siwa datang menemuinya, memberinya sebuah kapak yang tak
dapat dihancurkan oleh apapun bernama Parasu (Parashu). Lalu memberi
perintah pada Rama untuk membebaskan Ibu Bumi dari penjahat, orang-orang
serakah, iblis, dan orang-orang yg meninggalkan ajaran Dharma.
Kemudian selama 21 hari Siwa menantang Rama untuk
bertarung. Selama 21 hari itu pula murid dan guru itu saling tebas dan
serang. Siwa dengan trisulanya, Rama dengan Parasunya. Di hari ke-21
Rama berhasil melukai dahi Siwa dengan kapaknya dan pertarungan pun
dihentikan. Siwa sangat puas dengan kecakapan muridnya itu dan sejak
saat itu menamai diri-Nya ‘Khanda-parshu’ (Yang dilukai oleh kapak)
sebagai wujud penghormatan Siwa pada Rama. Nama Rama sendiri kemudian
berubah menjadi Parasurama.
****
Ada seorang raja dari ras Yadu, bernama Kartavirya Arjuna atau Arjuna
Sasrabahu – Arjuna yang bertangan seribu. Raja ini menguasai wilayah
Mahespati (atau Halaya di versi India). Awalnya raja ini adalah raja
yang bijak dan perkasa. Raja ini bahkan sempat mengalahkan Rahwana muda
dan memaksa Rahwana untuk tidak mengekspansi negara lain lagi.
Tapi kemudian raja ini menjadi ‘gila hormat’ dan merasa tak
ada satupun yang lebih sakti dari dirinya. Dalam kunjungannya ke asrama
(pertapaan) Rsi Jamadagni, Sang Raja disuguhi aneka hidangan nikmat ala
istana oleh Sang Rsi dalam kuantitas yang tidak main-main. Penasaran
dari mana Sang Rsi mendapatkan hidangan sebanyak dan semewah itu padahal
hidupnya amat sederhana, Jamadagni mengatakan bahwa ia mendapatkannya
melalui perantaraan sapi Kamadhenu (Sapi ini adalah sapi pengabul segala
kehendak yang keluar pada saat Samudra Manthan yang diberikan oleh
Batara Wisnu (atau Indra, tergantung versinya) kepadanya. Arjuna
Sasrabahu menginginkan sapi itu. Ia hendak membeli sapi itu, tapi
Jamadagni menolaknya. Sang raja terus membujuk dan menaikkan tawarannya
tapi Jamadagni tetap kukuh bahwa sapi pemberian Bhatara Wisnu itu tidak
dijual.
Karena kesal tawarannya ditolak, Sang Raja lalu membawa
sapi itu secara paksa dari asrama Rsi Jamadagni. Dan tak berapa lama
kemudian Parasurama kembali ke pertapaan ayahnya dan mendapati sapi
Kamadhenu tak ada lagi di rumah ayahnya. Ketika Parasurama bertanya ke
mana perginya sapi itu, ayahnya menjawab bahwa Raja Arjuna Sasrabahu
membawanya. Marah atas perilaku Sang Raja yang seenaknya, Parasurama
berlari ke istana Sang Raja dengan niat merebut kembali sapi suci itu.
Arjuna Sasrabahu tidak mau mengembalikan sapi itu begitu
saja dan menantang Parasurama untuk bertarung. Parasurama memanah
satu-demi-satu seribu tangan Arjuna lalu memenggal kepala Sang Raja
kemudian membawa pulang sapi Kamadhenu ke pertapaan ayahnya. Ayahnya
senang sapinya kembali, tapi melihat ada noda darah di kapak anaknya,
Jamadagni berkata, “Tidak layak Brahmana dikontrol oleh amarah dan
kesombongan. Sucikan dirimu segera, Rama.”
Maka Parasurama pun kembali meninggalkan rumahnya,
mengasingkan diri selama satu tahun untuk menyucikan diri. Di
pengasingan ini, Indra menghadiahinya busur Wijaya sebagai hadiah atas
keberaniannya menantang Arjuna Sasrabahu. Tapi di saat yang sama,
anak-anak Arjuna Sasrabahu yang menemukan jenazah ayah mereka menjadi
luar biasa marahnya. Mereka segera menyerbu pertapaan Jamadagni dan
membunuh Sang Rsi dengan menembakkan ratusan anak panah. Jamadagni pun
tewas. Anak-anak Arjuna Sasrabahu pun memenggal kepala Jamadagni dan
membawanya ke istana mereka sebagai tropi kemenangan.
Ketika Parasurama kembali dari pengasingannya, ia menemukan
ibunya tengah berduka dan meratapi kematian ayahnya sambil
memukul-mukul dadanya sebanyak 21 kali. Di samping ibunya, teronggok
jasad Jamadagni yang tanpa kepala. Parasurama pun menjadi sangat sakit
hati atas kepongahan warna (kasta) kesatria dan bersumpah akan membantai
seluruh kaum kesatria dalam pembantaian yang akan dia lakukan sebanyak
21 kali keliling dunia.
***
“Pada masa antara Treta dan Dwapara Yuga, Parasurama, sang pejuang
terhebat, terusik oleh ketidaksabarannya menyaksikan segala kepongahan
kaum kesatria, berulang kali membantai kaum kesatria. Ketika ia selesai
dengan aksi pembantaiannya, ia telah menciptakan Samanta-panchaka, lima
danau besar berisi darah.
Parasurama membantai seluruh raja yang ada di dunia ini
tanpa pandang bulu. Ia tidak peduli apakah raja-raja ini masih muda atau
sudah tua, apakah raja ini punya pewaris atau tidak punya pewaris, atau
apakah raja ini dicintai rakyatnya atau malah dibenci rakyatnya.
Pokoknya nyaris tidak ada dinasti kerajaan yang ‘selamat’ dari amukan
Parasurama.
Korban pertama dari perjalanan Parasurama ini adalah
anak-anak Arjuna Sasrabahu. Setelah membunuh anak-anak ‘kurang ajar’ ini
ia membawa kembali kepala ayahnya ke pertapaan dan melakukan upacara
pembakaran jenazah lalu melanjutkan perjalanannya.
Setelah 21 kali mengelilingi dunia, Parasurama mengadakan
sebuah upacara agung yang intinya menyatakan bahwa raja-raja yang
tersisa wajib menyerah dan menyatakan kesetiaan kepada Parasurama. Yang
tidak mau, dipersilakan mengalahkan Parasurama. Sebagian raja tidak mau
mengakui seorang brahmana sebagai Maharaja mereka, dan akhirnya tewas
saat bertarung dengan Parasurama. Raja-raja yang tersisa akhirnya
menyatakan diri sebagai bawahan Parasurama. Parasurama sendiri kemudian
membagi-bagikan wilayah taklukannya di antara para brahmana sebelum
akhirnya mengundurkan diri untuk bertapa kembali di Pegunungan Mahendra.
***
Ada satu dinasti yang selamat dari amukan Parasurama, yakni Dinasti
Surya (Kerajaan Ayodhya). Entah bagaimana dinasti ini tidak kena
utak-atik dari Parasurama.
Hingga akhirnya Parasurama dipertapaannya mendengar suara gemuruh yang
maha dasyat menggelegar saat seorang pangeran dari Kerajaan Ayodhya
bernama Rama mematahkan busur Haradhanu milik Siwa yang dimiliki oleh
Raja Mithila, Janaka, saat tengah mengadakan sayembara untuk mencari
suami bagi putri angkatnya Sita.
Parasurama langsung naik darah. Ia menyangka ada lagi kaum
kesatria yang telah lancang sok pamer kekuatan di dunia ini. Langsung
saja ia turun gunung dan menghadang Rama yang sedang dalam perjalanan
pulang ke Ayodhya bersama Sinta, adiknya Laksmana, dan seorang Sapta Rsi
Wiswamitra. Wiswamitra memohon agar Parasurama kembali lagi ke
pertapaannya dan berusaha keras meyakinkan Parasurama bahwa Rama sama
sekali tidak punya maksud ‘pamer kekuatan’ hanya saja busur Haradhanu
milik Siwa tiba-tiba patah saat direntangkan oleh Rama.
Parasurama tidak percaya, ia melemparkan busur Wisnudhanu,
busur yang dimilikinya sebagai awatara Wisnu kepada Rama dan
menantangnya untuk menarik busur itu. Rama menarik busur itu tanpa
kesulitan sementara kapak Parasurama tiba-tiba menjadi sangat berat.
Parasurama pun langsung sadar bahwa dia bukan lagi awatara Wisnu. Rama
sudah mengambil alih posisinya. Karena itu ia pun undur diri dan masuk
kembali ke dalam hutan. Busur milik Wisnu itu diberikan pada Rama.
Parasurama adalah awatara Wisnu paling unik karena ia
adalah Chiranjiwin (kaum abadi). Ia terus hidup sampai era Dwapara Yuga,
di mana kisah Mahabaratha akan terjadi. Di masa ini ia menjadi guru
dari seorang pangeran Wangsa Kuru bernama Bhisma. Di masa ini
kebenciannya terhadap kaum kesatria sudah hilang. Tapi ada satu masalah
yang kemudian membuat hubungan guru-murid ini retak.
Permasalahannya ... Bhisma pernah dengan sengaja
memenangkan sayembara memperebutkan putri dari kerajaan seberang yakni
Amba, Ambalika, dan Ambika untuk diperistri adiknya.
Hingga akhirnya Ambika meminta bantuan dari Parasurama. Karena Bhisma sudah "menghina"nya.
Parasurama dan Bhisma saling baku hantam selama 23 hari dan pada
akhirnya Bhisma yang menang (Bhisma saat itu adalah manusia awatara dari
Dyaus sementara Parasurama sudah bukan lagi manusia awatara). Kesal
dengan perilaku Bhisma, Parasurama bersumpah tidak akan pernah mau lagi
mengajar murid dari golongan kesatria.
***
Drona, seorang brahmana yang kelak akan menjadi guru para Kurawa dan
Pandawa suatu saat bertemu dengan Parasurama dalam sebuah perjalanan.
Drona menyatakan bahwa ia butuh pengetahuan tentang segala jenis senjata
yang diketahui Parasurama. Karena Drona seorang brahmana, Parasurama
akhirnya mengajari Drona segala jenis teknik beladiri dan penggunaan
senjata baik senjata biasa atau astra (Brahmastra terutama). Ia juga
memberi Drona semua senjata koleksinya kecuali kapak Siwa dan busur
Wijaya dari Indra.
***
Radheya, putra sulung Kunti anugrah Bhatara Surya sekaligus kakak sulung
Pandawa, diadopsi oleh kusir kereta kerajaan Hastina. Memiliki bakat
alam sebagai pemanah handal, ia sempat minta diajari memanah oleh Drona
tapi Drona menolak karena sudah terikat sumpah pada Bhisma dan Tua-Tua
Hastina bahwa ia hanya akan mengajari para pangeran Hastina. Kesal
karena penolakan Drona, Radheya mengembara mencari Parasurama dengan
menyamar sebagai seorang brahmana. Parasurama senang sekali menerima
‘brahmana’ Radheya sebagai muridnya. Ia menganggap Radheya adalah
muridnya yang paling cerdas dan cepat belajar. Tapi semua itu berubah
saat suatu ketika Parasurama tengah tidur berbantalkan pangkuan Radheya .
