Jumat, 20 Oktober 2017

10 KISAH AWATARA

1. Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
Matsya.jpg
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari :मत्‍स्‍य; IAST: matsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan.

Suatu ketika Brahma yang kelelahan setelah selesai menciptakan suatu Yuga memutuskan untuk tidur dan beristirahat. Kala Brahma tengah tertidur itulah, sesosok Ashura bernama bernama Hayagriva memasuki Brahmaloka dan mencuri Veda dari Brahma. Wisnu yang tengah mengawasi dunia dari Vaikuntha langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang diambil dari Brahmaloka. Ia juga melihat sang Ashura Hayagriva turun dari Brahmaloka dan menyelam ke dalam laut, bersembunyi di sana.
 Di saat yang sama Wisnu melihat seorang raja (Manu / Prajapati) bernama Vaivasvata Manu sudah sejak lama berdoa supaya ia bisa bertemu dengan Wisnu. Karena meskipun ia putra Brahma, sulit sekali baginya untuk bisa bertemu Wisnu. Sadar bahwa Veda akan jadi sangat berbahaya di tangan Ashura, Wisnu akhirnya turun ke dunia dan menjelma menjadi seekor ikan kecil yang berenang di sungai tempat Manu Vaivasvata biasa minum dan berdoa. Saat Sang Manu menangkupkan tangannya untuk minum, ia mendapati seekor ikan kecil di antara kedua tangannya. Ikan kecil itu memohon agar Sang Manu bersedia membawanya menjauh dari sungai. Sang Manu menyanggupi permohonan Sang Ikan dan memasukkan ikan itu ke dalam kamandalam – teko air dari bahan logam – miliknya. Sesampainya di istana ia tetap membiarkan sang ikan dalam kamandalam, namun esok harinya ia mendengar si ikan berteriak minta tolong dan mendapati Sang Ikan sudah membesar seukuran kamandalamnya. Ia segera memasukkan ikan itu ke dalam tempayan dan tak lama kemudian ikan itu tumbuh sebesar tempayan, ia beralih menuang ikan itu ke dalam gentong air dan didapatinya ikan itu kembali membesar dengan kecepatan luar biasa. Karena kehabisan akal, Sang Manu segera membopong ikan itu ke sungai tempat ia menemukannya dan menceburkan ikan itu ke sungai itu. Sekali lagi ikan itu membesar dengan kecepatan yang tidak wajar. Pada akhirnya Sang Manu memutuskan melempar ikan itu ke laut dan saat itu jugalah ikan itu membesar ke ukuran maksimalnya dan sebuah tanduk tumbuh di dahinya. Ukurannya ini melebihi ukuran Ashura manapun yang ada di bumi saat itu. Sang Manu langsung bersimpuh ketika menyadari siapa sebenarnya ikan ini. Manu Vaivasvata menyatakan diri bersedia memberikan pertolongan apapun pada Wisnu tapi Wisnu mengatakan bahwa ia kemari untuk menolong Sang Manu. Ia meminta Sang Manu membuat bahtera besar dan membawa segala benih tanaman dan aneka hewan yang ada di muka bumi, serta seluruh Saptarsi (Tujuh Rsi) bersama keluarga mereka, karena Yuga ini akan segera musnah diterjang air bah. Ia juga memerintahkan Sang Manu untuk mengajak serta Raja Naga Vasuki (Basuki) supaya Sang Manu bisa menggunakan naga itu sebagai tali pengait antara bahteranya dengan tanduk Matsya. Manu menyanggupi perintah Sang Ikan dan segera pulang untuk mengerjakan bahtera yang dimaksud. Sementara itu Matsya menyelam ke dasar samudera untuk mencari Hayagriva. Begitu menemukan Sang Ashura, Matsya langsung menyerangnya tanpa ampun. Pertarungan Matsya dan Hayagriva berlangsung relatif sebentar dibandingkan pertarungan Wisnu dengan Ashura lainnya (hanya beberapa hari). Ketika Hayagriva tewas, Matsya mengambil kembali lontar Veda yang sempat dicuri dan berenang kembali ke permukaan. Di permukaan ia dapati Sang Manu telah menyelesaikan bahteranya. Basuki segera melilitkan ekornya di badan kapal sementara lehernya ia lilitkan ke tanduk Matsya. Setelah itu Matsya segera menghela bahtera Manu menjauh dari daratan. Air bah dan badai berkepanjangan menerjang tak berapa lama kemudian dan Matsya membawa bahtera itu ke sebuah tempat yang aman, daratan yang tidak terjangkau air bah, dan menurunkan seluruh penumpang bahtera di sana. Sesudah tugasnya selesai, Sang Matsya kembali menjadi sosok Wisnu dan terbang kembali ke Vaikuntha.
2. Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
Kurma awatara.jpg
Dalam agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga.
Pada mulanya Dewata, baik Adhitya maupun Astawasu, serta para Ashura adalah makhluk fana. Mereka bisa mati dan terbunuh kapan saja dalam medan perang. Masalah mulai timbul ketika suatu ketika jumlah Ashura jauh melebihi para Dewata. Dewata yang kalah jumlah terpaksa mundur dari Swargaloka dan mengungsi ke Brahmaloka. Di Brahmaloka, Brahma yang mendengar keluh-kesah para Dewata menyatakan dirinya tidak bisa membantu banyak dan menyarankan para Dewata beranjak ke Vaikuntha, meminta bantuan Wisnu.
Wisnu mengatakan bahwa jauh di bawah Kshirsagar – lautan susu – terdapat Amerta (Amrta / Amrita) – air keabadian. Dewata memang memiliki Amerta, tapi jumlahnya amat sedikit. Mereka harus mendapatkan Amerta tambahan supaya mereka bisa menang bertempur melawan Ashura pada masa-masa mendatang. Dengan Amerta tambahan ini, Dewata akan menjadi makhluk abadi. Tapi untuk mendapatkan Amerta yang berada di dalam lautan itu, kekuatan Dewata semata tidak cukup. Dewata harus meminta bantuan pada dua pihak : Para Ashura yang dipimpin Mahabali dan Raja Naga Basuki.
Jadi pertama-tama para dewa datang kepada saudara sepupu mereka, Ashura, menawarkan tawaran ‘gencatan senjata’ untuk sementara guna menyukseskan misi mengaduk Kshirsagar dan mengambil Amerta. Kebanyakan Ashura tidak setuju, tapi pemimpin mereka, Mahabali, setuju untuk bekerjasama.
Para dewa kemudian beranjak menemui Basuki, dan menawarkan sedikit Tirta Amerta sebagai imbalan kepada Basuki kalau Basuki bersedia menjadi tali pemutar Gunung Mandarachala (atau Gunung Meru). Basuki – sebagaimana kebanyakan naga yang mendambakan keabadian – setuju-setuju saja dengan usulan itu. Tapi ia baru mau datang kalau Dewata dan Ashura sudah selesai mencabut Gunung Meru.
Mencabut gunung setinggi 84,000 Yojana (sekitar 1.082.000 km – 85 kali diameter bumi) ini ternyata bukan perkara enteng. Meskipun seluruh Dewata dan Ashura sudah berusaha mencabut gunung ini, tetap saja mereka kesulitan. Di tengah keputus asaan ini, para Dewata minta bantuan pada Wisnu untuk turut membantu. Jadi Wisnu turun dan turut membantu dua pihak ini mencabut gunung ini. Lalu timbul satu masalah lagi, gunung ini selalu tenggelam setiap kali hendak dibawa ke titik pengeboran. Wisnu pun memanggil Garuda untuk membantu mereka memanggul gunung itu.
Wisnu sendiri merubah dirinya menjadi sosok kura-kura raksasa – yang disebut Kurma – dan memerintahkan Garuda meletakkan gunung itu di punggungnya setelah itu ia menyuruh Sang Garuda pergi dari tempat itu karena Basuki tidak akan mau datang kalau ia melihat Garuda ada di sana (Garuda dan Naga selalu bermusuhan). Kurma membawa Gunung Meru ke titik yang telah ditentukan lalu Basuki pun datang. Ia melilitkan tubuhnya pada gunung itu dan para Dewata mengambil posisi di bagian kepala Basuki.
Tapi para Ashura curiga bahwa jika kepala Basuki terlalu dekat dengan Dewata, dua pihak ini mungkin akan merencanakan sesuatu yang tidak-tidak pada mereka. Maka mereka pun bersikeras mengambil posisi di bagian kepala Basuki. Wisnu meminta para Dewata ‘mengalah’. Mahabali curiga karena para Dewata tidak melawan, tapi rakyat dan menteri-menterinya sudah terlanjur ambil posisi. Dewata akhirnya memegang ekor Basuki.
Kecurigaan Mahabali jadi kenyataan. Setiap beberapa putaran, akibat cengkeraman para Ashura yang terlalu keras, Basuki selalu memuntahkan upas (racun / bisa) yang membuat para Ashura terbakar dan kemudian mati. Mahabali kecewa namun sudah terlambat bagi dirinya dan rakyatnya untuk berganti posisi.
Proses pengeboran itu menghasilkan beberapa harta berharga yang dibagi dua antara para Dewata dan Ashura :
• Laksmi, dewi keberuntungan, memilih Wisnu sebagai pasangannya.
• Apsara, para bidadari. Nama-nama mereka antara lain Rambha, Menaka, Punjisthala, Urvasi, Thilothamai, dan lainnya. Sebagian dari mereka berpasangan dengan para Dewata, sebagian lagi berpasangan dengan Gandarwa.
• Varuni atau Sura, dewi pembuat alkohol, menjadi pasangan dari Baruna (Varuna) – dewa samudra.
• Kamadhenu atau Surabhi, sapi pengabul segala kehendak – diambil oleh Wisnu dan kelak akan diberikan kepada para rsi pertapa.
• Airavata, dan beberapa ekor gajah, diambil oleh Indra.
• Uchhaishravas, kuda paling cepat di muka bumi. Diberikan pada para Ashura.
• Kaustubha, permata paling berharga di dunia, dikenakan oleh Wisnu.
• Parijat, bunga yang takkan pernah layu – dibawa ke Indraloka oleh para dewa.
• Astra-astra berbentuk panah – diambil oleh para Ashura.
• Chandra, dewa bulan.
• Dhanvantari, dokter para dewa. Ia membawa Amerta bersama dengannya.
• Halahala, racun mematikan yang muncul ketika proses pengadukan. Ditelan oleh Siwa dan Nandi. Namun sebagai akibatnya, tenggorokan Siwa berubah menjadi biru terbakar.
• Shankha, terompet kerang Wisnu
• Jyestha – dewi ketidakberuntungan
• Sebuah payung yang diambil Baruna
• Anting-anting yang kelak diberikan pada Aditi, oleh putranya, Indra
• Kalpavriksha atau Pohon Kalpataru.
• Nidra atau kemalasan.
• Uchhaishravas kelak akan ditunggangi oleh Arjuna dalam Mahabaratha.
• Siwa pada awalnya tidak mau ikut campur dalam Samudra Mathan, sampai ketika Halahala keluar, barulah ia mau turun tangan.
• Selain Adhitya, Prajapati, dan Astawasu, pihak Dewata juga dibantu oleh beberapa Rsi.
• Mahabali adalah Ashura paling cerdas dan mau berpikir panjang dibandingkan kaumnya yang lain. Namun, meski ia diangkat menjadi raja, kaumnya sering tidak mau mendengarkannya.
Dikarenakan proses pembagiannya agak ‘kurang adil’. Dewata mendapat jatah lebih banyak daripada Ashura. Karena itulah para Ashura menuntut supaya Amerta diberikan pada mereka karena Dewata sudah mengambil bagian lebih banyak daripada mereka.
Kemudian para Dewata kalah argumen dan akhirnya Amerta diberikan pada Ashura. Tapi itu tidak berlangsung lama. Wisnu berhasil merebut kembali Amerta itu dengan mengubah dirinya menjadi sosok wanita cantik bernama Mohini.

3. Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
Varaha.jpg
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran).