Saat itu seekor kalajengking menyengat kaki Radheya sehingga kaki
Radheya berdarah dan darahnya menetes ke wajah Parasurama.
Parasurama terbangun dan langsung menginterogasi Radheya.
Mulanya Radheya tidak mengaku tapi ketika Parasurama mendesak, ia
mengaku bahwa ia memang bukan Brahmana.
Parasurama menghardik, “Cuma Kesatria yang bisa menahan rasa sakit disengat kalajengking seperti itu!”
“Guru, saya bukan kesatria. Saya hanyalah Suta, anak kusir.”
“Ah, sama saja! Kau menipuku! Karena kau sudah menipuku
untuk mendapatkan pengetahuanku, kelak semua senjata dan kesaktianmu tak
akan berguna di saat-saat kau sangat membutuhkannya!”
Tapi meskipun Parasurama marah besar pada Radheya, ia
memberi Radheya pusakanya yang terakhir : Busur Wijaya dan astra bernama
Bhagavastra.
Kutukan Parasurama terbukti. Menjelang dan di saat
bertarung dengan Arjuna, kesaktian Karna menghilang satu demi satu. Dia
bahkan tak bisa memanggil satupun astra miliknya di saat-saat terakhir.
Karna sendiri akhirnya tewas terpenggal panah Pasopati Arjuna.
***
Diceritakan dalam Wisnupurana, Awatara terakhir Wisnu yakni Kalki
Awatara akan berguru pada Parasurama guna mendapatkan senjata dari Siwa
untuk mengalahkan Iblis Kali.
***
Parasurama juga ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan. Ia lebih
terkenal dengan sebutan Ramabargawa. Selain itu ia juga sering dipanggil
Jamadagni, sama dengan nama ayahnya.
Ciri khas pewayangan adalah jalinan silsilah yang saling
berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah tentang Ramabargawa yang bersumber
dari naskah Serat Arjunasasrabahu antara lain menyebut tokoh ini
sebagai keturunan Batara Surya. Ayahnya bernama Jamadagni merupakan
sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati. Adapun Kartawirya adalah
ayah dari Arjuna Sasrabahu alias Kartawirya Arjuna. Selain itu,
Jamadagni juga memiliki sepupu jauh bernama Rsi Gotama, ayah dari Subali
dan Sugriwa.
Dalam pewayangan dikisahkan Ramabargawa menghukum mati
ibunya sendiri, yaitu Renuka, atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah
karena Renuka telah berselingkuh dengan Citrarata raja Kerajaan
Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan kemarahan dan rasa benci
luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria.
Setelah menumpas kaum kesatria, Ramabargawa merasa jenuh
dan memutuskan untuk meninggalkan dunia. Atas petunjuk dewata, ia akan
mencapai surga apabila mati di tangan titisan Wisnu. Adapun Ramabargwa
versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan menitis
kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh
Ramabargawa.
Setelah lama mencari, Ramabargawa berhasil menemui Arjuna
Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah kehilangan semangat
hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri, dan istrinya, yakni
Dewi Citrawati. Dalam pertarungan tersebut, Ramabargawa justru malah
menewaskan Arjuna Sasrabahu.
Ramabargawa kecewa dan menuduh dewata telah berbohong
kepadanya. Batara Narada selaku utusan kahyangan menjelaskan bahwa Wisnu
telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Rama
putra Dasarata. Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama
dewasa. Beberapa tahun kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Rama
yang sedang dalam perjalanan pulang setelah memenangkan sayembara Sinta.
Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut,
Ramabargawa akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar
Batara Ramaparasu.
Pada zaman berikutnya, Ramaparasu bertemu awatara Wisnu
lainnya, yaitu Kresna ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian
utusan para Pandawa menuju Kerajaan Hastina. Saat itu Ramaparasu bersama
Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna
untuk ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan
pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam naskah Kakawin Bharatayuddha
dari zaman Kerajaan Kediri.
Di Bali diceritakan bahwa ia dan Arjuna Sasrabahu sama-sama merupakan titisan Wisnu.
***
Dalam versi india mengisahkan,
Saat Maharsi Narada berkunjung ke Vaikuntha dan tanpa sengaja menemukan
Cakram Sudarshana dengan Bhatara Wisnu sedang berselisih paham. Sang
cakram yang memiliki kesadaran sendiri itu bilang bahwa Wisnu takkan
bisa mengalahkan Asura manapun tanpa dirinya dan dirinyalah yang selama
ini menjadi kekuatan Wisnu, tanpa dirinya Wisnu bukan siapa-siapa.
Tampaknya Wisnu menjadi agak sebal dengan tingkah
senjatanya itu dan akhirnya menyuruhnya pergi ke dunia dan menitis
menjadi seorang raja bernama Arjuna Sasrabahu. Wisnu sendiri berjanji
kelak akan menyusul dan menitis kepada seorang putra brahmana. Setelah
itu mereka akan baku hantam untuk menyelesaikan perdebatan mereka.
Arjuna Sasrabahu memang akhirnya bertemu Parasurama dan bertempur yang menyebabkan kekalahan bagi Arjuna Sasrabahu.
***
• Di Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam dan Kamboja, Parasurama bukanlah
Awatara Wisnu yang populer. Apalagi di Nusantara – yang raja-rajanya
‘agak’ tidak mau dikritik dan disalahkan. Karena itu di Nusantara,
Awatara keenam Wisnu diubah. Bukan Parasurama, tapi Arjuna Sasrabahu.
• Model pengakuan Awatara Keenam Wisnu adalah Arjuna Sasrabahu juga
terasa di Bali, di mana ada kisah yang menceritakan baik Arjunasasrabahu
maupun Parasurama sama-sama adalah awatara Wisnu – mengambil pendekatan
seperti Nara dan Narayana, rsi kembar yang sama-sama Awatara Wisnu
dalam versi 22 Awatara.
• Parasurama adalah awatara Wisnu paling ‘brangasan’ nomor dua setelah Narasinga.
• Parasurama dipercaya masih hidup sampai saat ini.
• Pasangan Parasurama yang bernama Dharini tidak pernah diceritakan
mendampingi Parasurama saat Parasurama menjadi guru Bhisma, Drona, dan
Karna. Kemungkinan besar istri Parasurama ini sudah meninggal lama
sekali sebelum peristiwa Mahabaratha atau mungkin sebelum Ramayana.
• Setelah tak lagi menjadi awatara Wisnu, kekuatan Parasurama jauh
berkurang meski masih cukup berbahaya untuk dihadapi para kesatria
manapun yang ada di zaman itu.
7. Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम;
Rāma) atau Ramacandra (Sanskerta: रामचन्द्र;
Rāmacandra)
adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon
hidup pada zaman Tretayuga,
Ada seorang raja bernama Dasarata, penguasa wilayah Kosala, dari
Dinasti Surya (dinasti yang diturunkan dari Dewa Surya). Dasarata ini
memiliki tiga orang permaisuri yakni : Kosalya, Sumitra, dan Kekayi.
Dalam suatu medan laga, Dasarata terluka parah dan tiba-tiba saja
permaisuri ketiganya – Kekayi – nekat maju sendirian ke medan laga dan
membantu Dasarata melarikan diri dari kejaran musuh-musuhnya. Atas
keberanian Kekayi itu, Dasarata bersumpah akan mengabulkan dua keinginan
Kekayi tapi sampai waktu cukup lama Kekayi tidak meminta apa-apa.
Kekayi pun dijanjikan bahwa jika Kosalya dan Sumitra tidak jua memiliki
anak, maka putra Kekayi akan dijadikan yuwaraja – putra mahkota – oleh
Dasarata.
Ternyata Kosalya dan Sumitra akhirnya hamil. Kosalya melahirkan lebih
dahulu seorang putra bernama Rama, sementara Sumitra melahirkan dua
putra kembar bernama Laksmana dan Satrugna. Kekayi? Dia melahirkan
paling belakang. Putranya diberi nama Bharata.
Saat Rama dan Laksmana beranjak remaja, ada seorang Rsi bernama
Wiswamitra – salah satu dari Tujuh Sapta Rsi yang berkunjung kepada
Dasarata. Wiswamitra punya reputasi buruk sebagai rsi berangasan, nyaris
sejajar dengan Parasurama (Awatara Wisnu ke-6) dan Rsi Durwasa (Awatara
Siwa). Tolak keinginannya maka musibah besar sudah pasti menantimu .
Dasarata bicara dengan sangat hati-hati dan mempersilakan Sang Rsi
untuk meminta apa saja selama ia dapat mengabulkannya. Dasarata berpikir
Rsi itu minta sumbangan atau tanah, tapi ternyata Wiswamitra justru
meminta Rama dan Laksmana ikut dengannya untuk membantai beberapa
raksasa pengganggu pertapaan. Dasarata sempat protes dengan permintaan
Sang Rsi tapi dengan reputasinya sebagai ‘mantan raja’dan ‘keahlian
diplomasinya’ (baca : reputasi kutukannya), Wiswamitra berhasil
meyakinkan Dasarata untuk mempercayakan Rama dan Laksmana padanya.
Rama dan Laksmana pun dibawa ke hutan, hidup di antara para Rsi dan
Wiswamitra mengajari Rama segala teknik beladiri dan penggunaan astra.
Rama sendiri kemudian mengajari Laksmana segala pengetahuan yang ia
dapat dari Wiswamitra (karena Laksmana agak ‘lambat’ belajarnya plus
agak gampang naik darah).
Tugas sehari-hari Rama dan Laksmana adalah mengusir para raksasa yang
‘cari makan’ atau ‘main-main’ ke pertapaan para Rsi. Rama terhitung
mengalahkan tiga raksasa yakni : Tataka (dibunuh), Marica (diampuni),
Subahu (dibunuh). Marica dan Subahu adalah raksasa yang suka sekali
melempari sesajen para Rsi dengan darah dan daging mentah, sementara
Tataka suka membunuhi para Rsi.
Beberapa saat setelah Rama dan Laksmana kembali ke istana, Wiswamitra
mampir lagi dan mengajak dua muridnya itu ke Mithila karena di sana ada
sayembara untuk memperebutkan Dewi Sinta, anak angkat Raja Janaka
Mithila. Rama dan Laksmana pun berangkat ke Mithila.
Di Mithila, sayembara yang harus mereka lakukan adalah mengangkat
sebuah busur bernama Haradhanu (Busur Siwa). Busur itu super berat. Tak
ada satupun peserta yang mampu mengangkatnya, tapi Janaka sengaja
memberi sayembara seperti itu karena Sinta saja – meski dia wanita –
bisa mengangkat busur itu seolah-olah busur itu enteng.
Peserta lain sudah mulai ribut dan menuduh Janaka mengajukan syarat
yang mustahil sampai Rama maju dan mengangkat busur itu dengan entengnya
lalu merentangkan talinya. Tampaknya Rama menggunakan kekuatan yang
agak berlebihan dalam menarik Haradhanu karena setelah itu Haradhanu
tiba-tiba malah patah jadi dua, menimbulkan suara guntur menggelegar
yang terdengar sampai pertapaan Parasurama.
Rama akhirnya mendapatkan Sinta dan Dasarata pun datang ke Mithila
untuk menghadiri upacara pernikahan putranya. Saat pesta usai, rombongan
dari Kosala memboyong pasangan ini pulang ke Kosala dengan didampingi
Wiswamitra dan Wasistha (anggota Sapta Rsi yang lain), tapi tengah jalan
mereka dicegat oleh Parasurama. Wiswamitra yang biasanya ‘sangar’ dan
Wasistha yang biasanya tenang langsung gugup setengah mati dan meminta
koleganya sesama Sapta Rsi itu kembali ke pertapaan, tapi Parasurama
bergeming. Ia malah menantang Rama untuk merentangkanWisnudhanu (Busur
Wisnu) miliknya kepada Rama. Busur ini konon tidak bisa digunakan
siapapun kecuali Parasurama dan para Awatara Wisnu. Saat Rama dengan
mudahnya membengkokkan busur itu, ia mengancam Parasurama, “Waisnawa ini
harus mendapatkan mangsa. Apa yang Tuan (Parasurama) pilih untuk
dihancurkan panah ini? Kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?”
Parasurama memilih supaya busur itu menghancurkan hasil tapanya (yang
akhirnya membuat Parasurama harus mengulangi tapanya dari awal dan
kekuatannya jauh berkurang di zaman para Pandawa) lalu mundur kembali ke
dalam hutan untuk mengasingkan diri.
Rama dan Sinta hidup bahagia selama beberapa tahun di Ayodhya,
ibukota Kosala, sampai suatu hari Dasarata yang telah menua mengemukakan
rencananya kepada para permaisuri untuk mengangkat Rama sebagai
Yuwaraja (putra mahkota) sekaligus pelaksana tugas harian kerajaan
karena sebentar lagi ia hendak mengundurkan diri. Pada awalnya ketiga
permaisurinya setuju saja. Tapi seorang dayang Kekayi yang bernama
Mantara, mengemukakan pendapatnya bahwa Bharata kelak bisa saja
disingkirkan oleh Rama kalau Rama menjadi raja, sebab Dasarata dulu
pernah berjanji bahwa putra Kekayilah yang akan menjadi raja. Rama pasti
ingat akan janji itu dan pasti akan menghabisi atau mengasingkan
Bharata dan Kekayi nantinya.
Terhasut oleh kata-kata Mantara, Kekayi menggunakan dua hak
istimewanya yang tidak pernah ia pakai itu. Pertama ia meminta agar
bukan Rama yang menjadi Yuwaraja melainkan Bharata. Yang kedua ia
meminta agar Rama dibuang ke hutan selama 14 tahun. Dasarata langsung
tergoncang mendengar permintaan Kekayi tapi karena ia sudah terlanjur
janji dan melanggar janji pada masa itu bisa dibilang sama saja
mencoreng harga diri, maka dengan berat hati ia mengabulkan permohonan
Kekayi.
Apa tanggapan rakyat Kosala? Mereka memprotes keputusan Raja. Mereka
menghujat Dasarata dan Bharata, terlebih ketika Rama dan Sinta
meninggalkan istana tanpa pakaian kebesaran, hanya mengenakan pakaian
kulit pohon ala para pertapa. Laksmana yang paling emosi. Ia sempat
minta izin Rama untuk memimpin pemberontakan kepada ayah mereka sendiri
tapi Rama mencegahnya. Pada akhirnya Laksmana memilih ikut dengan Rama
karena dia tidak mau ‘dekat-dekat’ dengan Bharata.
Dasarata meninggal tak lama setelah Rama pergi. Sementara itu saudara
kembar Laksmana, Satrugna, memilih tinggal di Ayodhya sampai Bharata
pulang dari negeri seberang. Ketika Bharata kembali, dia langsung gempar
mendengar cerita Satrugna bahwa Rama telah pergi dan cerita ibunya
bahwa Dasarata telah meninggal dan kini ialah yang menjadi raja.
Langsung saja ia menyusul Rama ke hutan dan memintanya kembali tapi Rama
menolak karena kalau ia kembali berarti ia akan mempermalukan nama
ayahnya sepanjang masa (Mereka yang melanggar sumpah di masa ini,
namanya akan tercoreng dan jadi bahan hujatan meski sudah mati). Bharata
akhirnya menyerah dan meminta kasut Rama.
Ketika Bharata kembali ke Ayodhya, ia mengumumkan dua maklumat :
1. Dia tidak lagi mengakui wanita bernama Kekayi sebagai ibunya karena
tindakan jahatnya yang mengusir Rama dengan menggunakan janji Dasarata
bertahun-tahun yang lalu.
2. Bharata tidak akan memerintah Ayodhya dan seluruh Kosala sebagai
raja, melainkan hanya sebagai wali raja. Raja Ayodhya dan seluruh Kosala
tetaplah Rama dan kasut Rama akan ia letakkan di singgasana sebagai
tanda bahwa Rama kelak akan kembali sebagai raja.
Hubungan Bharata dan Kekayi tidak pernah sama lagi setelah itu.
Rama menghabiskan 12 tahun pengasingannya di antara para Rsi yang
mengasingkan diri. Terkadang ia bertemu dengan Wiswamitra yang sekali
lagi ngasih Rama dan Laksmana ‘kerjaan sambilan’ mengusir raksasa.
Terkadang ada juga Rsi lain yang minta tolong langsung pada Rama untuk
mengusir raksasa.
Di tahun ke 13, Rama dan Sinta kedatangan tamu. Cewek cantik yang
terang-terangan menggoda Rama bernama Surpanaka. Ia hendak membunuh
Sinta supaya bisa merebut Rama, tapi Laksmana yang baru kembali dari
mencari kayu langsung mengusir Surpanaka. Surpanaka akhirnya kembali
pada sosok semulanya yakni raksasi (raksasa wanita) dan menghajar
Laksmana. Tapi Laksmana justru malah memotong dan mencederai hidung dan
kuku-kuku Surpanaka lalu mengusirnya dari area tempat tinggal Rama.
Surpanaka yang sakit hati dikalahkan, mengadu pada kakaknya, yakni
Kara. Kara dan pasukannya langsung menggempur rumah Rama namun Rama dan
Laksmana berhasil menghabisi seluruh pasukan itu. Akhirnya Surpanaka
melaporkan keluhannya kepada Rahwana di Kerajaan Alengka. Atas
kelancangan Rama dan Laksmana. Rahwana langsung turun langsung ke
lapangan, mengintai rumah Rama. Tapi ketika melihat sosok Sinta, dirinya
langsung menginginkan wanita itu menjadi istrinya (meski dia sudah
punya banyak istri sebelumnya ).
Ia kemudian menyuruh Marica mengubah dirinya menjadi kijang emas.
Sinta yang melihat kijang itu langsung meminta agar Rama memburunya.
Rama akhirnya meninggalkan Sinta di pondok dengan pengawasan Laksmana.
Kijang yang diburu Rama terus mengantarkannya ke tengah hutan. Ketika
Rama memanahnya, hewan tersebut berubah kembali menjadi Marica, patih
Sang Rahwana. Saat Marica sekarat, ia mengerang dengan keras sambil
menirukan suara Rama. Merasa bahwa ada sesuatu yang buruk telah menimpa
suaminya, Sinta menyuruh Laksmana agar menyusul Rama ke hutan. Pada
mulanya Laksamana menolak, namun karena Sita bersikeras (bahkan sampai
menuduh Laksmana berniat merebut dirinya dari Rama), Laksmana
meninggalkan Sinta. Sebelumnya ia sudah membuat lingkaran pelindung agar
tidak ada orang jahat yang mampu menculik Sita. Rahwana yang menyamar
sebagai brahmana, menipu Sinta sehingga Sinta keluar dari lingkaran
pelindung dan diculik oleh Rahwana. Saat Laksmana menyusul Rama ke
hutan, Rama terkejut karena Laksmana melapor bahwa ia meninggal Sinta
sendirian di dalam pondok. Ketika mereka berdua pulang, Sinta sudah
tidak ada.
Dasarata pernah menjalin hubungan akrab dengan Jatayu – raja para
burung Garuda. Saat Rama dalam masa pembuangan, Jatayu sering menemui
Rama dan kadang mengusulkan tempat tinggal yang layak bagi Rama. Saat
Rama dan Laksmana menyusuri pelosok gunung, hutan, dan sungai-sungai,
mereka menemukan tempat yang penuh ceceran darah dan pecahan-pecahan
kereta, seolah-olah pertempuran telah terjadi. Rama berpikir bahwa itu
adalah pertempuran antar raksasa yang memperebutkan Sita, dan tak lama
kemudian mereka menemukan Jatayu yang sekarat. Dari penjelasan Jatayu
Rama tahu bahwa Sita diculik Rahwana. Setelah memberitahu Rama, Jatayu
menghembuskan napas terakhirnya. Rama dan Laksmana kemudian mengadakan
upacara pembakaran jenazah bagi Jatayu.
Seorang dewa bernama Kabanda menemui Rama dan Laksmana dan menyarankan
mereka menemui seorang wanara bernama Sugriwa karena Sugriwa mungkin
saja bisa membantu Rama menemukan Sinta.
Saat mereka memasuki daerah para wanara, mereka ditemui sesosok
brahmana yang tak lain adalah Awatara Siwa, Hanoman. Ketika dua awatara
Trimurti ini sudah saling mengenali, Hanoman mengantarkan Rama pada
Sugriwa. Sugriwa pun berjanji akan membantu Rama menyerbu Alengka asal
Rama mau membantunya mengalahkan kakaknya, Subali, guna menempatkannya
di tahta Kiskenda. Rama setuju dan ketika Subali dan Sugriwa bertarung,
Rama memanah Subali dari belakang dan mengakhiri riwayat Subali.
Beberapa saat setelah penobatan Sugriwa, Sugriwa mengirimkan tim pencari
beranggotakan Anggada (putra Subali), Hanoman, dan Jambawan untuk
mencari jalur menuju Alengka.
Di tahun ke-14 pengasingannya, Hanoman dan tim pencari lainnya
kembali dan menceritakan soal medan Alengka pada Subali dan Rama. Rama
pun segera berangkat diiringi Laksmana para wanara Kiskenda. Ketika
mereka sudah mencapai pantai yang memisahkan Kiskenda dengan Alengka,
seorang raksasa bernama Wibisana datang menghadap Rama bersama dua
raksasa lainnya. Ia mengaku akan berpihak pada Rama.
Lalu masalah baru menghadang. Di pasukan Rama yang bisa terbang / lompat melintasi lautan cuma :
• Anggada
• Hanoman
• Rama
• Laksmana
• Wibisana dan para pengawalnya
Yang lain tidak dan lautan terlalu deras untuk dilalui dengan
berenang. Akhirnya Rama bersemedi kepada Baruna untuk memohon supaya
Sang Dewa Lautan membukakan laut (baca : mengeringkan laut) bagi
pasukannya. Tiga hari bersemedi, Baruna diam saja. Rama kesal dan
langsung menarik busurnya dan bersiap meluncurkan Brahmastra ke lautan.
Baruna yang ketakutan akhirnya langsung muncul dan berkata bahwa dia
tidak bisa mengabulkan permohonan Rama sebab lautan tidak mungkin dan
tidak boleh terbelah. Ia akhirnya menyarankan Rama membangun jembatan
saja.