Pada peristiwa di masa kemunculan Matsya Awatara, Banjir besar menerjang bumi dan menenggelamkan seluruh daratan. Tapi sebenarnya yang terjadi lebih parah daripada itu.
Konon bumi terjerumus ke dalam kekacauan Mahapralaya. Pada mulanya semuanya tenang dan damai sampai akhirnya Wisnu yang mulanya tertidur memunculkan sebuah sulur yang menunjang sebuah bunga teratai raksasa di ujungnya. Dari dalam bunga teratai itu munculah Brahma.
Brahma yang kaget dipanggil ‘mendadak’ seperti itu langsung menyaksikan yang ada di dunia ini hanya ada kekacauan. Kekagetan keduanya adalah ia duduk di atas bunga teratai raksasa yang pangkalnya tak terlihat, tak peduli seberapa jauhnya Brahma mencoba turun. Akhirnya Brahma menyerah mencari pangkal teratai itu dan memilih untuk melakukan tapa. Dalam tapanya Beliau mendapat ‘pesan’ dari Wisnu. “Brahma, waktunya Anda menciptakan kembali dunia dan segala isinya sekali lagi.”
Brahma kembali bertapa. Dalam tapanya ia memunculkan sepuluh Prajapati antara lain : Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Bhrigu, Daksa, Marici, Wasishta, dan Narada. Selain itu juga lahir entitas bernama Dharma dan Adharma. Lalu ia menciptakan pasangan Manu : Swayambhu Manu dan istrinya Satarupa. Swayambhu Manu, Prajapati, dan Brahma kemudian mulai mengukir isi bumi sekali lagi.
Tapi setelah beberapa lama, Brahma merasa ada yang ‘tidak beres’. Penciptaan berjalan amat lambat sehingga Brahma memanggil kembali Swayambhu Manu dan bertanya apa masalahnya sehingga pekerjaan Swayambhu terhambat.
Dan Sang Manu menjawab, “Saya bekerja sebagaimana Ayahanda perintahkan, tapi bumi sedang tenggelam!”
Brahma berpikir sejenak. Prajapati dan Manu jelas tidak cukup kuat untuk mengeluarkan bumi dari lautan. Akhirnya ia memutuskan untuk minta bantuan Wisnu. Dari lubang hidung Brahma keluarlah seekor celeng (babi hutan) sebesar kelingking Brahma. Celeng itu langsung membesar menjadi celeng raksasa, Waraha Awatara. Waraha kemudian mengangkat bumi dari dalam samudera dan terus menopangnya sampai daratan-daratan bumi benar-benar stabil.
Di antara para Prajapati ada seorang yang bernama Kashyapa. Kashyapa beristrikan 13 orang putri Daksha – yang notabene adalah saudaranya laki-lakinya. Setiap menjelang matahari terbenam, para Prajapati – termasuk Kashyapa – biasanya melakukan pemujaan pada Brahman (dalam wujud Trimurti), dalam hal ini Kashyapa hendak memuja Siwa.
Tiba-tiba salah satu istrinya, Diti, datang pada Kashyapa dan minta ‘dilayani di ranjang’. Kashyapa sih mau-mau saja melayani istrinya yang satu ini, tapi ia harus melaksanakan upacara pemujaan sehingga ia mengatakan, “Tentu Diti, tapi nanti. Ini waktu suci pemujaan.”
Tapi Diti tidak mau menunggu dan dalam benaknya timbul pikiran, “Idih, suamiku sok suci banget! Seberapa kuat sih suamiku bakal bertahan?”
Diti pun mengambil inisiatif ‘ganas’ sehingga Kashyapa pun ‘takluk’.
Kesalahan besar bagi Kashyapa dan Diti!
"Melakukan" saat suaminya hendak memuja Siwa menghantarkannya pada kutukan. Diti kemudian mengandung dan kelak akan melahirkan dua Ashura. Yang satu bernama Hiranyaksa dan yang satu lagi bernama Hiranyakashipu.
Ashura terkenal sekali dengan kekuatan mereka yang setara dewa dan hobi mereka yang suka berbuat onar. Ashura yang bisa mengontrol emosinya bisa saja menjadi dewa, tapi Hiranyaksa tidak termasuk salah satunya. Ia punya pemikiran “Untuk menjadi dewa, aku harus mengalahkan dewa-dewa dan merebut tahta mereka.”
Jadi itulah yang dia lakukan. Ia menghajar para dewa, minus Baruna, dan menaklukkan tiga dunia (Patala dan Naraka – alam baka, Swargaloka – kahyangan, dan Arcapada – dunia manusia).  Sampai ia menyadari bahwa ada empat dewa yang belum mengakui kehebatannya : Tiga Trimurti dan Baruna. Ia tidak mengacuhkan Baruna, Siwa tidak diketahui rimbanya, Brahma adalah kakeknya – jadi ia tidak mau melawannya, jadi satu-satunya Trimurti yang hendak ia tantang adalah Wisnu.
Ketika ia berkeliling mencari Wisnu, ia bertemu Baruna yang sedang dalam wujud ular raksasa dan menantangnya berkelahi. Baruna menolak berkelahi dan menyatakan bahwa lawannya yang sebanding dengannya adalah Wisnu. Ia menyuruh Hiranyaksa mencari Narada guna menanyakan keberadaan Wisnu.
Narada menunjukkan tempat Wisnu berdiam pada Hiranyaksa dengan ‘senang hati’, “Kamu ingin berkelahi dengan Wisnu? Dia sedang mengambil wujud Waraha, Celeng Raksasa. Dia sedang di Rasatala, sedang mengangkat bumi.”
Singkat cerita, Hiranyaksa ‘mengganggu’ Waraha yang tengah menopang bumi. Hiranyaksa menyatakan dirinya sebagai pembela Ashura dan hendak membersihkan jalan Ashura dari duri yang melukai mereka.
Wisnu langsung menggeram, “Aku sedang menjadi binatang buas maka Aku mendengar ocehanmu. Kau mengatakan bahwa dirimu pembela para Ashura dan ingin membersihkan jalan Ashura dari duri yang melukainya. Aku kau anggap duri. Bukan, Aku bukan duri, Aku Maha Pembalas Kejahatan. Sudah banyak sekali korban kejahatanmu. Sudah berulang kali kau menggunakan kekerasan dalam memaksakan kehendakmu. Kau telah menakut-nakuti manusia dengan menebar ancaman. Aku tidak suka kekerasan, tetapi Aku sedang mewujud menjadi binatang buas, mari bertarung! Saatnya kau mempertanggung-jawabkan kekerasan yang telah kau lakukan berkali-kali.”
Jadi dua makhluk itu pun bertarung. Saat mereka bertarung konon segala bencana terjadi di muka bumi. Ombak dan gelombang besar menggelora di seluruh samudra, gempa bumi di mana-mana, semua gunung meletus, dan topan mengamuk di berbagai tempat. Konon pertarungan ini berlangsung selama 1000 tahun sebelum akhirnya Hiranyaksa terbunuh oleh Waraha.
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
• Diti tidak pernah melahirkan anak-anak yang ‘beres’. Nyaris semua anaknya adalah Ashura dan nasib mereka selalu berakhir dengan dibunuh oleh Wisnu atau Dewata, kecuali anaknya yang terakhir. Berbeda sekali dengan saudarinya Aditi yang melahirkan para dewa golongan Adhitya.
• Pertarungan Waraha dengan Hiranyaksa adalah pertarungan Wisnu yang paling lama sebagai Awatara. Jadi boleh dikata, Hiranyaksa adalah salah satu Ashura paling kuat.
• Daksha – saudara Kashayapa – adalah ayah mertua Siwa.



4. Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
Nrsimhadev.jpg
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga NarasinghNārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran),
Pada zaman ini, setiap orang berhak memuja Istadewata (Dewa Utama) –nya masing-masing. Ada yang memuja Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Bayu, Baruna, atau yang lainnya. Tetapi karena saudara lelakinya (Hiranyaksa) dibunuh oleh Wisnu beberapa tahun yang lalu, Hiranyakasipu menjadi sangat marah dan bersumpah tidak akan pernah memuja dewa yang namanya Wisnu, bahkan ia bersumpah akan melenyapkan Wisnu dan seluruh pemuja Wisnu dari kerajaannya.
Pemaksaan kehendak paling efektif dilakukan dengan anarki, hal itu dapat dilakukan kalau dirinya memiliki kesaktian. Maka Hiranyakasipu pun mulai bertapa dengan keras, memusatkan perhatiannya hanya kepada Bhatara Brahma selama bertahun-tahun. Brahma pun harus menepati hukum yang berlaku, di mana setiap makhluk yang melakukan tapa dengan sungguh-sungguh harus dikabulkan keinginannya.
Ketika Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan keinginannya, Hiranyakasipu menyatakan bahwa ia ingin diberikan kehidupan abadi yang tidak bisa mati dan tidak bisa dibunuh, Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain.
Tak hilang akal, Hiranyakasipu meminta anugrah agar dia tidak bisa dibunuh oleh dewa, manusia ataupun hewan, baik saat pagi siang maupun malam, baik saat ia berada di langit maupun berpijak di bumi, baik oleh api, air ataupun senjata, baik saat ia ada di dalam maupun luar kediamannya. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
Setelah mendapatkan kekuatan itu, ia melarang semua orang di kerajaannya memuja dewa lain selain Siwa (dan Brahma), dan perintah itu juga hendak ia berlakukan juga bagi istrinya. Yang bernama Lilawati. Bhatara Indra yang tahu akan rencana Hiranyakasipu langsung mengevakuasi Lilawati dari istana Hiranyakasipu.
Ketika Bhatara Indra memberi perlindungan pada Lilawati, Lilawati tengah hamil tua dan beberapa waktu kemudian melahirkan seorang putra bernama Prahlada. Lilawati dan Prahlada tinggal dalam perlindungan dan ajaran Rsi Narada – brahmana pemuja Wisnu, salah satu dari tujuh Sapta Rsi.
Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasaan ayahnya.
Hiranyakasipu beberapa kali mencoba membujuk anaknya untuk meninggalkan Wisnu tapi Prahlada tidak mau. Mengetahui para dewa melindungi istri serta anaknya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri.
Kesal dengan sikap anaknya, Hiranyakasipu berkali-kali mencoba membunuh anaknya dengan berbagai metode : dijatuhkan dari tebing, ditebas, dipukuli, sampai dihantam dengan astra, tapi anehnya Prahlada ternyata tidak juga mati.
Setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu.
Saat ayah dan anak itu bertemu di istana Hiranyakasipu, Sang Raja Ashura menantang Prahlada.
Hiranyakasipu : “Katakan di mana aku bisa temukan Wisnu! Biar kutantang dia bertarung!”
Prahlada : “Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul.”
Mendengar jawaban itu, ia merasa diolok-olok dengan perkataan anaknya, hiranyakasipu sangat marah, mengamuk dan menghancurkan segala sesuatu didekatnya. Hiranyakasipu memukul salah satu pilar istananya hingga retak menjadi dua bagian. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan dari pilar yang seharusnya kosong, keluarlah sesosok manusia raksasa berkepala singa. Sosok ini memiliki empat tangan dan memanggul seekor naga di punggungnya. Dan sosok ini lah yang disebut Narasinga, Awatara Wisnu.
Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya sekaligus menghukum Hiranyakasipu atas perbuatannya.
Hiranyakasipu pun maju menyerang Narasinga. Pertarungan dua makhluk ini berlangsung sampai senja. Ketika senja mulai turun, Narasinga mencengkeram Hiranyakasipu, mendudukkannya di pangkuannya lalu mencabik-cabik perut Hiranyakasipu dengan kukunya. Tindakan ini membuat berkah dari Brahma tidak berlaku karena :
✔Narasinga bukan manusia, binatang, ataupun dewa. Ia adalah perwujudan ketiganya.
✔Hiranyaksipu dibunuh bukan saat pagi, siang, atau malam melainkan senja – peralihan dari siang menuju malam.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh dengan senjata, air, atau api melainkan oleh kuku Narasinga.
✔Hiranyaksipu tidak dibunuh di luar ataupun di dalam kediamannya, bukan pula di darat atau udara. Ia dibunuh di pangkuan Wisnu.
Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana.
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
• Naga yang dipanggul Narasinga adalah Ananta Sesa. Pada kesempatan-kesempatan berikutnya Ananta Sesa setidaknya dua kali turut mendampingi penjelmaan Wisnu ke dunia, yakni sebagai Laksmana – saudara Rama – dan Baladewa – saudara Kresna.
• Narasinga adalah awatara Wisnu paling buas dan ‘brangasan’.
Dalam satu versi diceritakan : setelah membunuh Hiranyakasipu, ia lepas kontrol dan tak terkendali. (Aksi Narasinga baru berhenti setelah Siwa turun ke dunia dan bertempur melawan Narasinga)
Pembahasan selanjutnya...


5. Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
Vamanadeva.jpg
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga,
Meskipun sudah mendapatkan Tirta Amerta, ada masanya para dewa mengalami kekalahan. Mahabali, Raja Asura yang sempat kena tipu Mohini pada masa Satya Yuga kini kembali untuk menantang para dewa. Dengan bantuan Sukracarya (salah satu Graha – penguasa Venus dan guru para Asura), ia memperoleh kekuatan dan pasukan yang cukup kuat untuk melawan Dewata kembali.  Indra dan Dewata lainnya yang merasa terdesak dinasehati untuk meninggalkan Swargaloka karena jika tetap tinggal, mereka akan benar-benar ditaklukkan Mahabali. Maka sekali lagi Dewata dipaksa meninggalkan kahyangan dan Mahabali pun mengangkat dirinya menjadi raja tiga dunia : dunia manusia, dunia dewa, dan dunia alam baka. Di dunia manusia, Mahabali meraih popularitas luar biasa di kalangan manusia oleh karena kemurahan hati dan keadilannya. Ia tidak memaksa manusia tunduk padanya dengan cara anarkisme seperti Raja-Raja Asura yang sebelumnya sehingga meskipun Raja Kahyangan bukan lagi Indra, sebagian besar manusia tidak protes.
Tapi tentu saja Indra yang diusir dari kahyangan tidak terlalu suka dengan kehadiran Mahabali. Ia sempat beberapa kali meminta para Trimurti ambil tindakan, tapi Wisnu belum mau ambil tindakan sampai tiba masanya ketika Mahabali sudah mulai merasa bahwa ia adalah entitas paling mulia, tak ada lagi makhluk yang lebih tinggi dari dirinya.
Saat itulah Wisnu menjelma melalui perantaraan Kashyapa dan Aditi, lahir sebagai putra Aditi, berwujud anak cebol yang kemudian menjadi brahmana seperti Kashyapa. Anak ini diberi nama oleh Aditi dan Kashyapa dengan nama Wamana, artinya ‘Si Pendek’.
Pada suatu ketika Mahabali mengadakan ‘open house’ dan mengundang segenap orang, terutama brahmana untuk bertandang ke istananya di Swargaloka. Wamana pun turut datang menemui Mahabali sambil membawa-bawa payung dan kendi air. Sukracarya – guru Mahabali – yang melihat kedatangan Wamana langsung kaget setengah mati. Ia lalu memperingatkan Mahabali dengan keras supaya Mahabali tidak memberikan apapun yang diminta Wamana.
Tapi Mahabali keras kepala. Dalam pandangannya, brahmana ini meskipun masih berwujud anak kecil (atau orang cebol) punya kharisma yang luar biasa. Mahabali menempatkan Wamana di tempat duduk kehormatan dan menanyakan apa permintaan Wamana.
“Apakah Paduka menginginkan tanah, emas, istana, atau gadis yang cantik?
Apakah menginginkan hewan gajah, kuda atau kijang?
Kami akan memberikan apa pun yang kami miliki yang diinginkan Paduka Brahmana,” tanya Bali.
Wamana menjawab pelan, “Kau telah berbicara penuh kerendahan hati, kebajikan dan kebangsawanan.  Sukra agung dan Brighu adalah Acaryamu, Gurumu. Prahlada Yang Agung adalah kakekmu, Wirocana Yang Dermawan adalah ayahmu. Aku yakin Raja tidak akan menarik mundur ucapanmu. Aku ingin tanah tiga langkah yang diukur oleh kakiku.”
Setengah kecewa karena sang brahmana kecil hanya meminta hal yang sepele baginya, Bali berucap, “Tentu saja Paduka masih anak-anak, bahasa anak-anak, permintaannya masih sederhana. Baik, Paduka tidak mau minta tumpukan emas dan hanya tanah tiga langkah? Aku pegang kata-kataku.”
Sambil tersenyum Vamana menjawab, “Aku menghargaimu Raja dermawan. Jika seorang manusia tidak bisa menaklukkan keinginan, semua hal di dunia tidak akan mencukupinya.”
Sekali lagi Sukracarya mewanti-wanti Mahabali, “Diriku mencintai semua Asura dan Raja Bali adalah murid terkasihku. Kamu telah gegabah Raja! Kau belum tahu soal langkah kaki Narayana! Memang menarik janji, membatalkan komitmen itu seperti menarik pohon dari tanah yang membuat cepat mengering dan jatuh. Akan tetapi dalam keadaan darurat Raja boleh ingkar janji. Raja belum tahu siapa sejatinya Brahmana kecil ini.”
Bali hanya menjawab, “Guru, dalam darahku mengalir darah nenek buyut Kayadhu yang suci, mengalir darah kakek Prahlada yang agung, diriku malu, merupakan keaiban untuk menarik perkataan. Kalaupun Brahmana ini adalah Narayana, maka pemberianku ini akan menjadi perbuatan mulia: memberi, telapak tangan menghadap ke bawah terhadap Narayana.”
Sukracarya pun menjadi marah dan akhirnya mengutuk Mahabali, “Raja telah merasa lebih bijak dariku. Aku kutuk sehingga kemuliaanmu segera punah.” Dan setelah itu Sukracarya pun pergi meninggalkan istana Mahabali.
Ketika kembali menemui brahmana kecil itu, Mahabali mendapat kejutan besar. Sesuatu yang ditakutkan oleh Sukracarya terjadi. Tubuh Wamana membesar dan terus membesar, wujud ini dinamakan Triwikrama. Kakinya konon bertambah menjadi tiga. Kaki pertamanya menutupi seluruh bumi, kaki keduanya menutupi seluruh kahyangan dan konon dari atas langit turun Baruna – dalam wujud naga – yang langsung melilit Mahabali dengan dibantu oleh Garuda.
“Belum tiga langkah, Raja,” kata Wamana.
Mahabali langsung tahu apa yang diminta oleh Wamana. Wamana memintanya untuk menyerahkan kembali hak kekuasaan Dewata pada para Aditya. Karena itu Bali berucap, “Diriku menyadari kesalahanku, aku berjanji dapat  memberikan semua milikku. Ternyata semuanya adalah milik-Mu. Terima kasih Narayana, hamba paham dengan menerima persembahan hamba, berarti semua kesalahan hamba telah diampuni. Terima kasih Narayana, biarlah langkah kaki ketiga-Mu, Engkau letakkan di kepala kami.”
Dan terjadilah demikian. Selanjutnya ada dua versi mengenai nasib Mahabali. Versi pertama menyatakan ia mati, versi kedua menyatakan ia tetap hidup. Tapi apapun versinya, semuanya bersepakat soal janji Wamana kepada Mahabali.
Mahabali adalah cucu Prahlada – putra Hiranyakasipu (lihat pembahasan Narasinga Awatara), karena itulah ia tidak seberingas Asura lainnya. Dan ketika Wisnu menyaksikan bahwa Bali tidak menentang otoritas kekuasaan Trimurti seperti pendahulu-pendahulunya, ia menjanjikan Bali akan terlahir kembali di Sutala – bagian dari Pratala (alam baka), dan pada Mahayuga selanjutnya ialah yang akan menjadi Indra. Untuk sementara di Sutala, ia menjadi asisten Batara Yama, mengurusi jiwa-jiwa orang mati.
• Ada sekte tertentu di India yang tidak mempercayai Wamana sebagai Awatara Wisnu melainkan Awatara Ganesha.
• Indra selalu berganti-ganti setiap Mahayuga. Indra pertama adalah Yajna, atau Wisnu sendiri. Baruna – penguasa lautan – pun dikatakan pernah menjadi Indra.
• Baruna punya dua wujud : wujud naga dan manusia. Tapi sebenarnya dia juga Aditya, dengan kata lain dia adalah ‘kakak’ dari Wamana dan Indra.
• Mahabali konon merupakan singkatan dari ‘Mahatma Bali’ yang artinya ‘Bali Yang Berjiwa Besar’.
• Mahabali adalah cucu Prahlada, dan dia termasuk dalam golongan Danawa.
• Narayana adalah nama lain Wisnu.

6. Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga

Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, namaParashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga.
Ada seorang Rsi yang menjadi bagian dari tujuh Sapta Rsi bernama Jamadagni. Jamadagni telah memiliki empat putra namun suatu ketika istrinya hamil putra kelimanya, Jamadgani dan istrinya, Renuka, mendapat pesan dari Batara Siwa bahwa Batara Wisnu akan menitis kepada putra kelima mereka. Putra kelima mereka ini dinamai Rama atau Ramabhadra.
Sebagai istri brahmana yang tergabung dalam Sapta Rsi, Renuka memiliki kemampuan untuk memadatkan tanah liat yang masih basah dan belum dibakar menjadi pot tembikar untuk menampung air. Namun suatu saat hendak mengambil air di sungai, ia terpesona melihat sekawanan gandarwa , satu pikiran untuk ‘serong’ dengan para gandarwa langsung melintas di pikiran Renuka. Akibatnya kendi air di tangannya langsung meleleh dan larut dalam air. Renuka pun ketakutan dan tidak berani pulang karena ia tahu suaminya pasti akan marah besar padanya.
Jamadagni tidak perlu waktu lama untuk tahu perbuatan istrinya itu. Dalam meditasinya, lintasan pikiran Renuka masuk ke dalam pikirannya. Dengan kekuatannya, Sang Rsi memaksa sang istri pulang lalu memanggil putra sulungnya dan menyodorkan sebuah kapak kepadanya. “Bunuh ibumu dengan kapak itu!” kata Jamadagni.
Sang putra sulung ketakutan dan menolak perintah sang ayah, dan sebagai akibatnya ia dikutuk menjadi batu. Putra kedua, ketiga, dan keempat juga dipanggil dan diberi perintah serupa, dan semuanya menolak. Akhirnya empat putranya pun berubah menjadi batu. Sampai akhirnya Rama mengambil kapak itu dan tanpa ragu memenggal kepala ibunya.
Jamadagni terkesan oleh kepatuhan Rama sehingga menawarinya untuk mengabulkan dua permintaan Rama. Rama hanya meminta sang ayah menghidupkan kembali ibu dan empat kakaknya. Kemudian dengan senang hati Jamadagni mengabulkannya.
***
Meskipun merupakan awatara Wisnu, Rama dan ayahnya termasuk brahmana sekte Shaivanism (Siwaisme) yang lazim hidup bertapa, menyendiri di tengah hutan atau pegunungan, makan seadanya dari hutan, dan melumuri tubuh mereka dengan abu. Ketika sudah cukup usia, Rama meninggalkan rumahnya untuk bermeditasi pada Siwa. Setelah melakukan tapa selama bertahun-tahun Siwa datang menemuinya, memberinya sebuah kapak yang tak dapat dihancurkan oleh apapun bernama Parasu (Parashu). Lalu memberi perintah pada Rama untuk membebaskan Ibu Bumi dari penjahat, orang-orang serakah, iblis, dan orang-orang yg meninggalkan ajaran Dharma.
Kemudian selama 21 hari Siwa menantang Rama untuk bertarung. Selama 21 hari itu pula murid dan guru itu saling tebas dan serang. Siwa dengan trisulanya, Rama dengan Parasunya. Di hari ke-21 Rama berhasil melukai dahi Siwa dengan kapaknya dan pertarungan pun dihentikan. Siwa sangat puas dengan kecakapan muridnya itu dan sejak saat itu menamai diri-Nya ‘Khanda-parshu’ (Yang dilukai oleh kapak) sebagai wujud penghormatan Siwa pada Rama. Nama Rama sendiri kemudian berubah menjadi Parasurama.
****
Ada seorang raja dari ras Yadu, bernama Kartavirya Arjuna atau Arjuna Sasrabahu – Arjuna yang bertangan seribu. Raja ini menguasai wilayah Mahespati (atau Halaya di versi India). Awalnya raja ini adalah raja yang bijak dan perkasa. Raja ini bahkan sempat mengalahkan Rahwana muda dan memaksa Rahwana untuk tidak mengekspansi negara lain lagi.
Tapi kemudian raja ini menjadi ‘gila hormat’ dan merasa tak ada satupun yang lebih sakti dari dirinya. Dalam kunjungannya ke asrama (pertapaan) Rsi Jamadagni, Sang Raja disuguhi aneka hidangan nikmat ala istana oleh Sang Rsi dalam kuantitas yang tidak main-main. Penasaran dari mana Sang Rsi mendapatkan hidangan sebanyak dan semewah itu padahal hidupnya amat sederhana, Jamadagni mengatakan bahwa ia mendapatkannya melalui perantaraan sapi Kamadhenu (Sapi ini adalah sapi pengabul segala kehendak yang keluar pada saat Samudra Manthan yang diberikan oleh Batara Wisnu (atau Indra, tergantung versinya) kepadanya. Arjuna Sasrabahu menginginkan sapi itu. Ia hendak membeli sapi itu, tapi Jamadagni menolaknya. Sang raja terus membujuk dan menaikkan tawarannya tapi Jamadagni tetap kukuh bahwa sapi pemberian Bhatara Wisnu itu tidak dijual.
Karena kesal tawarannya ditolak, Sang Raja lalu membawa sapi itu secara paksa dari asrama Rsi Jamadagni. Dan tak berapa lama kemudian Parasurama kembali ke pertapaan ayahnya dan mendapati sapi Kamadhenu tak ada lagi di rumah ayahnya. Ketika Parasurama bertanya ke mana perginya sapi itu, ayahnya menjawab bahwa Raja Arjuna Sasrabahu membawanya. Marah atas perilaku Sang Raja yang seenaknya, Parasurama berlari ke istana Sang Raja dengan niat merebut kembali sapi suci itu.
Arjuna Sasrabahu tidak mau mengembalikan sapi itu begitu saja dan menantang Parasurama untuk bertarung. Parasurama memanah satu-demi-satu seribu tangan Arjuna lalu memenggal kepala Sang Raja kemudian membawa pulang sapi Kamadhenu ke pertapaan ayahnya. Ayahnya senang sapinya kembali, tapi melihat ada noda darah di kapak anaknya, Jamadagni berkata, “Tidak layak Brahmana dikontrol oleh amarah dan kesombongan. Sucikan dirimu segera, Rama.”
Maka Parasurama pun kembali meninggalkan rumahnya, mengasingkan diri selama satu tahun untuk menyucikan diri. Di pengasingan ini, Indra menghadiahinya busur Wijaya sebagai hadiah atas keberaniannya menantang Arjuna Sasrabahu. Tapi di saat yang sama, anak-anak Arjuna Sasrabahu yang menemukan jenazah ayah mereka menjadi luar biasa marahnya. Mereka segera menyerbu pertapaan Jamadagni dan membunuh Sang Rsi dengan menembakkan ratusan anak panah. Jamadagni pun tewas. Anak-anak Arjuna Sasrabahu pun memenggal kepala Jamadagni dan membawanya ke istana mereka sebagai tropi kemenangan.
Ketika Parasurama kembali dari pengasingannya, ia menemukan ibunya tengah berduka dan meratapi kematian ayahnya sambil memukul-mukul dadanya sebanyak 21 kali. Di samping ibunya, teronggok jasad Jamadagni yang tanpa kepala. Parasurama pun menjadi sangat sakit hati atas kepongahan warna (kasta) kesatria dan bersumpah akan membantai seluruh kaum kesatria dalam pembantaian yang akan dia lakukan sebanyak 21 kali keliling dunia.
***
“Pada masa antara Treta dan Dwapara Yuga, Parasurama, sang pejuang terhebat, terusik oleh ketidaksabarannya menyaksikan segala kepongahan kaum kesatria, berulang kali membantai kaum kesatria. Ketika ia selesai dengan aksi pembantaiannya, ia telah menciptakan Samanta-panchaka, lima danau besar berisi darah.
Parasurama membantai seluruh raja yang ada di dunia ini tanpa pandang bulu. Ia tidak peduli apakah raja-raja ini masih muda atau sudah tua, apakah raja ini punya pewaris atau tidak punya pewaris, atau apakah raja ini dicintai rakyatnya atau malah dibenci rakyatnya. Pokoknya nyaris tidak ada dinasti kerajaan yang ‘selamat’ dari amukan Parasurama. 
Korban pertama dari perjalanan Parasurama ini adalah anak-anak Arjuna Sasrabahu. Setelah membunuh anak-anak ‘kurang ajar’ ini ia membawa kembali kepala ayahnya ke pertapaan dan melakukan upacara pembakaran jenazah lalu melanjutkan perjalanannya.
Setelah 21 kali mengelilingi dunia, Parasurama mengadakan sebuah upacara agung yang intinya menyatakan bahwa raja-raja yang tersisa wajib menyerah dan menyatakan kesetiaan kepada Parasurama. Yang tidak mau, dipersilakan mengalahkan Parasurama. Sebagian raja tidak mau mengakui seorang brahmana sebagai Maharaja mereka, dan akhirnya tewas saat bertarung dengan Parasurama. Raja-raja yang tersisa akhirnya menyatakan diri sebagai bawahan Parasurama. Parasurama sendiri kemudian membagi-bagikan wilayah taklukannya di antara para brahmana sebelum akhirnya mengundurkan diri untuk bertapa kembali di Pegunungan Mahendra.
***
Ada satu dinasti yang selamat dari amukan Parasurama, yakni Dinasti Surya (Kerajaan Ayodhya). Entah bagaimana dinasti ini tidak kena utak-atik dari Parasurama.
Hingga akhirnya Parasurama dipertapaannya mendengar suara gemuruh yang maha dasyat menggelegar saat seorang pangeran dari Kerajaan Ayodhya bernama Rama mematahkan busur Haradhanu milik Siwa yang dimiliki oleh Raja Mithila, Janaka, saat tengah mengadakan sayembara untuk mencari suami bagi putri angkatnya Sita.
Parasurama langsung naik darah. Ia menyangka ada lagi kaum kesatria yang telah lancang sok pamer kekuatan di dunia ini. Langsung saja ia turun gunung dan menghadang Rama yang sedang dalam perjalanan pulang ke Ayodhya bersama Sinta, adiknya Laksmana, dan seorang Sapta Rsi Wiswamitra. Wiswamitra memohon agar Parasurama kembali lagi ke pertapaannya dan berusaha keras meyakinkan Parasurama bahwa Rama sama sekali tidak punya maksud ‘pamer kekuatan’ hanya saja busur Haradhanu milik Siwa tiba-tiba patah saat direntangkan oleh Rama.
Parasurama tidak percaya, ia melemparkan busur Wisnudhanu, busur yang dimilikinya sebagai awatara Wisnu kepada Rama dan menantangnya untuk menarik busur itu. Rama menarik busur itu tanpa kesulitan sementara kapak Parasurama tiba-tiba menjadi sangat berat. Parasurama pun langsung sadar bahwa dia bukan lagi awatara Wisnu. Rama sudah mengambil alih posisinya. Karena itu ia pun undur diri dan masuk kembali ke dalam hutan. Busur milik Wisnu itu diberikan pada Rama.
Parasurama adalah awatara Wisnu paling unik karena ia adalah Chiranjiwin (kaum abadi). Ia terus hidup sampai era Dwapara Yuga, di mana kisah Mahabaratha akan terjadi. Di masa ini ia menjadi guru dari seorang pangeran Wangsa Kuru bernama Bhisma. Di masa ini kebenciannya terhadap kaum kesatria sudah hilang. Tapi ada satu masalah yang kemudian membuat hubungan guru-murid ini retak.
Permasalahannya ... Bhisma pernah dengan sengaja memenangkan sayembara memperebutkan putri dari kerajaan seberang yakni Amba, Ambalika, dan Ambika untuk diperistri adiknya.
Hingga akhirnya Ambika meminta bantuan dari Parasurama. Karena Bhisma sudah "menghina"nya.
Parasurama  dan Bhisma saling baku hantam selama 23 hari dan pada akhirnya Bhisma yang menang (Bhisma saat itu adalah manusia awatara dari Dyaus sementara Parasurama sudah bukan lagi manusia awatara). Kesal dengan perilaku Bhisma, Parasurama bersumpah tidak akan pernah mau lagi mengajar murid dari golongan kesatria.
***
Drona, seorang brahmana yang kelak akan menjadi guru para Kurawa dan Pandawa suatu saat bertemu dengan Parasurama dalam sebuah perjalanan. Drona menyatakan bahwa ia butuh pengetahuan tentang segala jenis senjata yang diketahui Parasurama. Karena Drona seorang brahmana, Parasurama akhirnya mengajari Drona segala jenis teknik beladiri dan penggunaan senjata baik senjata biasa atau astra (Brahmastra terutama). Ia juga memberi Drona semua senjata koleksinya kecuali kapak Siwa dan busur Wijaya dari Indra.
***
Radheya, putra sulung Kunti anugrah Bhatara Surya sekaligus kakak sulung Pandawa, diadopsi oleh kusir kereta kerajaan Hastina. Memiliki bakat alam sebagai pemanah handal, ia sempat minta diajari memanah oleh Drona tapi Drona menolak karena sudah terikat sumpah pada Bhisma dan Tua-Tua Hastina bahwa ia hanya akan mengajari para pangeran Hastina. Kesal karena penolakan Drona, Radheya mengembara mencari Parasurama dengan menyamar sebagai seorang brahmana. Parasurama senang sekali menerima ‘brahmana’ Radheya sebagai muridnya. Ia menganggap Radheya adalah muridnya yang paling cerdas dan cepat belajar. Tapi semua itu berubah saat suatu ketika Parasurama tengah tidur berbantalkan pangkuan Radheya . Saat itu seekor kalajengking menyengat kaki Radheya sehingga kaki Radheya berdarah dan darahnya menetes ke wajah Parasurama.
Parasurama terbangun dan langsung menginterogasi Radheya. Mulanya Radheya tidak mengaku tapi ketika Parasurama mendesak, ia mengaku bahwa ia memang bukan Brahmana.
Parasurama menghardik, “Cuma Kesatria yang bisa menahan rasa sakit disengat kalajengking seperti itu!”
“Guru, saya bukan kesatria. Saya hanyalah Suta, anak kusir.”
“Ah, sama saja! Kau menipuku! Karena kau sudah menipuku untuk mendapatkan pengetahuanku, kelak semua senjata dan kesaktianmu tak akan berguna di saat-saat kau sangat membutuhkannya!”
Tapi meskipun Parasurama marah besar pada Radheya, ia memberi Radheya pusakanya yang terakhir : Busur Wijaya dan astra bernama Bhagavastra.
Kutukan Parasurama terbukti. Menjelang dan di saat bertarung dengan Arjuna, kesaktian Karna menghilang satu demi satu. Dia bahkan tak bisa memanggil satupun astra miliknya di saat-saat terakhir. Karna sendiri akhirnya tewas terpenggal panah Pasopati Arjuna.
***
Diceritakan dalam Wisnupurana, Awatara terakhir Wisnu yakni Kalki Awatara akan berguru pada Parasurama guna mendapatkan senjata dari Siwa untuk mengalahkan Iblis Kali.
***
Parasurama juga ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan. Ia lebih terkenal dengan sebutan Ramabargawa. Selain itu ia juga sering dipanggil Jamadagni, sama dengan nama ayahnya.
Ciri khas pewayangan adalah jalinan silsilah yang saling berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah tentang Ramabargawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu antara lain menyebut tokoh ini sebagai keturunan Batara Surya. Ayahnya bernama Jamadagni merupakan sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati. Adapun Kartawirya adalah ayah dari Arjuna Sasrabahu alias Kartawirya Arjuna. Selain itu, Jamadagni juga memiliki sepupu jauh bernama Rsi Gotama, ayah dari Subali dan Sugriwa.
Dalam pewayangan dikisahkan Ramabargawa menghukum mati ibunya sendiri, yaitu Renuka, atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah karena Renuka telah berselingkuh dengan Citrarata raja Kerajaan Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan kemarahan dan rasa benci luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria.
Setelah menumpas kaum kesatria, Ramabargawa merasa jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan dunia. Atas petunjuk dewata, ia akan mencapai surga apabila mati di tangan titisan Wisnu. Adapun Ramabargwa versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan menitis kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh Ramabargawa.
Setelah lama mencari, Ramabargawa berhasil menemui Arjuna Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah kehilangan semangat hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri, dan istrinya, yakni Dewi Citrawati. Dalam pertarungan tersebut, Ramabargawa justru malah menewaskan Arjuna Sasrabahu.
Ramabargawa kecewa dan menuduh dewata telah berbohong kepadanya. Batara Narada selaku utusan kahyangan menjelaskan bahwa Wisnu telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Rama putra Dasarata. Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama dewasa. Beberapa tahun kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Rama yang sedang dalam perjalanan pulang setelah memenangkan sayembara Sinta. Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut, Ramabargawa akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar Batara Ramaparasu.
Pada zaman berikutnya, Ramaparasu bertemu awatara Wisnu lainnya, yaitu Kresna ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian utusan para Pandawa menuju Kerajaan Hastina. Saat itu Ramaparasu bersama Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna untuk ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam naskah Kakawin Bharatayuddha dari zaman Kerajaan Kediri.
Di Bali diceritakan bahwa ia dan Arjuna Sasrabahu sama-sama merupakan titisan Wisnu.
***
Dalam versi india mengisahkan,
Saat Maharsi Narada berkunjung ke Vaikuntha dan tanpa sengaja menemukan Cakram Sudarshana dengan Bhatara Wisnu sedang berselisih paham. Sang cakram yang memiliki kesadaran sendiri itu bilang bahwa Wisnu takkan bisa mengalahkan Asura manapun tanpa dirinya dan dirinyalah yang selama ini menjadi kekuatan Wisnu, tanpa dirinya Wisnu bukan siapa-siapa.
Tampaknya Wisnu menjadi agak sebal dengan tingkah senjatanya itu dan akhirnya menyuruhnya pergi ke dunia dan menitis menjadi seorang raja bernama Arjuna Sasrabahu. Wisnu sendiri berjanji kelak akan menyusul dan menitis kepada seorang putra brahmana. Setelah itu mereka akan baku hantam untuk menyelesaikan perdebatan mereka.
Arjuna Sasrabahu memang akhirnya bertemu Parasurama dan bertempur yang menyebabkan kekalahan bagi Arjuna Sasrabahu.
***
• Di Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam dan Kamboja, Parasurama bukanlah Awatara Wisnu yang populer. Apalagi di Nusantara – yang raja-rajanya ‘agak’ tidak mau dikritik dan disalahkan. Karena itu di Nusantara, Awatara keenam Wisnu diubah. Bukan Parasurama, tapi Arjuna Sasrabahu.
• Model pengakuan Awatara Keenam Wisnu adalah Arjuna Sasrabahu juga terasa di Bali, di mana ada kisah yang menceritakan baik Arjunasasrabahu maupun Parasurama sama-sama adalah awatara Wisnu – mengambil pendekatan seperti Nara dan Narayana, rsi kembar yang sama-sama Awatara Wisnu dalam versi 22 Awatara.
• Parasurama adalah awatara Wisnu paling ‘brangasan’ nomor dua setelah Narasinga.
• Parasurama dipercaya masih hidup sampai saat ini.
• Pasangan Parasurama yang bernama Dharini tidak pernah diceritakan mendampingi Parasurama saat Parasurama menjadi guru Bhisma, Drona, dan Karna. Kemungkinan besar istri Parasurama ini sudah meninggal lama sekali sebelum peristiwa Mahabaratha atau mungkin sebelum Ramayana.
• Setelah tak lagi menjadi awatara Wisnu, kekuatan Parasurama jauh berkurang meski masih cukup berbahaya untuk dihadapi para kesatria manapun yang ada di zaman itu.

7. Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
Rama purusothama.jpg
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sanskerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga,
Ada seorang raja bernama Dasarata, penguasa wilayah Kosala, dari Dinasti Surya (dinasti yang diturunkan dari Dewa Surya). Dasarata ini memiliki tiga orang permaisuri yakni : Kosalya, Sumitra, dan Kekayi. Dalam suatu medan laga, Dasarata terluka parah dan tiba-tiba saja permaisuri ketiganya – Kekayi – nekat maju sendirian ke medan laga dan membantu Dasarata melarikan diri dari kejaran musuh-musuhnya. Atas keberanian Kekayi itu, Dasarata bersumpah akan mengabulkan dua keinginan Kekayi tapi sampai waktu cukup lama Kekayi tidak meminta apa-apa. Kekayi pun dijanjikan bahwa jika Kosalya dan Sumitra tidak jua memiliki anak, maka putra Kekayi akan dijadikan yuwaraja – putra mahkota – oleh Dasarata.
Ternyata Kosalya dan Sumitra akhirnya hamil. Kosalya melahirkan lebih dahulu seorang putra bernama Rama, sementara Sumitra melahirkan dua putra kembar bernama Laksmana dan Satrugna. Kekayi? Dia melahirkan paling belakang. Putranya diberi nama Bharata.
Saat Rama dan Laksmana beranjak remaja, ada seorang Rsi bernama Wiswamitra – salah satu dari Tujuh Sapta Rsi yang berkunjung kepada Dasarata. Wiswamitra punya reputasi buruk sebagai rsi berangasan, nyaris sejajar dengan Parasurama (Awatara Wisnu ke-6) dan Rsi Durwasa (Awatara Siwa). Tolak keinginannya maka musibah besar sudah pasti menantimu .
Dasarata bicara dengan sangat hati-hati dan mempersilakan Sang Rsi untuk meminta apa saja selama ia dapat mengabulkannya. Dasarata berpikir Rsi itu minta sumbangan atau tanah, tapi ternyata Wiswamitra justru meminta Rama dan Laksmana ikut dengannya untuk membantai beberapa raksasa pengganggu pertapaan. Dasarata sempat protes dengan permintaan Sang Rsi tapi dengan reputasinya sebagai ‘mantan raja’dan ‘keahlian diplomasinya’ (baca : reputasi kutukannya), Wiswamitra berhasil meyakinkan Dasarata untuk mempercayakan Rama dan Laksmana padanya.
Rama dan Laksmana pun dibawa ke hutan, hidup di antara para Rsi dan Wiswamitra mengajari Rama segala teknik beladiri dan penggunaan astra. Rama sendiri kemudian mengajari Laksmana segala pengetahuan yang ia dapat dari Wiswamitra (karena Laksmana agak ‘lambat’ belajarnya plus agak gampang naik darah).
Tugas sehari-hari Rama dan Laksmana adalah mengusir para raksasa yang ‘cari makan’ atau ‘main-main’ ke pertapaan para Rsi. Rama terhitung mengalahkan tiga raksasa yakni : Tataka (dibunuh), Marica (diampuni), Subahu (dibunuh). Marica dan Subahu adalah raksasa yang suka sekali melempari sesajen para Rsi dengan darah dan daging mentah, sementara Tataka suka membunuhi para Rsi.