Seorang wanara bernama Nila ditunjuk menjadi mandor jembatan. Ketika
jembatan itu selesai, jembatan itu diberi nama Ramasetu. Dengan jembatan
itulah para wanara beranjak merangsek ke Alengka.
Alengka digempur selama berhari-hari. Dalam pertempuran ini konon
Indra, sang raja kahyangan, dan Garuda, wahana Wisnu, juga turut serta.
Sehari menjelang pertempuran terakhir, Rahwana memanggil adiknya
Kumbakarna dan menyuruhnya maju menghadapi Rama.
Kumbakarna sebenarnya tidak setuju dengan tindakan Rahwana yang main
ambil istri orang. Tapi karena menghormati kakaknya sebagai raja, ia
akhirnya maju perang juga. Kumbakarna menghabisi peleton yang dipimpin
Anggada dan Nila sebelum Rama menyelamatkan Anggada dan Nila dengan
memanah kedua tangan Kumbakarna. Dalam keadaan tangan buntung,
Kumbakarna tetap mengamuk menggunakan kakinya, Rama pun memanah kedua
kaki Kumbakarna. Kumbakarna pun masih melawan dengan
mengguling-gulingkan tubuhnya sampai akhirnya Rama memenggal kepala
Kumbakarna.
Sepeninggal anak-anak dan saudara-saudaranya, akhirnya Rahwana
sendiri maju perang di hari terakhir. Rama dan Rahwana akhirnya saling
baku hantam selama berjam-jam sampai akhirnya Rama memenggal satu demi
satu kepala Rahwana. Tapi setiap kepala yang terpenggal selalu tumbuh
kembali. Rama mencoba menghancurkan seluruhnya secara bersamaan dan
hasilnya sama saja. Kepala Rahwana tumbuh lagi.
Indra menganalisa kekuatan Rahwana lalu memberitahu Rama bahwa dahulu
Rahwana pernah diberi Tirta Amerta. Meski tidak bisa menelannya,
Rahwana menyimpan kendi berisi air abadi itu di dalam perutnya. Rama
harus menghancurkan kendi itu kalau ingin menghabisi Rahwana. Rama pun
akhirnya memanggil Brahmastra dan menghancurkan kendi berisi Tirta
Amerta di dalam tubuh Rahwana. Rahwana pun tewas beberapa jam setelah
itu.
Sinta dikurung di Alengka selama 1 tahun penuh, tapi meski raksasa,
Rahwana masih tahu adat-istiadat dan tidak memperkosa Sinta. Ia
mengurung Sinta di sebuah taman sampai Sinta bersedia menjadi istrinya.
Tapi Rama sendiri jadi ragu akan kesucian Sinta karena itu ia mengutus
Laksmana yang menjemput Sinta dari taman kurungannya.
Ketika Laksmana kembali, Rama memberinya perintah kedua yang
mengejutkan. Ia minta Laksmana membuatkan tempat pembakaran diri bagi
Sinta karena Rama ingin tahu apakah Sinta masih suci atau tidak.
Laksmana protes dan mengomel tapi akhirnya ia membuatkan juga tempat
itu. Api dinyalakan dan setelah beberapa saat, Dewa Agni keluar dari
dalam api dengan membopong tubuh Sinta sambil memarahi Rama karena
meragukan kesucian Sinta. Rama menyerahkan tahta Alengka pada Wibisana lalu memulai perjalanannya
pulang kembali ke Kosala. Rama dan Sinta sendiri kembali ke Ayodhya di
akhir tahun ke-14 pengasingannya. Bharat dan Kekayi menyambut mereka
lalu menobatkan Rama menjadi raja Ayodhya. Rama konon memerintah selama
11.000 tahun dan memiliki dua anak kembar yakni Kusa dan Lawa. Kosala
sendiri kemudian menjalin hubungan erat dengan Kiskenda, kerajaan para
wanara.
Sinta adalah putri Dewi Bumi. Suatu ketika ia menghilang ke dalam
bumi, kembali ke pelukan ibunya. Rama sendiri bersama Satrugna dan
Bharata kemudian pergi ke Sungai Sarayu (Serayu) dan ketiganya moksha
bersama-sama, bersatu membentuk sosok Wisnu.
• Laksmana tidak tinggal bersama Rama lagi saat akhir hayatnya.
Karena pernah tanpa sengaja terpaksa melanggar peraturan saat Rama
tengah berbincang dengan Batara Yama, Laksmana diasingkan dan akhirnya
menjadi pertapa di akhir hayatnya. Laksmana juga akhirnya moksha dan
kembali menjadi sosok naga Ananta Sesa.
8. Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST:
kṛṣṇa; dibaca
[ˈkr̩ʂɳə]) adalah
salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit
gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu
merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain
seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda
Hindu dalam kitab
Purana dan
Mahabharata menyatakan bahwa
ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan
Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja
sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh
awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiy
Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau
perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang
mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya
Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita
Mahabharata ia
dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa.
Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran
filosofis, dan umat Hindu meyakini
Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
Krishna adalah anak ke delapan, dari pasangan Devaki dan Vasudeva, ia
merupakan anak yang tidak diharapkan oleh Pamannya sendiri yakni Kansa.
Kansa menjadi raja kerajaan Mathura setelah memenjarakan ayahnya
sendiri Ugrasena . Setelah hal itu dia mendapatkan bisikan bahwa ia akan
dibunuh oleh anak ke delapan dari adiknya sendiri yakni Devaki.
Ketakutan dengan bisikan tersebut Kansa kemudian memenjarakan Devaki dan
Vasudeva. Di dalam penjara, Devaki dan Vasudeva memiliki anak, setiap
anak itu lahir kemudian Kansa membunuhnya, hingga akhirnya Devaki hamil
anak ke delapan, namun secara gaib rahim itu dipindahkan ke Rohini
(istri pertama vasudeva). Merasa ada yang janggal dengan kehamilan anak
ke tujuh Kansa mendapat sebuah pendapat dari penasihatnya, bahwa
sebenarnya yang akan menjadi pembunuhnya adalah kehamilan (garbha)
kedelapan bukan kelahiran kedelapan. Mengetahui bahwa Krishna dalam
bahaya, kemudian Devaki menyelundupkan krishna kecil diam diam dari
penjara untuk diasuh Yasodha.
Mengetahui hal tersebut, Kansa marah luar biasa, ia kemudian selalu
mengirim para Raksasa untuk membunuh Krishna kecil. Mungkin bagian
cerita ini sudah akrab bagi pembaca yang sudah pernah menonton film
animasi The Little Krishna. Krishna di desa ia tinggal (Vrindavan)
menjadi anak yang amat diidolakan oleh penduduknya, namun seringkali ia
berbuat kenakalan dan mencuri mentega. Namun seringkali ia harus
menghadapi cobaan yang amat berat yang dikirimkan Kansa kepadanya. Tidak
cuma cobaan dari Kansa, kadangkala muncul juga cobaan dari dewa
lainnya, seperti dari Brahma dan Indra. Penggambaran krishna pada masa
kanak kanak ialah penggambaran seorang anak yang sangat suka bermain,
dan menyenangkan. Penggambaran ini banyak dianalogikan kepada kebudayaan
Hindu yang mengutamakan perayaan yang bersifat kegembiraan dan
menumbukan persatuan. Hal ini dapat dilihat kepada tari-tarian, musik
dan sebagainya. Sebagaimana digambarkan kepada Krishna yang suka bermain
seruling dan menari (bahkan ketika melawan ular raksasa sekaipun).
Ketika ia cukup umur, kemudian ia kembali lagi ke kerajaan Kansa. Ia
mengetahui apa yang diperbuat oleh Kansa, kemudian ia membunuh Kansa dan
pengikut-pengikutnya. Setelah itu kemudian ia membebaskan kakeknya
(Ugrasena) , dari penjara. Ia menjadi pangeran.
Krishna di Mahabharata
Krishna mengambil peranan penting dalam kisah Mahabharata, ia juga
merupakan kerabat dari Kunti. Ketika Yudhistira melaksanakan penobatan
menjadi raja (Rajasuya), ia memberikan hadiah kepada orang orang yang
paling dihormatinya dan menurut pendapat Bhisma, lebih baik yang pertama
kali adalah kepada Krishna. Namun Sisupala tidak setuju dan terus
menghina Krishna dengan hinaan bertubi tubi, karena krishna sudah
bersumpah dia tidak akan membalas hinaan leh sisupala hingga ke 100 kali
kepada ibu sisupala, krishna diam saja hingga cacian yang ke 100 kali
baru ia mengeluarkan senjata cakram nya dan menebas kepala sisupala.
Peran Krishna di Mahabharata kemudian menjadi penting terutama dalam
pendamaian dan perang di Kurukshetra. adapun beberapa poin strategi
Krishna dalam perang tersebut ialah:
1. Menjadi juru damai antara Pandawa dan Kurawa, namun gagal,
kemudian ia menawarkan kepada Pandawa dan Kurawa, manakah yang akan
dipilih, dia atau tentaranya, kemudian Pandawa memilih Krishna dan
Kurawa memilih tentara Krishna.
2.Membangkitkan daya juang Arjuna, karena arjuna merasa tidak tega
untuk melawan saudaranya dan kakeknya (Bhisma yang berada di pihak
kurawa). Bagian ini menjadi kitab sendiri bernama Bhagavad Gita
3.Membantu membunuh Bhisma, Karena arjuna tidak kuat untuk membunuh
Kakeknya maka Krishna mengatur siasat untuk mengalahkan Bhisma
4.Membantu menglahkan Drona (Durna) dengan menggunakan siasat agar Yudhistira mengatakan bahwa anak drona telah mati.
5.Membantu mengalahkan Duryodana.
Hampir seluruh siasat dan taktik dalam perang di Kurukshetra
disiasati oleh Krishna. Hal ini mengantarkan para Pandawa meraih
kekuasaannya kembali di Hastina. Menurut sejarahnya yang panjang dan
penuh epik, krishna sebagai avatara wisnu telah membuat semaam sekte
tersendiri dalam hindu, yang bernama Vaisnawa. Sekte ini mementingkan
peada pemujaan Wisnu dan Krishna. Sehingga dapat dikatakan bahwa avatar
ini merupakan avatar yang memiliki riwayat terlengkap dan pemujaan
tersendiri dalam bentuk avatara nya.
9. Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab
Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu.
Awatara Wisnu yang kesembilan dalam daftar Dasa Awatara
adalah seorang yang disebut Buddha. Kata “Buddha” ini kemudian merujuk
kepada seorang bekas pangeran Kapilawastu bernama Siddharta Gautama yang
kemudian dikenal luas karena mendirikan Buddhisme. Awatara satu ini
memicu banyak ‘kontroversi’, baik saat beliau masih hidup maupun saat
beliau sudah mangkat. Buddha Awatara juga awatara Wisnu yang berusia
paling pendek di antara awatara lainnya (hanya 80 tahun).
Dalam pembahasan ini akan menggunakan riwayat 'gabungan'
baik dari sudut pandang Buddhisme maupun Hinduisme. Di Buddhisme, Buddha
pada awalnya hanya manusia biasa yang kemudian mencapai pencerahan.
Dewa-dewa ada, tapi mereka benar-benar entitas yang terpisah dengan para
Buddha. Sementara di Hinduisme, Buddha adalah awatara Wisnu.
(Pembahasan tentang Buddha Awatara ini mungkin agak sedikit ‘kontroversial’ jadi mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.)
Siddharta adalah putra Ratu Maha Maya dan Raja Suddhodana
dari Kerajaan Kapilawastu. Saat mengandung Siddharta, Ratu Maya sudah
berusia 45 tahun dan selama masa kehamilannya, sang ratu sempat bermimpi
dirinya ditemui seekor gajah putih yang kemudian merasuk ke dalam
rahimnya. Para brahmana kemudian dipanggil untuk mengartikan mimpi itu
dan mereka berpendapat bahwa bayi yang dikandung sang ratu kelak akan
menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha
(yang tercerahkan).
Ketika usia kandungannya sudah mencukupi (konon Ratu Maya
mengandung Siddharta selama 10 bulan), Ratu Maya pulang ke rumah
orangtuanya di Devadaha – sebagaimana tradisi pada masa itu lebih
menyukai seorang calon ibu melahirkan di rumah orangtuanya. Di tengah
jalan mereka beristirahat di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar,
Nepal) dan saat itu Ratu Maya turun dari tandu dan berjalan-jalan di
sekitar taman.
Tiba-tiba perut sang ratu berkontraksi dan para dayang
segera membuat tirai di sekeliling sang ratu kemudian lahirlah
Siddharta. Konon Siddharta lahir saat sang ratu dalam posisi berdiri,
bisa langsung berjalan dan berbicara.
Dan konon pula, bersamaan dengan kelahiran Siddharta, juga lahir pula :
• Yasodhara, yang kelak menjadi istri Siddharta,
• Ananda [Anak dari Amitodana, saudara termuda Raja Suddhodana], yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha selama 25 tahun,
• Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha,
• Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha,
• Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilawastu,
• Pohon Bodhi, yang kelak akan menjadi tempat bagi Pangeran Siddhattha untuk mendapatkan Penerangan Agung,
Ratu Maya sendiri wafat tujuh hari setelah persalinannya.
Sebagai pengganti Maha Maya, Suddhodana kemudian menikahi
adik Maya yang bernama Prajapati Gotami. Prajapati inilah yang kemudian
menjadi sosok ‘ibu’ yang mengasuh Siddharta. Pada masa balita ini,
sejumlah pertapa datang berkunjung ke istana Suddhodana, salah satunya
bernama Asista. Brahmana Asista kemudian meramalkan bahwa Pangeran
Siddharta takkan menjadi raja. Setelah menyaksikan orang tua, orang
sakit, orang meninggal, dan seorang Brahmana/Pertapa, Siddharta akan
meninggalkan istana dan menjadi rahib.
Suddhodana ketakutan setengah mati mendengar ramalan itu.
Meskipun dengan Prajapati ia memiliki putra bernama Nanda dan seorang
putri bernama Sundari, ia tetap lebih suka Siddharta yang jadi raja.
Maka Suddhodana memerintahkan Siddharta dijaga dan diasuh secara ketat.
Ia tak boleh menyaksikan ‘penderitaan’ dan setiap kali Siddharta keluar
istana, Raja akan memerintahkan rakyat untuk membersihkan jalan, memakai
pakaian terbagus, dan bersorak-sorai gembira seolah tidak ada masalah
(walau mungkin mereka punya masalah).
Dalam masa-masa remajanya, Siddharta banyak bergaul dengan
binatang-binatang di sekitar istana. Sifatnya yang simpatik dan welas
asih membuat binatang-binatang tidak takut pada Siddharta.
Siddharta juga pernah menyelamatkan seekor ular yang hendak
dipukul seorang anak kota serta menyelamatkan seekor angsa yang sempat
kena panah sepupunya : Devadatta.
“Dalam kehidupanku yang sudah-sudah, aku dan Yasodhara selalu menjadi pasangan.”
(Siddharta Gautama)
Perenungan pertama Siddharta tentang penderitaan adalah
ketika ia melihat semacam rantai makanan. Semut dimakan kadal, tiba-tiba
ular memakan kadal, baru sebentar juga, ada burung elang menyambar si
ular. Dari situ Siddharta mulai berpikir tentang kesenangan makhluk
hidup yang rata-rata cuma sesaat.
Sejak saat itu Siddharta sering ditemukan para dayang
tengah duduk bersila, bermeditasi, dan tidak terganggu dengan keriuhan
lingkungan sekitarnya. Raja Suddhodana yang dilapori hal itu tidak ingin
anaknya berpikir hal-hal yang mendalam mengenai kehidupan. Ia ingat
bahwa orang-orang bijak (Bramana/Pertapa) telah memprediksikan bahwa
anaknya akan meninggalkan istana dan menjadi seorang rahib.
Jadi, untuk mengalihkan perhatiannya, sang raja kemudian
mendirikan sebuah istana yang megah. Raja memerintahkan untuk membuat
tiga kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanami berbagai jenis
bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna
biru (Upala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma), dan
satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika).
Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan
wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang terkenal
sebagai penghasil barang-barang bermutu terbaik. Tari dan musik
dimainkan tanpa henti di istana itu. Tetapi itu tidak menghentikan
Pangeran Siddharta dari pemikiran mengenai penderitaan dan
ketidakbahagiaan yang terjadi disekitarnya.
Pada usia 16 tahun, Raja Suddhodana menyarankan Siddharta
untuk mencari istri. Kebetulan di Kerajaan Koliya, ada sayembara untuk
memperebutkan Putri Yasodhara. Siddharta memenangkan sayembara memanah,
dan meruntuhkan sebuah pohon dengan sabetan pedang. Tapi ada 2 orang
lagi yang bertanding dengannya di sayembara akhir : menunggangi kuda
liar. Dua lawannya jatuh terjerembab karena kuda itu terus berontak,
tapi dengan kelemahlembutannya, Siddharta berhasil menjinakkan kuda itu.
Yasodhara pun resmi menjadi pasangannya.
Yasodhara dan Siddharta pun menikah, tapi hati Siddharta
tetap saja gundah setiap kali memikirkan tentang penderitaan hewan-hewan
(rantai makanan) yang pernah ia jumpai. Karena itu ia kemudian
memutuskan keluar istana dengan sembunyi-sembunyi bersama Channa –
kusirnya, dan di luar sana (tanpa persiapan khusus ayahnya) ia melihat
empat tanda. Ia melihat orangtua yang jalannya terbungkuk-bungkuk dengan
menggunakan tongkat dan Siddharta pun mulai ketakutan ketika Channa
menjelaskan bahwa tidak ada obat untuk mencegah usia tua. Ia kemudian
bertemu seorang pria bertubuh kurus kering yang terbaring di jalanan dan
mengeluh sakit, Channa menjelaskan bahwa pria itu tengah sakit dan
sakit selalu akan datang pada tiap orang tak terkecuali pada raja atau
seorang pangeran macam Siddharta sekalipun. Kemudian mereka bertemu
serombongan orang yang tengah memikul tandu jenazah dan kembali
Siddharta menanyakan apa tidak ada obat untuk kematian, Channa kembali
menjawab bahwa kematian itu tak terelakkan. Setelah itu Siddharta
bertemu dengan seorang brahmana dan Siddharta dibuat terpesona oleh
ketenangan sang brahmana menghadapi ‘dunia nyata’. Dalam hati Siddharta
mulai memupuk keinginan untuk menjadi rahib.
Siddharta kemudian kembali ke istana, tapi keputusannya
untuk menjadi rahib harus ia urungkan karena Yasodhara dikabarkan tengah
hamil. Ketika Yasodhara melahirkan, dari mulut Siddharta terucap
kalimat, "Belenggu terlahir, ikatan terlahir." Karena ucapan ini maka
putranya dinamai Rahula, yang artinya belenggu / beban.
Di usianya yang ke-29, Siddharta mulai menjauhi aneka
hiburan terutama tari-tarian. Ayahnya kemudian merasa amat khawatir
kalau-kalau niat anaknya menjadi pertapa sudah mulai muncul. Benar saja,
begitu diminta jujur, Siddharta menjawab bahwa ia memang ingin menjadi
pertapa untuk mencari jawaban, mencari obat untuk menyembuhkan segala
penyakit, usia tua, kematian, dan terutama penderitaan. Tapi kalau Raja
Suddhodana punya obat untuk itu semua, ia takkan meninggalkan istana.
Raja Suddhodana jelas tidak bisa memenuhi keinginan Siddharta tapi ia
juga tidak mau anaknya pergi. Karena itu malam harinya Siddharta
merencanakan sebuah rencana untuk kabur.
Malam itu, ia meninggalkan Yasodhara dan Rahula yang masih terlelap,
membangunkan Channa lalu pergi dari istana. Dari situ ia menuju Magadha,
kemudian ia memotong rambutnya, melepas segala atribut kebangsawannanya
dan menyuruh Channa kembali ke Kapilawastu untuk mengembalikan
benda-benda itu pada ayah dan istrinya. Siddharta sendiri kemudian
mengembara dan mulai hidup sebagai rahib peminta-minta (sekarang tradisi
meminta makanan ini masih dilakukan oleh para bhikku dengan nama
Pindapata). Ia juga berguru kepada banyak brahmana, namun
brahmana-brahmmana inipun tidak bisa menjawab pertanyaannya mengenai
kebebasan dari samsara (penderitaan).
Siddharta kemudian mencoba cara lain seperti Tapabrata,
bertapa tanpa makan dan minum untuk waktu yang lama sambil berjemur di
panas terik saat siang atau berendam di sungai waktu malam. Di
kisah-kisah Weda dan Purana, para pelaku tapabrata kadang berakhir
sebagai ‘tulang-belulang yang dihinggapi arwah penasaran’ sampai dewa
datang memulihkan raga para pelaku tapa. Dalam kasus Siddharta, itu
tidak terjadi :3 . Ia malah nyaris tewas kalau tidak ditolong seorang
anak gembala yang memberinya susu kambing karena tubuhnya sudah
sedemikian kurusnya. Para brahmana ortodox pada zaman itu menolak
bersentuhan dengan Sudra, tapi Siddharta tidak mau seperti itu. Hal ini
diperparah setelah Siddharta menerima pemberian bubur susu dari seorang
anak petani bernama Nandabala dan ibunya Sujata. Siddharta kemudian
mulai makan teratur sampai kesehatannya pulih dan para teman-teman
brahmananya kemudian men"cap"nya sebagai orang rakus lalu mulai
menjauhinya.
Setelah kesehatannya pulih, Siddharta mulai kembali
bermeditasi, kali ini di bawah pohon bodhi (Ficus religiosa). Kali ini
prinsip Siddharta adalah mengabaikan segala gangguan luar dan
mengabaikan semua pemikiran duniawi. Bukan perkara mudah sebenarnya,
karena ada banyak imajinasi-imajinasi duniawi melintas di kepalanya dan
ada juga ... Mara.
“Dengan seribu tangan, yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekkhala,
Mara bersama pasukannya meraung menakutkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan dana dan paramita yang lainnya
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.”
Mara adalah sosok makhluk personifikasi dari nafsu duniawi.