Beberapa saat setelah Rama dan Laksmana kembali ke istana, Wiswamitra mampir lagi dan mengajak dua muridnya itu ke Mithila karena di sana ada sayembara untuk memperebutkan Dewi Sinta, anak angkat Raja Janaka Mithila. Rama dan Laksmana pun berangkat ke Mithila.
Di Mithila, sayembara yang harus mereka lakukan adalah mengangkat sebuah busur bernama Haradhanu (Busur Siwa). Busur itu super berat. Tak ada satupun peserta yang mampu mengangkatnya, tapi Janaka sengaja memberi sayembara seperti itu karena Sinta saja – meski dia wanita – bisa mengangkat busur itu seolah-olah busur itu enteng.
Peserta lain sudah mulai ribut dan menuduh Janaka mengajukan syarat yang mustahil sampai Rama maju dan mengangkat busur itu dengan entengnya lalu merentangkan talinya. Tampaknya Rama menggunakan kekuatan yang agak berlebihan dalam menarik Haradhanu karena setelah itu Haradhanu tiba-tiba malah patah jadi dua, menimbulkan suara guntur menggelegar yang terdengar sampai pertapaan Parasurama.
Rama akhirnya mendapatkan Sinta dan Dasarata pun datang ke Mithila untuk menghadiri upacara pernikahan putranya. Saat pesta usai, rombongan dari Kosala memboyong pasangan ini pulang ke Kosala dengan didampingi Wiswamitra dan Wasistha (anggota Sapta Rsi yang lain), tapi tengah jalan mereka dicegat oleh Parasurama. Wiswamitra yang biasanya ‘sangar’ dan Wasistha yang biasanya tenang langsung gugup setengah mati dan meminta koleganya sesama Sapta Rsi itu kembali ke pertapaan, tapi Parasurama bergeming. Ia malah menantang Rama untuk merentangkanWisnudhanu (Busur Wisnu) miliknya kepada Rama. Busur ini konon tidak bisa digunakan siapapun kecuali Parasurama dan para Awatara Wisnu. Saat Rama dengan mudahnya membengkokkan busur itu, ia mengancam Parasurama, “Waisnawa ini harus mendapatkan mangsa. Apa yang Tuan (Parasurama) pilih untuk dihancurkan panah ini? Kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?”
Parasurama memilih supaya busur itu menghancurkan hasil tapanya (yang akhirnya membuat Parasurama harus mengulangi tapanya dari awal dan kekuatannya jauh berkurang di zaman para Pandawa) lalu mundur kembali ke dalam hutan untuk mengasingkan diri.
Rama dan Sinta hidup bahagia selama beberapa tahun di Ayodhya, ibukota Kosala, sampai suatu hari Dasarata yang telah menua mengemukakan rencananya kepada para permaisuri untuk mengangkat Rama sebagai Yuwaraja (putra mahkota) sekaligus pelaksana tugas harian kerajaan karena sebentar lagi ia hendak mengundurkan diri. Pada awalnya ketiga permaisurinya setuju saja. Tapi seorang dayang Kekayi yang bernama Mantara, mengemukakan pendapatnya bahwa Bharata kelak bisa saja disingkirkan oleh Rama kalau Rama menjadi raja, sebab Dasarata dulu pernah berjanji bahwa putra Kekayilah yang akan menjadi raja. Rama pasti ingat akan janji itu dan pasti akan menghabisi atau mengasingkan Bharata dan Kekayi nantinya.
Terhasut oleh kata-kata Mantara, Kekayi menggunakan dua hak istimewanya yang tidak pernah ia pakai itu. Pertama ia meminta agar bukan Rama yang menjadi Yuwaraja melainkan Bharata. Yang kedua ia meminta agar Rama dibuang ke hutan selama 14 tahun. Dasarata langsung tergoncang mendengar permintaan Kekayi tapi karena ia sudah terlanjur janji dan melanggar janji pada masa itu bisa dibilang sama saja mencoreng harga diri, maka dengan berat hati ia mengabulkan permohonan Kekayi.
Apa tanggapan rakyat Kosala? Mereka memprotes keputusan Raja. Mereka menghujat Dasarata dan Bharata, terlebih ketika Rama dan Sinta meninggalkan istana tanpa pakaian kebesaran, hanya mengenakan pakaian kulit pohon ala para pertapa. Laksmana yang paling emosi. Ia sempat minta izin Rama untuk memimpin pemberontakan kepada ayah mereka sendiri tapi Rama mencegahnya. Pada akhirnya Laksmana memilih ikut dengan Rama karena dia tidak mau ‘dekat-dekat’ dengan Bharata.
Dasarata meninggal tak lama setelah Rama pergi. Sementara itu saudara kembar Laksmana, Satrugna, memilih tinggal di Ayodhya sampai Bharata pulang dari negeri seberang. Ketika Bharata kembali, dia langsung gempar mendengar cerita Satrugna bahwa Rama telah pergi dan cerita ibunya bahwa Dasarata telah meninggal dan kini ialah yang menjadi raja. Langsung saja ia menyusul Rama ke hutan dan memintanya kembali tapi Rama menolak karena kalau ia kembali berarti ia akan mempermalukan nama ayahnya sepanjang masa (Mereka yang melanggar sumpah di masa ini, namanya akan tercoreng dan jadi bahan hujatan meski sudah mati). Bharata akhirnya menyerah dan meminta kasut Rama.
Ketika Bharata kembali ke Ayodhya, ia mengumumkan dua maklumat :
1. Dia tidak lagi mengakui wanita bernama Kekayi sebagai ibunya karena tindakan jahatnya yang mengusir Rama dengan menggunakan janji Dasarata bertahun-tahun yang lalu.
2. Bharata tidak akan memerintah Ayodhya dan seluruh Kosala sebagai raja, melainkan hanya sebagai wali raja. Raja Ayodhya dan seluruh Kosala tetaplah Rama dan kasut Rama akan ia letakkan di singgasana sebagai tanda bahwa Rama kelak akan kembali sebagai raja.
Hubungan Bharata dan Kekayi tidak pernah sama lagi setelah itu.
Rama menghabiskan 12 tahun pengasingannya di antara para Rsi yang mengasingkan diri. Terkadang ia bertemu dengan Wiswamitra yang sekali lagi ngasih Rama dan Laksmana ‘kerjaan sambilan’ mengusir raksasa. Terkadang ada juga Rsi lain yang minta tolong langsung pada Rama untuk mengusir raksasa.
Di tahun ke 13, Rama dan Sinta kedatangan tamu. Cewek cantik yang terang-terangan menggoda Rama bernama Surpanaka. Ia hendak membunuh Sinta supaya bisa merebut Rama, tapi Laksmana yang baru kembali dari mencari kayu langsung mengusir Surpanaka. Surpanaka akhirnya kembali pada sosok semulanya yakni raksasi (raksasa wanita) dan menghajar Laksmana. Tapi Laksmana justru malah memotong dan mencederai hidung dan kuku-kuku Surpanaka lalu mengusirnya dari area tempat tinggal Rama.
Surpanaka yang sakit hati dikalahkan, mengadu pada kakaknya, yakni Kara. Kara dan pasukannya langsung menggempur rumah Rama namun Rama dan Laksmana berhasil menghabisi seluruh pasukan itu. Akhirnya Surpanaka melaporkan keluhannya kepada Rahwana di Kerajaan Alengka. Atas kelancangan Rama dan Laksmana. Rahwana langsung turun langsung ke lapangan, mengintai rumah Rama. Tapi ketika melihat sosok Sinta, dirinya langsung menginginkan wanita itu menjadi istrinya (meski dia sudah punya banyak istri sebelumnya ).
Ia kemudian menyuruh Marica mengubah dirinya menjadi kijang emas. Sinta yang melihat kijang itu langsung meminta agar Rama memburunya. Rama akhirnya meninggalkan Sinta di pondok dengan pengawasan Laksmana. Kijang yang diburu Rama terus mengantarkannya ke tengah hutan. Ketika Rama memanahnya, hewan tersebut berubah kembali menjadi Marica, patih Sang Rahwana. Saat Marica sekarat, ia mengerang dengan keras sambil menirukan suara Rama. Merasa bahwa ada sesuatu yang buruk telah menimpa suaminya, Sinta menyuruh Laksmana agar menyusul Rama ke hutan. Pada mulanya Laksamana menolak, namun karena Sita bersikeras (bahkan sampai menuduh Laksmana berniat merebut dirinya dari Rama), Laksmana meninggalkan Sinta. Sebelumnya ia sudah membuat lingkaran pelindung agar tidak ada orang jahat yang mampu menculik Sita. Rahwana yang menyamar sebagai brahmana, menipu Sinta sehingga Sinta keluar dari lingkaran pelindung dan diculik oleh Rahwana. Saat Laksmana menyusul Rama ke hutan, Rama terkejut karena Laksmana melapor bahwa ia meninggal Sinta sendirian di dalam pondok. Ketika mereka berdua pulang, Sinta sudah tidak ada.
Dasarata pernah menjalin hubungan akrab dengan Jatayu – raja para burung Garuda. Saat Rama dalam masa pembuangan, Jatayu sering menemui Rama dan kadang mengusulkan tempat tinggal yang layak bagi Rama. Saat Rama dan Laksmana menyusuri pelosok gunung, hutan, dan sungai-sungai, mereka menemukan tempat yang penuh ceceran darah dan pecahan-pecahan kereta, seolah-olah pertempuran telah terjadi. Rama berpikir bahwa itu adalah pertempuran antar raksasa yang memperebutkan Sita, dan tak lama kemudian mereka menemukan Jatayu yang sekarat. Dari penjelasan Jatayu Rama tahu bahwa Sita diculik Rahwana. Setelah memberitahu Rama, Jatayu menghembuskan napas terakhirnya. Rama dan Laksmana kemudian mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi Jatayu.
Seorang dewa bernama Kabanda menemui Rama dan Laksmana dan menyarankan mereka menemui seorang wanara bernama Sugriwa karena Sugriwa mungkin saja bisa membantu Rama menemukan Sinta.
Saat mereka memasuki daerah para wanara, mereka ditemui sesosok brahmana yang tak lain adalah Awatara Siwa, Hanoman. Ketika dua awatara Trimurti ini sudah saling mengenali, Hanoman mengantarkan Rama pada Sugriwa. Sugriwa pun berjanji akan membantu Rama menyerbu Alengka asal Rama mau membantunya mengalahkan kakaknya, Subali, guna menempatkannya di tahta Kiskenda. Rama setuju dan ketika Subali dan Sugriwa bertarung, Rama memanah Subali dari belakang dan mengakhiri riwayat Subali. Beberapa saat setelah penobatan Sugriwa, Sugriwa mengirimkan tim pencari beranggotakan Anggada (putra Subali), Hanoman, dan Jambawan untuk mencari jalur menuju Alengka.
Di tahun ke-14 pengasingannya, Hanoman dan tim pencari lainnya kembali dan menceritakan soal medan Alengka pada Subali dan Rama. Rama pun segera berangkat diiringi Laksmana para wanara Kiskenda. Ketika mereka sudah mencapai pantai yang memisahkan Kiskenda dengan Alengka, seorang raksasa bernama Wibisana datang menghadap Rama bersama dua raksasa lainnya. Ia mengaku akan berpihak pada Rama.
Lalu masalah baru menghadang. Di pasukan Rama yang bisa terbang / lompat melintasi lautan cuma :
• Anggada
• Hanoman
• Rama
• Laksmana
• Wibisana dan para pengawalnya
Yang lain tidak dan lautan terlalu deras untuk dilalui dengan berenang. Akhirnya Rama bersemedi kepada Baruna untuk memohon supaya Sang Dewa Lautan membukakan laut (baca : mengeringkan laut) bagi pasukannya. Tiga hari bersemedi, Baruna diam saja. Rama kesal dan langsung menarik busurnya dan bersiap meluncurkan Brahmastra ke lautan.
Baruna yang ketakutan akhirnya langsung muncul dan berkata bahwa dia tidak bisa mengabulkan permohonan Rama sebab lautan tidak mungkin dan tidak boleh terbelah. Ia akhirnya menyarankan Rama membangun jembatan saja.
Seorang wanara bernama Nila ditunjuk menjadi mandor jembatan. Ketika jembatan itu selesai, jembatan itu diberi nama Ramasetu. Dengan jembatan itulah para wanara beranjak merangsek ke Alengka.
Alengka digempur selama berhari-hari. Dalam pertempuran ini konon Indra, sang raja kahyangan, dan Garuda, wahana Wisnu, juga turut serta. Sehari menjelang pertempuran terakhir, Rahwana memanggil adiknya Kumbakarna dan menyuruhnya maju menghadapi Rama.
Kumbakarna sebenarnya tidak setuju dengan tindakan Rahwana yang main ambil istri orang. Tapi karena menghormati kakaknya sebagai raja, ia akhirnya maju perang juga. Kumbakarna menghabisi peleton yang dipimpin Anggada dan Nila sebelum Rama menyelamatkan Anggada dan Nila dengan memanah kedua tangan Kumbakarna. Dalam keadaan tangan buntung, Kumbakarna tetap mengamuk menggunakan kakinya, Rama pun memanah kedua kaki Kumbakarna. Kumbakarna pun masih melawan dengan mengguling-gulingkan tubuhnya sampai akhirnya Rama memenggal kepala Kumbakarna.
Sepeninggal anak-anak dan saudara-saudaranya, akhirnya Rahwana sendiri maju perang di hari terakhir. Rama dan Rahwana akhirnya saling baku hantam selama berjam-jam sampai akhirnya Rama memenggal satu demi satu kepala Rahwana. Tapi setiap kepala yang terpenggal selalu tumbuh kembali. Rama mencoba menghancurkan seluruhnya secara bersamaan dan hasilnya sama saja. Kepala Rahwana tumbuh lagi.
Indra menganalisa kekuatan Rahwana lalu memberitahu Rama bahwa dahulu Rahwana pernah diberi Tirta Amerta. Meski tidak bisa menelannya, Rahwana menyimpan kendi berisi air abadi itu di dalam perutnya. Rama harus menghancurkan kendi itu kalau ingin menghabisi Rahwana. Rama pun akhirnya memanggil Brahmastra dan menghancurkan kendi berisi Tirta Amerta di dalam tubuh Rahwana. Rahwana pun tewas beberapa jam setelah itu.
Sinta dikurung di Alengka selama 1 tahun penuh, tapi meski raksasa, Rahwana masih tahu adat-istiadat dan tidak memperkosa Sinta. Ia mengurung Sinta di sebuah taman sampai Sinta bersedia menjadi istrinya. Tapi Rama sendiri jadi ragu akan kesucian Sinta karena itu ia mengutus Laksmana yang menjemput Sinta dari taman kurungannya.
Ketika Laksmana kembali, Rama memberinya perintah kedua yang mengejutkan. Ia minta Laksmana membuatkan tempat pembakaran diri bagi Sinta karena Rama ingin tahu apakah Sinta masih suci atau tidak.
Laksmana protes dan mengomel tapi akhirnya ia membuatkan juga tempat itu. Api dinyalakan dan setelah beberapa saat, Dewa Agni keluar dari dalam api dengan membopong tubuh Sinta sambil memarahi Rama karena meragukan kesucian Sinta. Rama menyerahkan tahta Alengka pada Wibisana lalu memulai perjalanannya pulang kembali ke Kosala. Rama dan Sinta sendiri kembali ke Ayodhya di akhir tahun ke-14 pengasingannya. Bharat dan Kekayi menyambut mereka lalu menobatkan Rama menjadi raja Ayodhya. Rama konon memerintah selama 11.000 tahun dan memiliki dua anak kembar yakni Kusa dan Lawa. Kosala sendiri kemudian menjalin hubungan erat dengan Kiskenda, kerajaan para wanara.
Sinta adalah putri Dewi Bumi. Suatu ketika ia menghilang ke dalam bumi, kembali ke pelukan ibunya. Rama sendiri bersama Satrugna dan Bharata kemudian pergi ke Sungai Sarayu (Serayu) dan ketiganya moksha bersama-sama, bersatu membentuk sosok Wisnu.
• Laksmana tidak tinggal bersama Rama lagi saat akhir hayatnya. Karena pernah tanpa sengaja terpaksa melanggar peraturan saat Rama tengah berbincang dengan Batara Yama, Laksmana diasingkan dan akhirnya menjadi pertapa di akhir hayatnya. Laksmana juga akhirnya moksha dan kembali menjadi sosok naga Ananta Sesa.
8. Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
Krsna flute big.jpg
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiy Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnyaBhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracaritaMahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
Krishna adalah anak ke delapan, dari pasangan Devaki dan Vasudeva, ia merupakan anak yang tidak diharapkan oleh Pamannya sendiri yakni Kansa. Kansa menjadi raja kerajaan Mathura setelah memenjarakan ayahnya sendiri Ugrasena . Setelah hal itu dia mendapatkan bisikan bahwa ia akan dibunuh oleh anak ke delapan dari adiknya sendiri yakni Devaki. Ketakutan dengan bisikan tersebut Kansa kemudian memenjarakan Devaki dan Vasudeva. Di dalam penjara, Devaki dan Vasudeva memiliki anak, setiap anak itu lahir kemudian Kansa membunuhnya, hingga akhirnya Devaki hamil anak ke delapan, namun secara gaib rahim itu dipindahkan ke Rohini (istri pertama vasudeva). Merasa ada yang janggal dengan kehamilan anak ke tujuh Kansa mendapat sebuah pendapat dari penasihatnya, bahwa sebenarnya yang akan menjadi pembunuhnya adalah kehamilan (garbha) kedelapan bukan kelahiran kedelapan. Mengetahui bahwa Krishna dalam bahaya, kemudian Devaki menyelundupkan krishna kecil diam diam dari penjara untuk diasuh Yasodha.
Mengetahui hal tersebut, Kansa marah luar biasa, ia kemudian selalu mengirim para Raksasa untuk membunuh Krishna kecil. Mungkin bagian cerita ini sudah akrab bagi pembaca yang sudah pernah menonton film animasi The Little Krishna. Krishna di desa ia tinggal (Vrindavan) menjadi anak yang amat diidolakan oleh penduduknya, namun seringkali ia berbuat kenakalan dan mencuri mentega.  Namun seringkali ia harus menghadapi cobaan yang amat berat yang dikirimkan Kansa kepadanya. Tidak cuma cobaan dari Kansa, kadangkala muncul juga cobaan dari dewa lainnya, seperti dari Brahma dan Indra. Penggambaran krishna pada masa kanak kanak ialah penggambaran seorang anak yang sangat suka bermain, dan menyenangkan. Penggambaran ini banyak dianalogikan kepada kebudayaan Hindu yang mengutamakan perayaan yang bersifat kegembiraan dan menumbukan persatuan. Hal ini dapat dilihat kepada tari-tarian, musik dan sebagainya. Sebagaimana digambarkan kepada Krishna yang suka bermain seruling dan menari (bahkan ketika melawan ular raksasa sekaipun). Ketika ia cukup umur, kemudian ia kembali lagi ke kerajaan Kansa. Ia mengetahui apa yang diperbuat oleh Kansa, kemudian ia membunuh Kansa dan pengikut-pengikutnya. Setelah itu kemudian ia membebaskan kakeknya (Ugrasena) , dari penjara. Ia menjadi pangeran.
Krishna di Mahabharata
Krishna mengambil peranan penting dalam kisah Mahabharata, ia juga merupakan kerabat dari Kunti. Ketika Yudhistira melaksanakan penobatan menjadi raja (Rajasuya), ia memberikan hadiah kepada orang orang yang paling dihormatinya dan menurut pendapat Bhisma, lebih baik yang pertama kali adalah kepada Krishna. Namun Sisupala tidak setuju dan terus menghina Krishna dengan hinaan bertubi tubi, karena krishna sudah bersumpah dia tidak akan membalas hinaan leh sisupala hingga ke 100 kali kepada ibu sisupala, krishna diam saja hingga cacian yang ke 100 kali baru ia mengeluarkan senjata cakram nya dan menebas kepala sisupala. Peran Krishna di Mahabharata kemudian menjadi penting terutama dalam pendamaian dan perang di Kurukshetra. adapun beberapa poin strategi Krishna dalam perang tersebut ialah:
1. Menjadi juru damai antara Pandawa dan Kurawa, namun gagal, kemudian ia menawarkan kepada Pandawa dan Kurawa, manakah yang akan dipilih, dia atau tentaranya, kemudian Pandawa memilih Krishna dan Kurawa memilih tentara Krishna.
2.Membangkitkan daya juang Arjuna, karena arjuna merasa tidak tega untuk melawan saudaranya dan kakeknya (Bhisma yang berada di pihak kurawa). Bagian ini menjadi kitab sendiri bernama Bhagavad Gita
3.Membantu membunuh Bhisma, Karena arjuna tidak kuat untuk membunuh Kakeknya maka Krishna mengatur siasat untuk mengalahkan Bhisma
4.Membantu menglahkan Drona (Durna) dengan menggunakan siasat agar Yudhistira mengatakan bahwa anak drona telah mati.
5.Membantu mengalahkan Duryodana.
Hampir seluruh siasat dan taktik dalam perang di Kurukshetra disiasati oleh Krishna. Hal ini mengantarkan para Pandawa meraih kekuasaannya kembali di Hastina. Menurut sejarahnya yang panjang dan penuh epik, krishna sebagai avatara wisnu telah membuat semaam sekte tersendiri dalam hindu, yang bernama Vaisnawa. Sekte ini mementingkan peada pemujaan Wisnu dan Krishna. Sehingga dapat dikatakan bahwa avatar ini merupakan avatar yang memiliki riwayat terlengkap dan pemujaan tersendiri dalam bentuk avatara nya.


9. Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
Buddha meditating.jpg
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu.
Awatara Wisnu yang kesembilan dalam daftar Dasa Awatara adalah seorang yang disebut Buddha. Kata “Buddha” ini kemudian merujuk kepada seorang bekas pangeran Kapilawastu bernama Siddharta Gautama yang kemudian dikenal luas karena mendirikan Buddhisme. Awatara satu ini memicu banyak ‘kontroversi’, baik saat beliau masih hidup maupun saat beliau sudah mangkat. Buddha Awatara juga awatara Wisnu yang berusia paling pendek di antara awatara lainnya (hanya 80 tahun).
Dalam pembahasan ini akan menggunakan riwayat 'gabungan' baik dari sudut pandang Buddhisme maupun Hinduisme. Di Buddhisme, Buddha pada awalnya hanya manusia biasa yang kemudian mencapai pencerahan. Dewa-dewa ada, tapi mereka benar-benar entitas yang terpisah dengan para Buddha. Sementara di Hinduisme, Buddha adalah awatara Wisnu.
(Pembahasan tentang Buddha Awatara ini mungkin agak sedikit ‘kontroversial’ jadi mohon maaf bila ada yang kurang berkenan.)
Siddharta adalah putra Ratu Maha Maya dan Raja Suddhodana dari Kerajaan Kapilawastu. Saat mengandung Siddharta, Ratu Maya sudah berusia 45 tahun dan selama masa kehamilannya, sang ratu sempat bermimpi dirinya ditemui seekor gajah putih yang kemudian merasuk ke dalam rahimnya. Para brahmana kemudian dipanggil untuk mengartikan mimpi itu dan mereka berpendapat bahwa bayi yang dikandung sang ratu kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha (yang tercerahkan).
Ketika usia kandungannya sudah mencukupi (konon Ratu Maya mengandung Siddharta selama 10 bulan), Ratu Maya pulang ke rumah orangtuanya di Devadaha – sebagaimana tradisi pada masa itu lebih menyukai seorang calon ibu melahirkan di rumah orangtuanya. Di tengah jalan mereka beristirahat di Taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) dan saat itu Ratu Maya turun dari tandu dan berjalan-jalan di sekitar taman.
Tiba-tiba perut sang ratu berkontraksi dan para dayang segera membuat tirai di sekeliling sang ratu kemudian lahirlah Siddharta. Konon Siddharta lahir saat sang ratu dalam posisi berdiri, bisa langsung berjalan dan berbicara.
Dan konon pula, bersamaan dengan kelahiran Siddharta, juga lahir pula :
• Yasodhara, yang kelak menjadi istri Siddharta,
• Ananda [Anak dari Amitodana, saudara termuda Raja Suddhodana], yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha selama 25 tahun,
• Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha,
• Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha,
• Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilawastu,
• Pohon Bodhi, yang kelak akan menjadi tempat bagi Pangeran Siddhattha untuk mendapatkan Penerangan Agung,
Ratu Maya sendiri wafat tujuh hari setelah persalinannya.
Sebagai pengganti Maha Maya, Suddhodana kemudian menikahi adik Maya yang bernama Prajapati Gotami. Prajapati inilah yang kemudian menjadi sosok ‘ibu’ yang mengasuh Siddharta. Pada masa balita ini, sejumlah pertapa datang berkunjung ke istana Suddhodana, salah satunya bernama Asista. Brahmana Asista kemudian meramalkan bahwa Pangeran Siddharta takkan menjadi raja. Setelah menyaksikan orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang Brahmana/Pertapa, Siddharta akan meninggalkan istana dan menjadi rahib.
Suddhodana ketakutan setengah mati mendengar ramalan itu. Meskipun dengan Prajapati ia memiliki putra bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari, ia tetap lebih suka Siddharta yang jadi raja. Maka Suddhodana memerintahkan Siddharta dijaga dan diasuh secara ketat. Ia tak boleh menyaksikan ‘penderitaan’ dan setiap kali Siddharta keluar istana, Raja akan memerintahkan rakyat untuk membersihkan jalan, memakai pakaian terbagus, dan bersorak-sorai gembira seolah tidak ada masalah (walau mungkin mereka punya masalah).
Dalam masa-masa remajanya, Siddharta banyak bergaul dengan binatang-binatang di sekitar istana. Sifatnya yang simpatik dan welas asih membuat binatang-binatang tidak takut pada Siddharta.
Siddharta juga pernah menyelamatkan seekor ular yang hendak dipukul seorang anak kota serta menyelamatkan seekor angsa yang sempat kena panah sepupunya : Devadatta.
“Dalam kehidupanku yang sudah-sudah, aku dan Yasodhara selalu menjadi pasangan.”
(Siddharta Gautama)
Perenungan pertama Siddharta tentang penderitaan adalah ketika ia melihat semacam rantai makanan. Semut dimakan kadal, tiba-tiba ular memakan kadal, baru sebentar juga, ada burung elang menyambar si ular. Dari situ Siddharta mulai berpikir tentang kesenangan makhluk hidup yang rata-rata cuma sesaat.
Sejak saat itu Siddharta sering ditemukan para dayang tengah duduk bersila, bermeditasi, dan tidak terganggu dengan keriuhan lingkungan sekitarnya. Raja Suddhodana yang dilapori hal itu tidak ingin anaknya berpikir hal-hal yang mendalam mengenai kehidupan. Ia ingat bahwa orang-orang bijak (Bramana/Pertapa) telah memprediksikan bahwa anaknya akan meninggalkan istana dan menjadi seorang rahib.
Jadi, untuk mengalihkan perhatiannya, sang raja kemudian mendirikan sebuah istana yang megah. Raja memerintahkan untuk membuat tiga kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Upala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma), dan satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika).
Selain tiga kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup kepala dari negara Kasi, yang terkenal sebagai penghasil barang-barang bermutu terbaik. Tari dan musik dimainkan tanpa henti di istana itu. Tetapi itu tidak menghentikan Pangeran Siddharta dari pemikiran mengenai penderitaan dan ketidakbahagiaan yang terjadi disekitarnya.
Pada usia 16 tahun, Raja Suddhodana menyarankan Siddharta untuk mencari istri. Kebetulan di Kerajaan Koliya, ada sayembara untuk memperebutkan Putri Yasodhara. Siddharta memenangkan sayembara memanah, dan meruntuhkan sebuah pohon dengan sabetan pedang. Tapi ada 2 orang lagi yang bertanding dengannya di sayembara akhir : menunggangi kuda liar. Dua lawannya jatuh terjerembab karena kuda itu terus berontak, tapi dengan kelemahlembutannya, Siddharta berhasil menjinakkan kuda itu. Yasodhara pun resmi menjadi pasangannya.
Yasodhara dan Siddharta pun menikah, tapi hati Siddharta tetap saja gundah setiap kali memikirkan tentang penderitaan hewan-hewan (rantai makanan) yang pernah ia jumpai. Karena itu ia kemudian memutuskan keluar istana dengan sembunyi-sembunyi bersama Channa – kusirnya, dan di luar sana (tanpa persiapan khusus ayahnya) ia melihat empat tanda. Ia melihat orangtua yang jalannya terbungkuk-bungkuk dengan menggunakan tongkat dan Siddharta pun mulai ketakutan ketika Channa menjelaskan bahwa tidak ada obat untuk mencegah usia tua. Ia kemudian bertemu seorang pria bertubuh kurus kering yang terbaring di jalanan dan mengeluh sakit, Channa menjelaskan bahwa pria itu tengah sakit dan sakit selalu akan datang pada tiap orang tak terkecuali pada raja atau seorang pangeran macam Siddharta sekalipun. Kemudian mereka bertemu serombongan orang yang tengah memikul tandu jenazah dan kembali Siddharta menanyakan apa tidak ada obat untuk kematian, Channa kembali menjawab bahwa kematian itu tak terelakkan. Setelah itu Siddharta bertemu dengan seorang brahmana dan Siddharta dibuat terpesona oleh ketenangan sang brahmana menghadapi ‘dunia nyata’. Dalam hati Siddharta mulai memupuk keinginan untuk menjadi rahib.
Siddharta kemudian kembali ke istana, tapi keputusannya untuk menjadi rahib harus ia urungkan karena Yasodhara dikabarkan tengah hamil. Ketika Yasodhara melahirkan, dari mulut Siddharta terucap kalimat, "Belenggu terlahir, ikatan terlahir." Karena ucapan ini maka putranya dinamai Rahula, yang artinya belenggu / beban.
Di usianya yang ke-29, Siddharta mulai menjauhi aneka hiburan terutama tari-tarian. Ayahnya kemudian merasa amat khawatir kalau-kalau niat anaknya menjadi pertapa sudah mulai muncul. Benar saja, begitu diminta jujur, Siddharta menjawab bahwa ia memang ingin menjadi pertapa untuk mencari jawaban, mencari obat untuk menyembuhkan segala penyakit, usia tua, kematian, dan terutama penderitaan. Tapi kalau Raja Suddhodana punya obat untuk itu semua, ia takkan meninggalkan istana. Raja Suddhodana jelas tidak bisa memenuhi keinginan Siddharta tapi ia juga tidak mau anaknya pergi. Karena itu malam harinya Siddharta merencanakan sebuah rencana untuk kabur.
Malam itu, ia meninggalkan Yasodhara dan Rahula yang masih terlelap, membangunkan Channa lalu pergi dari istana. Dari situ ia menuju Magadha, kemudian ia memotong rambutnya, melepas segala atribut kebangsawannanya dan menyuruh Channa kembali ke Kapilawastu untuk mengembalikan benda-benda itu pada ayah dan istrinya. Siddharta sendiri kemudian mengembara dan mulai hidup sebagai rahib peminta-minta (sekarang tradisi meminta makanan ini masih dilakukan oleh para bhikku dengan nama Pindapata). Ia juga berguru kepada banyak brahmana, namun brahmana-brahmmana inipun tidak bisa menjawab pertanyaannya mengenai kebebasan dari samsara (penderitaan).
Siddharta kemudian mencoba cara lain seperti Tapabrata, bertapa tanpa makan dan minum untuk waktu yang lama sambil berjemur di panas terik saat siang atau berendam di sungai waktu malam. Di kisah-kisah Weda dan Purana, para pelaku tapabrata kadang berakhir sebagai ‘tulang-belulang yang dihinggapi arwah penasaran’ sampai dewa datang memulihkan raga para pelaku tapa. Dalam kasus Siddharta, itu tidak terjadi :3 . Ia malah nyaris tewas kalau tidak ditolong seorang anak gembala yang memberinya susu kambing karena tubuhnya sudah sedemikian kurusnya. Para brahmana ortodox pada zaman itu menolak bersentuhan dengan Sudra, tapi Siddharta tidak mau seperti itu. Hal ini diperparah setelah Siddharta menerima pemberian bubur susu dari seorang anak petani bernama Nandabala dan ibunya Sujata. Siddharta kemudian mulai makan teratur sampai kesehatannya pulih dan para teman-teman brahmananya kemudian men"cap"nya sebagai orang rakus lalu mulai menjauhinya.
Setelah kesehatannya pulih, Siddharta mulai kembali bermeditasi, kali ini di bawah pohon bodhi (Ficus religiosa). Kali ini prinsip Siddharta adalah  mengabaikan segala gangguan luar dan mengabaikan semua pemikiran duniawi. Bukan perkara mudah sebenarnya, karena ada banyak imajinasi-imajinasi duniawi melintas di kepalanya dan ada juga ... Mara.
“Dengan seribu tangan, yang masing-masing memegang senjata
Dengan menunggang gajah Girimekkhala,
Mara bersama pasukannya meraung menakutkan
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan dana dan paramita yang lainnya
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna.”
Mara adalah sosok makhluk personifikasi dari nafsu duniawi. Sebagian bhikku menganggap bahwa Mara tidak nyata, hanya sebuah personifikasi tapi sebagian lagi mengganggap Mara adalah makhluk supranatural yang benar-benar ada. Dikisahkan Mara meneror Siddharta dengan pasukannya yang terdiri dari sekumpulan makhluk mengerikan, tapi Siddharta tidak gentar. Mara kemudian mencoba mengirimkan putrinya yang menyamar sebagai Yasodhara tapi gagal juga, pada akhirnya Mara benar-benar ‘marah’ dengan menyerang langsung Siddharta dengan senjatanya tapi akhirnya gagal. Senjatanya hancur, gajah tunggangannya malah berlutut di depan Siddharta dan seluruh dewa-dewa kahyangan malah turun dan siap menghajarnya. Mara pun akhirnya menghilang. untuk sementara waktu, dan Siddharta telah menjadi seorang Buddha, di usianya yang ke-35 tahun.
Setelah menjadi Buddha, Siddharta bertemu dengan lima rekannya yang dulu sempat menjulukinya pertapa rakus. Kelima brahmana ini dibuat terkejut dengan penampilan Siddharta yang ‘berbeda’ dan bertanya kepada siapa Siddharta berguru. Siddharta menjawab bukan dengan siapa-siapa selain dirinya sendiri. Ia memproklamirkan dirinya sebagai seorang Buddha dan mengajak lima orang rekannya itu membentuk sangha (persaudaraan).
Sangha ini mulanya hanya terdiri dari 6 orang, namun lama kelamaan berkembang menjadi banyak. Sang Buddha kemudian mengajari para bhikku ini delapan jalan untuk melenyapkan penderitaan :
1. Pengertian Yang Benar (sammä-ditthi)
2. Pikiran Yang Benar (sammä-sankappa)
3. Ucapan Yang Benar (sammä-väcä)
4. Perbuatan Yang Benar (sammä-kammanta)
5. Pencaharian Yang Benar (sammä-ajiva)
6. Daya-upaya Yang Benar (sammä-väyäma)
7. Perhatian Yang Benar (sammä-sati)
8. Konsentrasi Yang Benar (sammä-samädhi)
Dan Pancasila (bukan Pancasila dasar negara Republik Indonesia) sebagai sumpah moralnya :
1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
2. Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan)guna mencapai samadi.
3. Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga)guna mencapai samadi.
4. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar /berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong (nilai kejujuran)guna mencapai samadi.
5. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan)guna mencapai samadi.
Mereka yang telah mencapai kesempurnaan (kesadaran) tertinggi setelah Buddha disebut telah mencapai arahat (kesempurnaan). Yang unik, murid kesayangan sekaligus asisten Buddha yakni Ananda, baru mencapati tahap arahat pasca wafatnya Sang Buddha.
Setiap nabi atau orang bijak selalu ‘dikasih’ pengkhianat. Yesus dengan Yudas Iskariotnya dan Buddha dengan Devadatta.
Kali ini Devadatta kembali lagi, awalnya sebagai seorang bhikku, murid Sang Buddha, tapi kemudian Devadatta yang awalnya sudah arogan, sangat cemburu karena tidak diberi ‘jabatan’ penting. Buddha malah menunjuk dua orang bhikku yang masih baru bernama Sariputta dan Moggallana untuk menjadi pengikut utamanya (calon penerus). Karena itu Devadatta pun meninggalkan Sangha (komunitas para Bhikkhu dan Bhikkhuni) dan berteman dengan pangeran Ajatasattu, anak dari Raja Bimbisara. Sang pangeran membangun sebuah vihara pribadi untuk Devadatta. Devadatta kemudian membujuk pangeran untuk membunuh ayahnya, Raja Bimbisara, agar sang pangeran dapat menjadi raja. Sang pangeran mengikuti skema jahat Devadatta dan tidak memberi ayahnya makan hingga tewas lalu Ajatasattu menjadi raja.
Karena sekarang Devadatta merasa sangat berkuasa karena raja yang baru adalah teman dan pendukungnya, ia memutuskan untuk membunuh Sang Buddha untuk mengambil alih sangha. Suatu malam, ketika Sang Buddha sedang berjalan di bukit berbatu, Devadatta mendorong jatuh sebuah batu besar untuk membunuh Sang Buddha. Tetapi batu itu tiba-tiba terpecah-bilah dan hanya sebagian kecil dari batu itu yang tajam yang melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kembali ke vihara dan dirawat oleh seorang tabib terkenal, Jivaka.
Untuk mengesankan para Bhikkhu dan Bhikkhuni lain dan juga mengganggu Sangha, Devadatta meminta Sang Buddha untuk membuat peraturan (tata krama) yang lebih ketat untuk Sangha. Devadatta meminta agar para Bhikkhu tidak diijinkan tidur di rumah atau makan daging. Tetapi Sang Buddha menolak proposal Devadatta. Sang Buddha berkata: "Jika beberapa Bhikkhu hendak tidur di luar rumah atau tidak memakan daging, mereka bebas melakukannya. Tetapi jika mereka tidak ingin hidup dalam cara demikian, mereka juga tidak harus melakukannya." Akhirnya, Sang Buddha berkata:
"Devadatta, jika kamu ingin memecah Sangha, kamu akan memetik buah kejahatan."
(Buddha Gautama)
Devadatta mengabaikan peringatan Sang Buddha, dan pergi memimpin sekelompok Bhikkhu dan membuat dirinya pemimpin dari kelompok Bhikkhunya. Suatu hari, ketika Devadatta sedang tidur, pengikut utama Sang Buddha yang bernama Sariputta datang dan memperingati para Bhikkhu mengenai konsekuensi dari tindakan jahat. Para Bhikkhu itu kemudian menyadari kesalahan mereka dan kembali kepada Sang Buddha. Bagaimanapun juga, banyak diantara mereka telah dibawa pulang kembali oleh Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera. Kemudian, Devadatta jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama sembilan bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana.
Mendengar kabar bahwa Devadatta akan tiba, Sang Buddha berkata kepada murid-murid-Nya, bahwa Devadatta tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk menemui-Nya. Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah.
Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi. Devadatta tidak memiliki kesempatan untuk melihat Sang Buddha, karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan terhadap Sang Buddha. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici (Avici Niraya), tempat yang penuh dengan penyiksaan terus menerus.
“Sudilah Yang Terberkahi sekarang mencapai Nibbāna akhir, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan sekarang mencapai Nibbāna akhir. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir.'
Setelah hal ini diucapkan, Sang Bhagava berkata kepada māraṃ pāpimantaṃ (Mara papima): "Pāpima, jangan kau menyusahkan dirimu. Saat parinibbana Sang Tathagata belum tiba, tiṇṇaṃ māsānaṃ accayena (tiga bulan lagi) Sang Tathagata akan Parinibbana.”
(Mahaparinibbana Sutta)
Usia tua Buddha Gautama sama seperti orangtua pada umumnya. Ketahanan tubuhnya sudah tidak bagus dan aneka penyakit sering menyerang dirinya. Itu masih belum ditambah gangguan dari Mara, yang bolak-balik membujuknya untuk segera paranibbana (meninggalkan dunia). Meski begitu, Buddha Gautama tetap berkotbah dan mengajar dengan dibantu oleh Ananda – bhikku asistennya yang paling setia. Ia juga menyempatkan diri melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang jauh untuk mengajar meski usianya tidak muda lagi.
“Aku telah mambabarkan kebenaran tanpa perbedaan apa pun; karena demi kebenaran, tidak ada yang disembunyikan dalam ajaran Buddha... Adalah mungkin, Ananda, bahwa beberapa di antara kamu, akan timbul pikiran, 'Kata-kata Sang Guru akan segera berakhir; sebentar lagi kita tidak akan memiliki seorang guru.' Tapi jangan berpikir seperti itu, Ananda. Bila Aku telah pergi, ajaran dan aturan disiplin-Ku-lah yang akan menjadi gurumu.”
(Mahaparinibbana Sutta)
Tiga bulan sebelum kematiannya, Buddha Gautama mengumpulkan semua bhikku untuk menyampaikan pesan-pesan terakhirnya. Ia mengumpulkan para bhikku di suatu tempat di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Buddha pun Parinibbana.
Ajaran Buddha kini dikenal sebagai salah satu religi dengan pengikut lumayan besar dan disebut Buddhisme. Saat ini di dunia ada beberapa mazhab Buddhisme yakni :
1. Theravada – terutama tersebar di Asia Tenggara.
2. Mahayana – dulu merupakan agama dominan di Sumatra pada zaman Sriwijaya dan di Jawa pada masa Mataram Kuno. Saat ini rata-rata pengikutnya ada di India dan Sri Lanka.
3. Tantrayana / Vajrayana – penganutnya tersebar di Nepal dan Tibet.
4. Zen – biasanya ada di Jepang, termasuk mazhab unik karena mengizinkan biksunya berumahtangga tanpa harus melepas jubah.
==DALAM AGAMA HINDU==
“Di masa ini, Zaman Kali (kegelapan), Dewa Wisnu menjelma sebagai Gautama, seorang Shakyamuni, dan mengajarkan dharma Buddha selama sepuluh tahun. Kemudian Shuddhodana memerintah selama dua puluh tahun, dan Shakyasimha selama dua puluh tahun. Pada tahap pertama Zaman Kali, jalan Weda telah dihancurkan dan seluruh orang menjadi umat Buddha. Orang-orang yang mencari perlindungan kepada Wisnu telah menjadi sesat.”
(Bhagavata Purana, 1 : 3)
Para brahmana ortodox cenderung akan menerjemahkan teks di atas secara harafiah dengan mengatakan bahwa Wisnu menjelma menjadi Buddha untuk menyesatkan manusia. Tapi brahmana yang lebih moderat mengatakan bahwa kehadiran Buddha Awatara adalah untuk menyelesaikan ‘reformasi’ yang dibawa oleh Kresna Awatara.
Kresna sendiri ‘agak tidak setuju’ dengan sistem caturwarna yang sering disebut juga sebagai kasta. Sistem ini pada awalnya ditujukan untuk menggolongkan masyarakat sesuai profesi dan perannya yakni brahmana (para guru dan cendikia), kesatria (para elit pemerintahan dan prajurit), waisya (pedagang, peternak, petani yang memiliki lahan), dan sudra (para pegawai). Namun setelah sekian lama kaum brahmana dan kesatria meng-elit-kan diri dan mulai bersikap tidak menyenangkan kepada dua kasta lainnya. Kresna sendiri tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu namun apa yang dia sampaikan dalam Bhagawad Gita belum terlalu berefek luas sehingga dalam kesempatannya menjadi Buddha, ia hendak menyelesaikan ‘reformasi’ itu.
Buddha Awatara sendiri adalah satu-satunya awatara yang benar-benar konsisten menjalankan prinsip ahimsa – tanpa kekerasan – seumur hidupnya.
Penetapan Buddha sebagai awatara banyak mengundang kontroversi. Tidak hanya dari para brahmana dan umat Hindu ortodox, tapi juga dari para bhikku Buddhis itu sendiri.
Tahun 1999, dalam forum Masyarakat Maha Bodhi (Masyarakat Buddha Asia Selatan), para bhikku dan brahmana yang berkumpul di sana mengeluarkan tiga fatwa :
• Karena alasan tertentu beberapa sastra yang ditulis di India pada zaman dahulu menganggap Buddha sebagai reinkarnasi Wisnu dan berbagai anggapan keliru mengenai Beliau, hal ini sangat tidak menyenangkan. Dalam upaya mengembangkan hubungan yang lebih akrab antara umat Hindu dan Buddha kami memutuskan bahwa apapun yang terjadi pada masa lalu mesti dilupakan dan keyakinan tersebut tidak boleh disebarkan.
• Untuk menghapus kekeliruan ini selamanya, kami mengumumkan bahwa baik Weda maupun Samana merupakan tradisi kuno di India (Wisnu termasuk tradisi Weda sedangkan Buddha termasuk tradisi Samana). Usaha yang dilakukan suatu tradisi untuk menunjukkan bahwa ia lebih mulia dibandingkan tradisi lainnya hanya memupuk kebencian dan sakit hati antara keduanya. Maka dari itu hal tersebut tidak boleh dilakukan untuk selanjutnya dan dua tradisi harus saling menghormati dan menghargai.
• Siapa pun mampu mencapai derajat tinggi di masyarakat dengan cara melakukan perbuatan baik. Seseorang mendapat derajat yang buruk di masyarakat jika melakukan perbuatan buruk. Maka dari itu siapa pun yang melakukan perbuatan baik dan melenyapkan niat kotor seperti nafsu, amarah, kebodohan, ketamakan, kecemburuan, dan ego dapat mencapai derajat tinggi di masyarakat dan menikmati kedamaian dan kebahagiaan.
Pasca fatwa ini keluar, banyak brahmana yang mengganti ajarannya mengenai Dasa Awatara. Awatara kedelapan diganti dengan Balarama (Baladewa) Awatara sementara Awatara Kesembilan diganti dengan Kresna Awatara.
==BUDDHISME DI NUSANTARA==
Di Nusantara abad 13-15, Buddhisme Mahayana berkembang pesat, berdampingan dengan Hindu Siwa. Tapi dua hal yang berbeda biasanya sedikit banyak pasti akan berkonflik dan untuk meredam konflik itu, seorang pujangga bernama Mpu Tantular mengusulkan sebuah slogan pendekatan dalam Kakawin Sutasoma : “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Terpecah belah tapi satu jua, sebab tak ada dharma – kebenaran – yang mendua).
Teks lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Terjemahan (versi Dr Soewito Santoso):
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.”
Semenjak itu Hindu Siwa – Buddhisme dianggap sebagai dua sekte berbeda dalam satu religi yang sama. Kedekatan ini kemudian melahirkan sebuah agama sinkretis bernama Siwa-Buddha di mana masih ada pemujaan terhadap dewa-dewi namun prinsip-prinsip Buddhisme ada di dalam ajarannya. Siwa-Buddha sering disebut ‘Buda’ saja.
Pasca kemerdekaan Indonesia dan pemerintahan Presiden Soekarno mengadakan sensus penduduk. Penduduk Tengger mengaku diri beragama ‘Buda’ dan sampai tahun 1960-an kesalahpahaman bahwa mayoritas penduduk Tengger beragama ‘Buddha’ masih terus berlangsung. Baru setelah pemerintahan berganti, para pemuka agama dari 5 agama berunding dan memutuskan bahwa mayoritas masyarakat Tengger punya tatacara beribadat yang cenderung mirip dengan agama Hindu.
Sisa-sisa penganut Siwa-Buddha juga masih bisa kita temukan di desa Budakeling, Bali. Prinsipnya secara sederhana begini : di sini ada rupang (arca) Buddha Gautama dan rupang (arca) Dewa Siwa. Berdua mereka sama-sama dipandang sebagai manifestasi Yang Maha Esa. Silakan sembahyang di depan rupang yang mana saja, tidak masalah.
• Pada saat ini, mayoritas penganut Buddhisme di Indonesia (40-60%) adalah Buddha mazhab Theravada.
• Ada perbedaan besar antara kata ‘Buda’, ‘Budha’, dan ‘Buddha’. Buda adalah agama sinkretis Hindu Siwa dan Buddhisme, Budha adalah nama dewa dalam agama Hindu, sementara Buddha sendiri adalah gelar Siddharta Gautama sekaligus nama ajarannya.
• Buddha adalah satu-satunya awatara yang secara teguh memegang prinsip ‘ahimsa’ – tanpa kekerasan. Ia hanya diketahui pernah satu kali marah, yakni kepada Devadatta saat Devadatta hendak memecah Sangha.
• Meski ditunjuk sebagai penerus, Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera meninggal lebih dulu daripada Buddha.

10. Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
KalkiAvatara.jpg
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: कल्कि; IAST: Kalki; juga ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu kesepuluh sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Setelah itu, menjelang pergantian dua yuga (Kali Yuga dan Satya Yuga),
Tuhan Pencipta alam semesta akan menjelma sebagai Kalki dan
menjadi putra Vishnuyasha. Pada waktu itu, para penguasa di bumi
ini telah merosot menjadi perampas semata." (Bhagavata-purana, 1.3.25)

Kalki diramalkan akan lahir pada akhir masa Kali Yuga. sesuai dengan kepercayaan Sanatana Dharma (Hinduisme) soal siklus yang selalu berulang, Kali Yuga (Zaman Ketidakbenaran) akan kembali berganti menjadi Satya Yuga (Zaman Keemasan) dan adalah tugas Kalki untuk merestorasi zaman Kali menjadi zaman Satya.

Kalki diramalkan akan lahir di sebuah tempat bernama Shambala. Apakah ini adalah nama tempat yang sudah ada ataukah tempat ini belum ada, tidak bisa dipastikan. Orangtua Kalki sendiri diramalkan akan bernama Vishnuyasha, seorang brahmana. Hampir semua Raja/Kepala/Pejabat negara, adalah orang-orang tidak beradab. Mereka serakah, berwatak keras dan pemarah, mengabdi pada kepalsuan dan kebatilan. (cocok pada jaman sekarang)
(Bhagavata Purana 12.1.38).

Dalam Brahmā-Vaivarta Purāṇa (Prakṛtī Khaṇḍa, Bab 7.60, Ayat 58-59) tentang bagaimana kondisi menjelang akhir Zaman Kaliyuga dan apa saja kegiatan dan tujuan kedatangan Kalki:
"Pada saat itu akan ada kekacauan di bumi. Di mana-mana ada pencuri dan perampok. Pada saat itu, di rumah brāhmaṇa bernama Viṣṇuyaśa, Tuhan Śrī Nārāyaṇa akan muncul dalam salah satu ekspansi kekal-Nya dalam wujud Kalki yang Agung sebagai putra brāhmaṇa itu. Dengan mengendarai seekor kuda yang gagah dan memegang pedang di tangan-Nya, Dia akan membinasakan semua mleccha (orang-orang licik, egois dan tidak beradab) di muka bumi. Demikianlah bumi akhirnya bebas dari para mleccha dan setelah itu Tuhan akan menghilang kembali ke kediaman-Nya."