Sebagian bhikku menganggap bahwa Mara tidak nyata, hanya sebuah
personifikasi tapi sebagian lagi mengganggap Mara adalah makhluk
supranatural yang benar-benar ada. Dikisahkan Mara meneror Siddharta
dengan pasukannya yang terdiri dari sekumpulan makhluk mengerikan, tapi
Siddharta tidak gentar. Mara kemudian mencoba mengirimkan putrinya yang
menyamar sebagai Yasodhara tapi gagal juga, pada akhirnya Mara
benar-benar ‘marah’ dengan menyerang langsung Siddharta dengan
senjatanya tapi akhirnya gagal. Senjatanya hancur, gajah tunggangannya
malah berlutut di depan Siddharta dan seluruh dewa-dewa kahyangan malah
turun dan siap menghajarnya. Mara pun akhirnya menghilang. untuk
sementara waktu, dan Siddharta telah menjadi seorang Buddha, di usianya
yang ke-35 tahun.
Setelah menjadi Buddha, Siddharta bertemu dengan lima
rekannya yang dulu sempat menjulukinya pertapa rakus. Kelima brahmana
ini dibuat terkejut dengan penampilan Siddharta yang ‘berbeda’ dan
bertanya kepada siapa Siddharta berguru. Siddharta menjawab bukan dengan
siapa-siapa selain dirinya sendiri. Ia memproklamirkan dirinya sebagai
seorang Buddha dan mengajak lima orang rekannya itu membentuk sangha
(persaudaraan).
Sangha ini mulanya hanya terdiri dari 6 orang, namun lama
kelamaan berkembang menjadi banyak. Sang Buddha kemudian mengajari para
bhikku ini delapan jalan untuk melenyapkan penderitaan :
1. Pengertian Yang Benar (sammä-ditthi)
2. Pikiran Yang Benar (sammä-sankappa)
3. Ucapan Yang Benar (sammä-väcä)
4. Perbuatan Yang Benar (sammä-kammanta)
5. Pencaharian Yang Benar (sammä-ajiva)
6. Daya-upaya Yang Benar (sammä-väyäma)
7. Perhatian Yang Benar (sammä-sati)
8. Konsentrasi Yang Benar (sammä-samädhi)
Dan Pancasila (bukan Pancasila dasar negara Republik Indonesia) sebagai sumpah moralnya :
1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
2. Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan)guna mencapai samadi.
3. Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila
(berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga)guna
mencapai samadi.
4. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar
/berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong (nilai kejujuran)guna mencapai
samadi.
5. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan
makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai
pembebasan)guna mencapai samadi.
Mereka yang telah mencapai kesempurnaan (kesadaran)
tertinggi setelah Buddha disebut telah mencapai arahat (kesempurnaan).
Yang unik, murid kesayangan sekaligus asisten Buddha yakni Ananda, baru
mencapati tahap arahat pasca wafatnya Sang Buddha.
Setiap nabi atau orang bijak selalu ‘dikasih’ pengkhianat. Yesus dengan Yudas Iskariotnya dan Buddha dengan Devadatta.
Kali ini Devadatta kembali lagi, awalnya sebagai seorang bhikku, murid
Sang Buddha, tapi kemudian Devadatta yang awalnya sudah arogan, sangat
cemburu karena tidak diberi ‘jabatan’ penting. Buddha malah menunjuk dua
orang bhikku yang masih baru bernama Sariputta dan Moggallana untuk
menjadi pengikut utamanya (calon penerus). Karena itu Devadatta pun
meninggalkan Sangha (komunitas para Bhikkhu dan Bhikkhuni) dan berteman
dengan pangeran Ajatasattu, anak dari Raja Bimbisara. Sang pangeran
membangun sebuah vihara pribadi untuk Devadatta. Devadatta kemudian
membujuk pangeran untuk membunuh ayahnya, Raja Bimbisara, agar sang
pangeran dapat menjadi raja. Sang pangeran mengikuti skema jahat
Devadatta dan tidak memberi ayahnya makan hingga tewas lalu Ajatasattu
menjadi raja.
Karena sekarang Devadatta merasa sangat berkuasa karena
raja yang baru adalah teman dan pendukungnya, ia memutuskan untuk
membunuh Sang Buddha untuk mengambil alih sangha. Suatu malam, ketika
Sang Buddha sedang berjalan di bukit berbatu, Devadatta mendorong jatuh
sebuah batu besar untuk membunuh Sang Buddha. Tetapi batu itu tiba-tiba
terpecah-bilah dan hanya sebagian kecil dari batu itu yang tajam yang
melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kembali ke vihara dan dirawat oleh
seorang tabib terkenal, Jivaka.
Untuk mengesankan para Bhikkhu dan Bhikkhuni lain dan juga
mengganggu Sangha, Devadatta meminta Sang Buddha untuk membuat peraturan
(tata krama) yang lebih ketat untuk Sangha. Devadatta meminta agar para
Bhikkhu tidak diijinkan tidur di rumah atau makan daging. Tetapi Sang
Buddha menolak proposal Devadatta. Sang Buddha berkata: "Jika beberapa
Bhikkhu hendak tidur di luar rumah atau tidak memakan daging, mereka
bebas melakukannya. Tetapi jika mereka tidak ingin hidup dalam cara
demikian, mereka juga tidak harus melakukannya." Akhirnya, Sang Buddha
berkata:
"Devadatta, jika kamu ingin memecah Sangha, kamu akan memetik buah kejahatan."
(Buddha Gautama)
Devadatta mengabaikan peringatan Sang Buddha, dan pergi
memimpin sekelompok Bhikkhu dan membuat dirinya pemimpin dari kelompok
Bhikkhunya. Suatu hari, ketika Devadatta sedang tidur, pengikut utama
Sang Buddha yang bernama Sariputta datang dan memperingati para Bhikkhu
mengenai konsekuensi dari tindakan jahat. Para Bhikkhu itu kemudian
menyadari kesalahan mereka dan kembali kepada Sang Buddha. Bagaimanapun
juga, banyak diantara mereka telah dibawa pulang kembali oleh Sariputta
Thera dan Maha Moggallana Thera. Kemudian, Devadatta jatuh sakit.
Setelah menderita sakit selama sembilan bulan, dia meminta
murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara
Jetavana.
Mendengar kabar bahwa Devadatta akan tiba, Sang Buddha
berkata kepada murid-murid-Nya, bahwa Devadatta tidak akan pernah
mendapat kesempatan untuk menemui-Nya. Ketika Devadatta dan rombongannya
mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan
tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi.
Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya
di tanah.
Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit
demi sedikit dia ditelan bumi. Devadatta tidak memiliki kesempatan
untuk melihat Sang Buddha, karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan
terhadap Sang Buddha. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici
(Avici Niraya), tempat yang penuh dengan penyiksaan terus menerus.
“Sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir,
sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan sekarang mencapai Nibbāna
akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna
akhir.'
Setelah hal ini diucapkan, Sang Bhagava berkata kepada
māraṃ pāpimantaṃ (Mara papima): "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu.
Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena
(tiga bulan lagi) Sang Tathagata akan Parinibbana.”
(Mahaparinibbana Sutta)
Usia tua Buddha Gautama sama seperti orangtua pada umumnya.
Ketahanan tubuhnya sudah tidak bagus dan aneka penyakit sering
menyerang dirinya. Itu masih belum ditambah gangguan dari Mara, yang
bolak-balik membujuknya untuk segera paranibbana (meninggalkan dunia).
Meski begitu, Buddha Gautama tetap berkotbah dan mengajar dengan dibantu
oleh Ananda – bhikku asistennya yang paling setia. Ia juga menyempatkan
diri melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh untuk mengajar
meski usianya tidak muda lagi.
“Aku telah mambabarkan kebenaran tanpa perbedaan apa pun;
karena demi kebenaran, tidak ada yang disembunyikan dalam ajaran
Buddha... Adalah mungkin, Ananda, bahwa beberapa di antara kamu, akan
timbul pikiran, 'Kata-kata Sang Guru akan segera berakhir; sebentar lagi
kita tidak akan memiliki seorang guru.' Tapi jangan berpikir seperti
itu, Ananda. Bila Aku telah pergi, ajaran dan aturan disiplin-Ku-lah
yang akan menjadi gurumu.”
(Mahaparinibbana Sutta)
Tiga bulan sebelum kematiannya, Buddha Gautama mengumpulkan
semua bhikku untuk menyampaikan pesan-pesan terakhirnya. Ia
mengumpulkan para bhikku di suatu tempat di antara dua pohon sala di
Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya,
lalu Buddha pun Parinibbana.
Ajaran Buddha kini dikenal sebagai salah satu religi dengan
pengikut lumayan besar dan disebut Buddhisme. Saat ini di dunia ada
beberapa mazhab Buddhisme yakni :
1. Theravada – terutama tersebar di Asia Tenggara.
2. Mahayana – dulu merupakan agama dominan di Sumatra pada zaman
Sriwijaya dan di Jawa pada masa Mataram Kuno. Saat ini rata-rata
pengikutnya ada di India dan Sri Lanka.
3. Tantrayana / Vajrayana – penganutnya tersebar di Nepal dan Tibet.
4. Zen – biasanya ada di Jepang, termasuk mazhab unik karena mengizinkan biksunya berumahtangga tanpa harus melepas jubah.
==DALAM AGAMA HINDU==
“Di masa ini, Zaman Kali (kegelapan), Dewa Wisnu menjelma sebagai
Gautama, seorang Shakyamuni, dan mengajarkan dharma Buddha selama
sepuluh tahun. Kemudian Shuddhodana memerintah selama dua puluh tahun,
dan Shakyasimha selama dua puluh tahun. Pada tahap pertama Zaman Kali,
jalan Weda telah dihancurkan dan seluruh orang menjadi umat Buddha.
Orang-orang yang mencari perlindungan kepada Wisnu telah menjadi sesat.”
(Bhagavata Purana, 1 : 3)
Para brahmana ortodox cenderung akan menerjemahkan teks di
atas secara harafiah dengan mengatakan bahwa Wisnu menjelma menjadi
Buddha untuk menyesatkan manusia. Tapi brahmana yang lebih moderat
mengatakan bahwa kehadiran Buddha Awatara adalah untuk menyelesaikan
‘reformasi’ yang dibawa oleh Kresna Awatara.
Kresna sendiri ‘agak tidak setuju’ dengan sistem caturwarna
yang sering disebut juga sebagai kasta. Sistem ini pada awalnya
ditujukan untuk menggolongkan masyarakat sesuai profesi dan perannya
yakni brahmana (para guru dan cendikia), kesatria (para elit
pemerintahan dan prajurit), waisya (pedagang, peternak, petani yang
memiliki lahan), dan sudra (para pegawai). Namun setelah sekian lama
kaum brahmana dan kesatria meng-elit-kan diri dan mulai bersikap tidak
menyenangkan kepada dua kasta lainnya. Kresna sendiri tahu bagaimana
rasanya diperlakukan seperti itu namun apa yang dia sampaikan dalam
Bhagawad Gita belum terlalu berefek luas sehingga dalam kesempatannya
menjadi Buddha, ia hendak menyelesaikan ‘reformasi’ itu.
Buddha Awatara sendiri adalah satu-satunya awatara yang
benar-benar konsisten menjalankan prinsip ahimsa – tanpa kekerasan –
seumur hidupnya.
Penetapan Buddha sebagai awatara banyak mengundang
kontroversi. Tidak hanya dari para brahmana dan umat Hindu ortodox, tapi
juga dari para bhikku Buddhis itu sendiri.
Tahun 1999, dalam forum Masyarakat Maha Bodhi (Masyarakat
Buddha Asia Selatan), para bhikku dan brahmana yang berkumpul di sana
mengeluarkan tiga fatwa :
• Karena alasan tertentu beberapa sastra yang ditulis di India pada
zaman dahulu menganggap Buddha sebagai reinkarnasi Wisnu dan berbagai
anggapan keliru mengenai Beliau, hal ini sangat tidak menyenangkan.
Dalam upaya mengembangkan hubungan yang lebih akrab antara umat Hindu
dan Buddha kami memutuskan bahwa apapun yang terjadi pada masa lalu
mesti dilupakan dan keyakinan tersebut tidak boleh disebarkan.
• Untuk menghapus kekeliruan ini selamanya, kami mengumumkan bahwa baik
Weda maupun Samana merupakan tradisi kuno di India (Wisnu termasuk
tradisi Weda sedangkan Buddha termasuk tradisi Samana). Usaha yang
dilakukan suatu tradisi untuk menunjukkan bahwa ia lebih mulia
dibandingkan tradisi lainnya hanya memupuk kebencian dan sakit hati
antara keduanya. Maka dari itu hal tersebut tidak boleh dilakukan untuk
selanjutnya dan dua tradisi harus saling menghormati dan menghargai.
• Siapa pun mampu mencapai derajat tinggi di masyarakat dengan cara
melakukan perbuatan baik. Seseorang mendapat derajat yang buruk di
masyarakat jika melakukan perbuatan buruk. Maka dari itu siapa pun yang
melakukan perbuatan baik dan melenyapkan niat kotor seperti nafsu,
amarah, kebodohan, ketamakan, kecemburuan, dan ego dapat mencapai
derajat tinggi di masyarakat dan menikmati kedamaian dan kebahagiaan.
Pasca fatwa ini keluar, banyak brahmana yang mengganti
ajarannya mengenai Dasa Awatara. Awatara kedelapan diganti dengan
Balarama (Baladewa) Awatara sementara Awatara Kesembilan diganti dengan
Kresna Awatara.
==BUDDHISME DI NUSANTARA==
Di Nusantara abad 13-15, Buddhisme Mahayana berkembang pesat,
berdampingan dengan Hindu Siwa. Tapi dua hal yang berbeda biasanya
sedikit banyak pasti akan berkonflik dan untuk meredam konflik itu,
seorang pujangga bernama Mpu Tantular mengusulkan sebuah slogan
pendekatan dalam Kakawin Sutasoma : “Bhinnêka tunggal ika tan hana
dharma mangrwa.” (Terpecah belah tapi satu jua, sebab tak ada dharma –
kebenaran – yang mendua).
Teks lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Terjemahan (versi Dr Soewito Santoso):
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.”
Semenjak itu Hindu Siwa – Buddhisme dianggap sebagai dua
sekte berbeda dalam satu religi yang sama. Kedekatan ini kemudian
melahirkan sebuah agama sinkretis bernama Siwa-Buddha di mana masih ada
pemujaan terhadap dewa-dewi namun prinsip-prinsip Buddhisme ada di dalam
ajarannya. Siwa-Buddha sering disebut ‘Buda’ saja.
Pasca kemerdekaan Indonesia dan pemerintahan Presiden
Soekarno mengadakan sensus penduduk. Penduduk Tengger mengaku diri
beragama ‘Buda’ dan sampai tahun 1960-an kesalahpahaman bahwa mayoritas
penduduk Tengger beragama ‘Buddha’ masih terus berlangsung. Baru setelah
pemerintahan berganti, para pemuka agama dari 5 agama berunding dan
memutuskan bahwa mayoritas masyarakat Tengger punya tatacara beribadat
yang cenderung mirip dengan agama Hindu.
Sisa-sisa penganut Siwa-Buddha juga masih bisa kita temukan
di desa Budakeling, Bali. Prinsipnya secara sederhana begini : di sini
ada rupang (arca) Buddha Gautama dan rupang (arca) Dewa Siwa. Berdua
mereka sama-sama dipandang sebagai manifestasi Yang Maha Esa. Silakan
sembahyang di depan rupang yang mana saja, tidak masalah.
• Pada saat ini, mayoritas penganut Buddhisme di Indonesia (40-60%) adalah Buddha mazhab Theravada.
• Ada perbedaan besar antara kata ‘Buda’, ‘Budha’, dan ‘Buddha’. Buda
adalah agama sinkretis Hindu Siwa dan Buddhisme, Budha adalah nama dewa
dalam agama Hindu, sementara Buddha sendiri adalah gelar Siddharta
Gautama sekaligus nama ajarannya.
• Buddha adalah satu-satunya awatara yang secara teguh memegang prinsip
‘ahimsa’ – tanpa kekerasan. Ia hanya diketahui pernah satu kali marah,
yakni kepada Devadatta saat Devadatta hendak memecah Sangha.
• Meski ditunjuk sebagai penerus, Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera meninggal lebih dulu daripada Buddha.
10. Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: कल्कि; IAST:
Kalki; juga
ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu kesepuluh
sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga
(zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Setelah itu, menjelang pergantian dua yuga (Kali Yuga dan Satya Yuga),
Tuhan Pencipta alam semesta akan menjelma sebagai Kalki dan
menjadi putra Vishnuyasha. Pada waktu itu, para penguasa di bumi
ini telah merosot menjadi perampas semata." (Bhagavata-purana, 1.3.25)
Kalki diramalkan akan lahir pada akhir masa Kali Yuga. sesuai dengan
kepercayaan Sanatana Dharma (Hinduisme) soal siklus yang selalu
berulang, Kali Yuga (Zaman Ketidakbenaran) akan kembali berganti menjadi
Satya Yuga (Zaman Keemasan) dan adalah tugas Kalki untuk merestorasi
zaman Kali menjadi zaman Satya.
Kalki diramalkan akan lahir di sebuah tempat bernama Shambala.
Apakah ini adalah nama tempat yang sudah ada ataukah tempat ini belum
ada, tidak bisa dipastikan. Orangtua Kalki sendiri diramalkan akan
bernama Vishnuyasha, seorang brahmana. Hampir semua Raja/Kepala/Pejabat
negara, adalah orang-orang tidak beradab. Mereka serakah, berwatak keras
dan pemarah, mengabdi pada kepalsuan dan kebatilan. (cocok pada jaman
sekarang)
(Bhagavata Purana 12.1.38).
Dalam Brahmā-Vaivarta Purāṇa (Prakṛtī Khaṇḍa, Bab 7.60, Ayat 58-59)
tentang bagaimana kondisi menjelang akhir Zaman Kaliyuga dan apa saja
kegiatan dan tujuan kedatangan Kalki:
"Pada saat itu akan ada kekacauan di bumi. Di mana-mana ada pencuri dan
perampok. Pada saat itu, di rumah brāhmaṇa bernama Viṣṇuyaśa, Tuhan Śrī
Nārāyaṇa akan muncul dalam salah satu ekspansi kekal-Nya dalam wujud
Kalki yang Agung sebagai putra brāhmaṇa itu. Dengan mengendarai seekor
kuda yang gagah dan memegang pedang di tangan-Nya, Dia akan membinasakan
semua mleccha (orang-orang licik, egois dan tidak beradab) di muka
bumi. Demikianlah bumi akhirnya bebas dari para mleccha dan setelah itu
Tuhan akan menghilang kembali ke kediaman-Nya."
Dalam ayat-ayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa Tuhan Kalki akan
datang sebagai penegak hukum atau ksariya. Pada masa itu bumi akan
dipenuhi orang-orang yang tidak mengerti logika dan kitab suci. Mereka
terlalu bodoh dan dungu, tidak bisa diajarkan pengetahuan rohani tentang
tujuan sejati kehidupan. Mereka tidak dapat mengerti apa yang harus
dilakukan dan bagaimana cara hidup yang benar. Karena itu, mereka pasti
tidak bisa mengubah cara hidup mereka karena kebodohan yang sangat
kasar. Karena itu, Tuhan Kalkideva tidak muncul untuk mengajari manusia
tentang prinsip-prinsip agama namun hanya untuk menghukum, membinasakan
dan membersihkan bumi dari para penjahat.
Segala sesuatu akan menjadi sangat buruk ketika Zaman Kali terus
berlanjut. Bumi akan menjadi seperti salah satu planet neraka di mana
setiap makhluk yang dilahirkan akan ditakdirkan untuk menderita. Ada
korupsi dalam pemerintahan dan para pelindung negara sehingga mereka
tidak lebih baik daripada pencuri. Rakyat tidak akan mendapatkan
perlindungan pemerintah. Mereka akan menjadi korban kejahatan tanpa
perlindungan. Setiap orang akan bertengkar.
Dunia akan berubah menjadi medan pertempuran dan ladang pertengkaran
yang terjadi terus-menerus (persis seperti yang terjadi di Bali saat
ini, Zaman Kali yg baru berlangsung kurang lebih 5.000 tahun saja sudah
begini keadaan dunia, apalagi nanti). Pada akhirnya, setelah 432.000
tahun sejak awal Zaman Kali (3108 sebelum Masehi), Sri Visnu akan muncul
dalam inkarnasi-Nya sebagai Penghukum Tertinggi, Kalki.
Bahkan mereka yang dikenal sebagai golongan dvijati yang lahir dua kali
secara rohani kehilangan sifat-sifat yang baik, tidak beretika dan sibuk
melayani golongan rendah yang biadab dan bodoh.” Ini berarti bahwa
orang-orang yang tekun dalam rohani terpaksa melayani mereka yang
memiliki kekayaan untuk bertahan hidup. Uraian tentang kaum brāhmaṇa yang merosot di masa depan dijabarkan lebih lanjut dalam Bab 1 Kalki Purāṇa:
Kutarka vāda vahulā dharma vikayino’ dhamaḥ |
veda vikayino’ brātva rasa vikrayinas tahtā || 1.25 ||
māṁsa vikrayinaḥ krūraḥ śiśnodara-parāyaṇāḥ |
paradara rata matta varṇa saṅkara kārakaḥ || 1.26 ||
hṛśvākaraḥ pāpasāraḥ satha mata nivasinaḥ |
ṣodaśābdāyuṣaḥ śyāla bandhavā nicasaṅgamaḥ || 1.27 ||
"Jiwa-jiwa yang jatuh ini gemar mendiskusikan argumentasi yang kering,
dan mereka menggunakan agama sebagai mata pencaharian, mengajarkan Veda
sebagai profesi untuk mencari uang. Mereka jatuh dari standar
pelaksanaan tirakat-tirakat suci. Mereka menjual anggur dan hal-hal
menjijikkan lain termasuk daging. Mereka bertabiat bengis, dan selalu
ingin memuaskan nafsu perut dan kelamin. Karena hal ini, mereka memburu
istri orang lain dan selalu dalam keadaan mabuk. Mereka tidak dilahirkan
dari pasangan ayah-ibu yang menikah dengan benar, dan ukuran tubuh
mereka pendek namun selalu melakukan perbuatan berdosa, misalnya menipu.
Mereka umumnya tinggal di tempat keramat, dengan usia hidup hanya enam
belas tahun, bergaul dengan orang-orang buangan, dan hanya menganggap
saudara ipar laki-lakinya sebagai teman dan keluarga."
Kalki akan menunggangi kuda putih bernama Devadatta dan dengan astra
berwujud pedang, pemberian Siwa, Kalki akan melakukan hal yang agak
mirip dengan Parasurama : pembantaian massal. Bedanya yang ia bantai
sekarang bukan hanya raja-raja, tapi juga orang-orang batil dari
golongan lainnya (brahmana juga termasuk).
Konon jiwa-jiwa yang dibunuh oleh Kalki akan langsung terbebas dan
mencapai tingkat kesadaran yang umumnya dicapai pertapa setelah matiraga
selama bertahun-tahun. Karena itu jiwa-jiwa yang dibunuh oleh Kalki
tidak akan ‘diperam’ oleh Yama di Naraka melainkan langsung bersatu
dengan Atman (Kesatuan Jiwa).
Pembantaian massal itu akan berhenti setelah nyaris seluruh penduduk
muka bumi punah. Kalki hanya akan menyisakan sedikit orang benar untuk
memulai abad baru. Ia sendiri akan menjadi raja di sebuah tempat dan
setelah Kali Yuga benar-benar berakhir, Kalki akan kembali ke Vaikuntha.
CatursanaCatursana atau Caturkumara adalah empat putra Brahma dalam kitab-kitab
Purana dalam agama Hindu, yang terdiri dari Sanaka, Sanatana, Sanandana dan Sanatkumara.
Mereka
lahir dari pikiran Brahma. Mereka merupakan empat resi (orang suci)
yang bersumpah untuk membujang selamanya (brahmacarya), bertentangan
dengan kehendak ayah mereka.
Kitab
Bhagawatapurana memasukkan Catursana ke dalam daftar dua belas
Mahajana (pemuja
terbesar atau bhakta) yang meskipun jiwanya sudah bebas dan kekal
semenjak lahir, masih melakukan pelayanan kepada Wisnu dari keadaan
mereka yang sudah tercerahkan. Meskipun usia mereka sudah tua, legenda
mengatakan bahwa mereka berkelana di alam semesta dalam wujud anak
kecil. Mereka memegang sejumlah peran penting dalam tradisi spiritual
Hindu, khususnya yang berhubungan dengan pemujaan Kresna dan Wisnu.
NaradaNarada (Dewanagari: नारद; IAST:
Nārada) atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah
Purana, khususnya
Bhagawatapurana.
Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki
kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu
membawa alat musik yang dikenal sebagai tambura, yang pada mulanya
dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan
mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam
tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan
nama
Hari dan
Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai
bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai
Narad Bhakti Sutra.Nara dan NarayanaNara dan Narayana (Dewanagari: नर-नारायण; IAST:
Nara-Nārāyaṇa) adalah
sepasang dewa Hindu. Nara dan Narayana merupakan saudara kembar
penjelmaan (awatara) Dewa Wisnu di bumi, bertugas sebagai penegak dharma
atau kebenaran. Dalam konsep Nara dan Narayana, jiwa manusia Nara
adalah pasangan yang kekal dengan Narayana Yang Mahasuci.
Wiracarita Hindu
Mahabharata menyatakan
Kresna sebagai Narayana sedangkan Arjuna - pahlawan dalam wiracarita
tersebut - sebagai Nara. Legenda Nara dan Narayana juga diceritakan
dalam kiab
Bhagawatapurana. Umat Hindu percaya bahwa mereka tinggal di Badrinath, di mana kuil terpenting mereka berdiri di sana.
Pasangan
Nara dan Narayana biasanya dipuja di kuil-kuil aliran Swaminarayan.
Pengikut sekte tersebut percaya bahwa pendiri aliran tersebut
(Swaminarayanan) adalah inkarnasi Narayana.
KapilaKapila (Dewanagari: कपिल ऋषि; IAST:
Kapila ṛṣi) adalah orang
suci Hindu yang dipercaya sebagai salah satu pendiri aliran
filsafat Samkhya. Ia memiliki peran penting dalam kitab
Bhagawatapurana,
yang menampilkan versi teismedalam ajaran filsafat Samkhya. Cerita
tradisional Hindu menyatakan bahwa ia merupakan keturunan Manu,
cucuBrahma. Kitab
Bhagawadgita menggambarkan Kapila sebagai yogi pertapa dengan
siddhi, atau kekuatan spiritual, yang sangat tinggi.
Banyak detail tentang kehidupan Resi Kapila diceritakan dalam Buku 3 kitab
Bhagawatapurana,
di mana disebutkan bahwa orang tua beliau adalah Kardama
Muni dan Dewahuti. Setelah ayahnya meninggalkan rumah, Kapila mengajari
ibunya, Dewahuti tentang filsafat yoga dan pemujaan yang taat
kepada Wisnu, sehingga Dewahuti mampu mencapai kebebasan (moksa). Ajaran
Samkhya Kapila juga dituturkan oleh Kresna kepada Udawa dalam Buku 11
kitab
Bhagawatapurana, bagian tersebut juga dikenal sebagai "Uddhawagita".
DattatreyaMenurut kepercayaan umat Hindu, Dattatreya (Sanskerta: दत्तात्रेय;
Dattātréya)
adalah seorang dewa yang merupakan penjelmaan dari Trimurti (tiga dewa
utama), yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Dattatreya lahir sebagai putera
Resi Atri dan Anasuya. Nama Dattatreya berasal dari kata
datta dan
atreya. Kata
datta berarti "diberi", oleh karena Trimurti telah memberikan perwujudan sebagai putera Atri dan Anasuya. Kata
atreya secara harfiah berarti "putra Atri".
Dalam
tradisi Natha, Dattatreya dianggap sebagai awatara atau inkarnasi dari
Dewa Siwa dan sebagai Adi-Guru (guru pertama) dalam tradisi Adinath
Sampradaya. Di India, Dattatreya dipuja oleh berjuta-juta umat Hindu dan
berbagai tradisi dilakukan untuk memuliakannya.
YadnyaYadnya (Dewanagari: यज्ञ; IAST:
Yajña) atau
Yadnyeswara ("Penguasa Yadnya") adalah salah satu awatara (inkarnasi)
Wisnu dalam agama Hindu. Ia adalah penguasa seluruh upacara dalam agama
Hindu (yadnya). Ia menjabat sebagai Indra pada Manwantara pertama, era
Swayambu Manu.
ResabaDalam agama Hindu, Resaba (Sanskerta: ऋसभ;
Ṛṣabha) adalah salah satu awatara Wisnu yang disebut dalam
Purana. Menurut kitab
Purana, ia merupakan putra Nabi dan Maru, dan merupakan keturunan langsung dari Swayambu Manu, manusia pertama di dunia.
Resaba
memiliki istri bernama Jayanti, putri Dewa Indra, dan menurunkan
seratus putra. Putranya yang tertua bernama Barata. Sebagai awatara
Wisnu, Resaba mengajarkan ilmu meditasi yang terbaik, bahkan ia
mengajarkannya kepada orang yang sudah ahli dalam bidang meditasi. Ia
juga mengajarkan ilmu cara memimpin rakyat dan kebijaksanaan kepada para
putranya agar mereka tidak terjerat oleh ilusi dunia. Setelah Resaba
wafat, Barata menggantikannya.
PertuDalam ajaran agama Hindu, Pertu (Sanskerta: पृथु ;
Pṛ(ri)thu)
adalah salah satu awatara Wisnu Ia merupakan putra Wena. Ia menjadi
suami Arcisa, dan bapak bagi Wijitaswa, Haryaksa, Dumrakesa, Wreka dan
Drawina. Menurut legenda, Pertu dikenal sebagai raja yang agung dan
bijaksana. Kejayaannya seperti Bharata. Kisahnya muncul dalam beberapa
kitab
Purana, seperti misalnya
Brahmapurana,
Matsyapurana, dsb.
Dhanwantari
Dhanwantari (Dewanagari: धन्वंतरी; IAST: Dhanvantari) adalah seorang awatara Wisnu menurut kepercayaan Hindu. Dia muncul dalam kitab Weda dan Purana sebagai tabib para dewa, dan ahli pengobatan menurut Ayurweda.
Merupakan tradisi dalam agama Hindu untuk memuja Dhanwantari demi
meperoleh kesehatan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sastra Hindu,
seperti misalnya Purana mengatakan bahwa Dhanwantari muncul dari lautan susu saat para dewa dan asura mencari tirta amerta.
Menurut mitologi Hindu, Dhanwantari merupakan tabib/dokter India yang
pertama dan salah satu dokter bedah pertama di dunia. Dia melakukan
penyembuhan secara alami dengan sempurna dan dipercaya telah menemukan
obat antiseptik dan obat pencegahan berbahan garam yang ia sertakan
ketika menyembuhkan seseorang.
MohiniMenurut kepercayaan Hindu, Mohini (Dewanagari: मोहिनी; IAST:
Mohinī) adalah salah satu inkarnasi atau awatara Wisnu yang disebutkan dalam kitab
Purana.
Mohini berwujud gadis cantik. Dalam mitologi Hindu, Mohini muncul saat
kisah pengadukan samudra susu. Dalam bahasa Sanskerta, kata
Mohini secara harfiah bisa berarti "bunga melati".
ByasaByasa (Sanskerta: व्यास;
Vyāsa) (dalam pewayangan disebut Resi Abiyasa) adalah figur penting dalam agama Hindu. Ia juga bergelar
Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai
Weda). Ia juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Ia adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu
Mahabharata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam
Mahabharata.
HayagriwaDalam agama Hindu, Hayagriwa (Dewanagari: हयग्रीव; IAST:
Hayagrīva) adalah
awatara Wisnu yang berwujud manusia berkepala kuda. Dia disembah
sebagai dewa pengetahuan dan kebijaksanaan, dengan tubuh manusia dan
kepala kuda, berwarna putih cemerlang, dengan pakaian putih dan duduk di
bunga teratai putih. Secara simbolis, mitos tersebut menggambarkan
keunggulan pengetahuan sejati, yang dipandu oleh tangan Tuhan, mengatasi
kekuatan negatif yang mengandung nafsu dan kegelapan.
Hayagriwa
adalah dewa yang sangat penting dalam tradisi Waisnawa. Anugerah-Nya
dicari ketika mengawali pembelajaran ilmu suci maupun ilmu sekuler.
Ibadah khusus dilakukan pada hari bulan purnama di bulan Agustus (
Srawana-paurnami) dan pada
Mahanawami, hari kesembilan festival
Navaratri. Ia juga dipuji sebagai "Hayasirsa", yang berarti "berkepala kuda".
PresnigarbaPresnigarba (Dewanagari: पृष्निगर्भ; IAST:
Pṛṣṇigarbha) adalah
salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu dalam agama Hindu. Ia merupakan
putra Presni dan Sutapa. Awatara ini muncul di hadapan Druwa yang sedang
bertapa. Ia menciptakan lapisan dunia yang disebut Druwaloka.
AngsaDalam agama Hindu, Angsa (Dewanagari: हंस; IAST:
haṃsa) adalah salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu yang disebut dalam kitab
Bhagawatapurana.
Angsa merupakan salah satu awatara yang muncul pada zaman Satyayuga
atau zaman kebajikan. Angsa muncul sebagai awatara berwujud angsa yang
memberi pengetahuan suci kepada Dewa Brahma dan para putra Beliau
(Catursana).