Dalam ayat-ayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa Tuhan Kalki akan datang sebagai penegak hukum atau ksariya. Pada masa itu bumi akan dipenuhi orang-orang yang tidak mengerti logika dan kitab suci. Mereka terlalu bodoh dan dungu, tidak bisa diajarkan pengetahuan rohani tentang tujuan sejati kehidupan. Mereka tidak dapat mengerti apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara hidup yang benar. Karena itu, mereka pasti tidak bisa mengubah cara hidup mereka karena kebodohan yang sangat kasar. Karena itu, Tuhan Kalkideva tidak muncul untuk mengajari manusia tentang prinsip-prinsip agama namun hanya untuk menghukum, membinasakan dan membersihkan bumi dari para penjahat. 

Segala sesuatu akan menjadi sangat buruk ketika Zaman Kali terus berlanjut. Bumi akan menjadi seperti salah satu planet neraka di mana setiap makhluk yang dilahirkan akan ditakdirkan untuk menderita. Ada korupsi dalam pemerintahan dan para pelindung negara sehingga mereka tidak lebih baik daripada pencuri. Rakyat tidak akan mendapatkan perlindungan pemerintah. Mereka akan menjadi korban kejahatan tanpa perlindungan. Setiap orang akan bertengkar. 
Dunia akan berubah menjadi medan pertempuran dan ladang pertengkaran yang terjadi terus-menerus (persis seperti yang terjadi di Bali saat ini, Zaman Kali yg baru berlangsung kurang lebih 5.000 tahun saja sudah begini keadaan dunia, apalagi nanti). Pada akhirnya, setelah 432.000 tahun sejak awal Zaman Kali (3108 sebelum Masehi), Sri Visnu akan muncul dalam inkarnasi-Nya sebagai Penghukum Tertinggi, Kalki.
 
Bahkan mereka yang dikenal sebagai golongan dvijati yang lahir dua kali secara rohani kehilangan sifat-sifat yang baik, tidak beretika dan sibuk melayani golongan rendah yang biadab dan bodoh.” Ini berarti bahwa orang-orang yang tekun dalam rohani terpaksa melayani mereka yang memiliki kekayaan untuk bertahan hidup. Uraian tentang kaum brāhmaṇa yang merosot di masa depan dijabarkan lebih lanjut dalam Bab 1 Kalki Purāṇa:
Kutarka vāda vahulā dharma vikayino’ dhamaḥ |
veda vikayino’ brātva rasa vikrayinas tahtā || 1.25 ||
māṁsa vikrayinaḥ krūraḥ śiśnodara-parāyaṇāḥ |
paradara rata matta varṇa saṅkara kārakaḥ || 1.26 ||
hṛśvākaraḥ pāpasāraḥ satha mata nivasinaḥ |
ṣodaśābdāyuṣaḥ śyāla bandhavā nicasaṅgamaḥ || 1.27 ||
"Jiwa-jiwa yang jatuh ini gemar mendiskusikan argumentasi yang kering, dan mereka menggunakan agama sebagai mata pencaharian, mengajarkan Veda sebagai profesi untuk mencari uang. Mereka jatuh dari standar pelaksanaan tirakat-tirakat suci. Mereka menjual anggur dan hal-hal menjijikkan lain termasuk daging. Mereka bertabiat bengis, dan selalu ingin memuaskan nafsu perut dan kelamin. Karena hal ini, mereka memburu istri orang lain dan selalu dalam keadaan mabuk. Mereka tidak dilahirkan dari pasangan ayah-ibu yang menikah dengan benar, dan ukuran tubuh mereka pendek namun selalu melakukan perbuatan berdosa, misalnya menipu. Mereka umumnya tinggal di tempat keramat, dengan usia hidup hanya enam belas tahun, bergaul dengan orang-orang buangan, dan hanya menganggap saudara ipar laki-lakinya sebagai teman dan keluarga."

Kalki akan menunggangi kuda putih bernama Devadatta dan dengan astra berwujud pedang, pemberian Siwa, Kalki akan melakukan hal yang agak mirip dengan Parasurama : pembantaian massal. Bedanya yang ia bantai sekarang bukan hanya raja-raja, tapi juga orang-orang batil dari golongan lainnya (brahmana juga termasuk).

Konon jiwa-jiwa yang dibunuh oleh Kalki akan langsung terbebas dan mencapai tingkat kesadaran yang umumnya dicapai pertapa setelah matiraga selama bertahun-tahun. Karena itu jiwa-jiwa yang dibunuh oleh Kalki tidak akan ‘diperam’ oleh Yama di Naraka melainkan langsung bersatu dengan Atman (Kesatuan Jiwa).

Pembantaian massal itu akan berhenti setelah nyaris seluruh penduduk muka bumi punah. Kalki hanya akan menyisakan sedikit orang benar untuk memulai abad baru. Ia sendiri akan menjadi raja di sebuah tempat dan setelah Kali Yuga benar-benar berakhir, Kalki akan kembali ke Vaikuntha.



Catursana
Vishnu and Four Kumaras.jpg
Catursana atau Caturkumara adalah empat putra Brahma dalam kitab-kitab Purana dalam agama Hindu, yang terdiri dari Sanaka, Sanatana, Sanandana dan Sanatkumara.
Mereka lahir dari pikiran Brahma. Mereka merupakan empat resi (orang suci) yang bersumpah untuk membujang selamanya (brahmacarya), bertentangan dengan kehendak ayah mereka.
Kitab Bhagawatapurana memasukkan Catursana ke dalam daftar dua belas Mahajana (pemuja terbesar atau bhakta) yang meskipun jiwanya sudah bebas dan kekal semenjak lahir, masih melakukan pelayanan kepada Wisnu dari keadaan mereka yang sudah tercerahkan. Meskipun usia mereka sudah tua, legenda mengatakan bahwa mereka berkelana di alam semesta dalam wujud anak kecil. Mereka memegang sejumlah peran penting dalam tradisi spiritual Hindu, khususnya yang berhubungan dengan pemujaan Kresna dan Wisnu.


Narada
Naradablij.jpg
Narada (Dewanagari: नारद; IAST: Nārada) atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai tambura, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.


Nara dan Narayana
Nara dan Narayana.jpg
Nara dan Narayana (Dewanagari: नर-नारायण; IAST: Nara-Nārāyaṇa) adalah sepasang dewa Hindu. Nara dan Narayana merupakan saudara kembar penjelmaan (awatara) Dewa Wisnu di bumi, bertugas sebagai penegak dharma atau kebenaran. Dalam konsep Nara dan Narayana, jiwa manusia Nara adalah pasangan yang kekal dengan Narayana Yang Mahasuci.
Wiracarita Hindu Mahabharata menyatakan Kresna sebagai Narayana sedangkan Arjuna - pahlawan dalam wiracarita tersebut - sebagai Nara. Legenda Nara dan Narayana juga diceritakan dalam kiab Bhagawatapurana. Umat Hindu percaya bahwa mereka tinggal di Badrinath, di mana kuil terpenting mereka berdiri di sana.
Pasangan Nara dan Narayana biasanya dipuja di kuil-kuil aliran Swaminarayan. Pengikut sekte tersebut percaya bahwa pendiri aliran tersebut (Swaminarayanan) adalah inkarnasi Narayana.


Kapila

Kapila (Dewanagari: कपिल ऋषि; IAST: Kapila ṛṣi) adalah orang suci Hindu yang dipercaya sebagai salah satu pendiri aliran filsafat Samkhya. Ia memiliki peran penting dalam kitab Bhagawatapurana, yang menampilkan versi teismedalam ajaran filsafat Samkhya. Cerita tradisional Hindu menyatakan bahwa ia merupakan keturunan Manu, cucuBrahma. Kitab Bhagawadgita menggambarkan Kapila sebagai yogi pertapa dengan siddhi, atau kekuatan spiritual, yang sangat tinggi.
Banyak detail tentang kehidupan Resi Kapila diceritakan dalam Buku 3 kitab Bhagawatapurana, di mana disebutkan bahwa orang tua beliau adalah Kardama Muni dan Dewahuti. Setelah ayahnya meninggalkan rumah, Kapila mengajari ibunya, Dewahuti tentang filsafat yoga dan pemujaan yang taat kepada Wisnu, sehingga Dewahuti mampu mencapai kebebasan (moksa). Ajaran Samkhya Kapila juga dituturkan oleh Kresna kepada Udawa dalam Buku 11 kitab Bhagawatapurana, bagian tersebut juga dikenal sebagai "Uddhawagita".


Dattatreya
Ravi Varma-Dattatreya.jpg
Menurut kepercayaan umat Hindu, Dattatreya (Sanskerta: दत्तात्रेय; Dattātréya) adalah seorang dewa yang merupakan penjelmaan dari Trimurti (tiga dewa utama), yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Dattatreya lahir sebagai putera Resi Atri dan Anasuya. Nama Dattatreya berasal dari kata datta dan atreya. Kata datta berarti "diberi", oleh karena Trimurti telah memberikan perwujudan sebagai putera Atri dan Anasuya. Kata atreya secara harfiah berarti "putra Atri".
Dalam tradisi Natha, Dattatreya dianggap sebagai awatara atau inkarnasi dari Dewa Siwa dan sebagai Adi-Guru (guru pertama) dalam tradisi Adinath Sampradaya. Di India, Dattatreya dipuja oleh berjuta-juta umat Hindu dan berbagai tradisi dilakukan untuk memuliakannya.


Yadnya

Yadnya (Dewanagari: यज्ञ; IAST: Yajña) atau Yadnyeswara ("Penguasa Yadnya") adalah salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu dalam agama Hindu. Ia adalah penguasa seluruh upacara dalam agama Hindu (yadnya). Ia menjabat sebagai Indra pada Manwantara pertama, era Swayambu Manu.


Resaba
Rishabha.jpg
Dalam agama Hindu, Resaba (Sanskerta: ऋसभ; Ṛṣabha) adalah salah satu awatara Wisnu yang disebut dalamPurana. Menurut kitab Purana, ia merupakan putra Nabi dan Maru, dan merupakan keturunan langsung dari Swayambu Manu, manusia pertama di dunia.
Resaba memiliki istri bernama Jayanti, putri Dewa Indra, dan menurunkan seratus putra. Putranya yang tertua bernama Barata. Sebagai awatara Wisnu, Resaba mengajarkan ilmu meditasi yang terbaik, bahkan ia mengajarkannya kepada orang yang sudah ahli dalam bidang meditasi. Ia juga mengajarkan ilmu cara memimpin rakyat dan kebijaksanaan kepada para putranya agar mereka tidak terjerat oleh ilusi dunia. Setelah Resaba wafat, Barata menggantikannya.


Pertu
King Prithu.jpg
Dalam ajaran agama Hindu, Pertu (Sanskerta: पृथु ; Pṛ(ri)thu) adalah salah satu awatara Wisnu Ia merupakan putra Wena. Ia menjadi suami Arcisa, dan bapak bagi Wijitaswa, Haryaksa, Dumrakesa, Wreka dan Drawina. Menurut legenda, Pertu dikenal sebagai raja yang agung dan bijaksana. Kejayaannya seperti Bharata. Kisahnya muncul dalam beberapa kitab Purana, seperti misalnya BrahmapuranaMatsyapurana, dsb.


Dhanwantari
Lord Dhanvantari.gif
Dhanwantari (Dewanagari: धन्वंतरी; IAST: Dhanvantari) adalah seorang awatara Wisnu menurut kepercayaan Hindu. Dia muncul dalam kitab Weda dan Purana sebagai tabib para dewa, dan ahli pengobatan menurut Ayurweda. Merupakan tradisi dalam agama Hindu untuk memuja Dhanwantari demi meperoleh kesehatan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sastra Hindu, seperti misalnya Purana mengatakan bahwa Dhanwantari muncul dari lautan susu saat para dewa dan asura mencari tirta amerta.
Menurut mitologi Hindu, Dhanwantari merupakan tabib/dokter India yang pertama dan salah satu dokter bedah pertama di dunia. Dia melakukan penyembuhan secara alami dengan sempurna dan dipercaya telah menemukan obat antiseptik dan obat pencegahan berbahan garam yang ia sertakan ketika menyembuhkan seseorang.


Mohini
Vishnu as mohini.jpg
Menurut kepercayaan Hindu, Mohini (Dewanagari: मोहिनी; IAST: Mohinī) adalah salah satu inkarnasi atau awatara Wisnu yang disebutkan dalam kitab Purana. Mohini berwujud gadis cantik. Dalam mitologi Hindu, Mohini muncul saat kisah pengadukan samudra susu. Dalam bahasa Sanskerta, kata Mohini secara harfiah bisa berarti "bunga melati".


Byasa
Resi Byasa dalam lukisan India modern.
Byasa (Sanskerta: व्यास; Vyāsa) (dalam pewayangan disebut Resi Abiyasa) adalah figur penting dalam agama Hindu. Ia juga bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda). Ia juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Ia adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabharata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam Mahabharata.


Hayagriwa
Lord Hayagriva.jpg
Dalam agama Hindu, Hayagriwa (Dewanagari: हयग्रीव; IAST: Hayagrīva) adalah awatara Wisnu yang berwujud manusia berkepala kuda. Dia disembah sebagai dewa pengetahuan dan kebijaksanaan, dengan tubuh manusia dan kepala kuda, berwarna putih cemerlang, dengan pakaian putih dan duduk di bunga teratai putih. Secara simbolis, mitos tersebut menggambarkan keunggulan pengetahuan sejati, yang dipandu oleh tangan Tuhan, mengatasi kekuatan negatif yang mengandung nafsu dan kegelapan.
Hayagriwa adalah dewa yang sangat penting dalam tradisi Waisnawa. Anugerah-Nya dicari ketika mengawali pembelajaran ilmu suci maupun ilmu sekuler. Ibadah khusus dilakukan pada hari bulan purnama di bulan Agustus (Srawana-paurnami) dan pada Mahanawami, hari kesembilan festival Navaratri. Ia juga dipuji sebagai "Hayasirsa", yang berarti "berkepala kuda".


Presnigarba
Presnigarba (Dewanagari: पृष्निगर्भ; IAST: Pṛṣṇigarbha) adalah salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu dalam agama Hindu. Ia merupakan putra Presni dan Sutapa. Awatara ini muncul di hadapan Druwa yang sedang bertapa. Ia menciptakan lapisan dunia yang disebut Druwaloka.


Angsa
Hamsa Avatar.jpg
Dalam agama Hindu, Angsa (Dewanagari: हंस; IAST: haṃsa) adalah salah satu awatara (inkarnasi) Wisnu yang disebut dalam kitab Bhagawatapurana. Angsa merupakan salah satu awatara yang muncul pada zaman Satyayuga atau zaman kebajikan. Angsa muncul sebagai awatara berwujud angsa yang memberi pengetahuan suci kepada Dewa Brahma dan para putra Beliau (Catursana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar