Jumat, 30 Desember 2016

KAJENG KLIWON

KAJENG KLIWON – Sang Tiga Bhucari

Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara (Umanis Pahing Pon Wage Kliwon) dengan Triwara (Pasah Beteng Kajeng) diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna. Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan sekalanya kita selalu berbuat trikaya parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia seimbang.

Dyah Maya Kresna rupanya putih kekuning-kuningan menjadi Sang Batur Kalika.
Sang Bajradhaksa menjadi bhuta ijo (berwarna hijau/Sang Bhuta Wilis)
Sang Bajrangkara menjadi bhuta abang (berwarna merah/Sang Kala Ranta). Itulah yang disebut Durgga Bhucari, Bhuta Bhucari dan Kala Bhucari. Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada;
Berwujud manusia

Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.
Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.

Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.

Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.

Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.

Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.

Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari.
Berwujud bagian tubuh manusia

Kumangmang : hanya terdiri atas kepala saja dengan rambut seperti menyala. Bertempat tinggal dilapangan terbuka, di tegalan, juga di semak-semak. Jalannya mengelinding seperti kelapa terbakar, muncul siang hari juga malam hari.

Lawean : berwujud badan manusia tanpa lengan tungkai dan kepala. Bertempat tinggal di semak belukar tetapi sering juga di rumah-rumah penduduk, muncul pada malam hari, kerap juga muncul siang hari.

Tangan-tangan : hanya terdiri atas tangan saja. Jalannya terbang melayang diudara. Bertempat tinggal dirumah penduduk, tempat yang kosong atau semak-semak. Muncul pada waktu malam hari kadang siang hari.

Enjek-pupu : terdiri atas paha sampai kaki, hanya sebelah tungkai saja tanpa badan. Kalau berjalan injakan tapak kakinya menimbulkan suara atau bunyi yang halus dan berirama, merindingkan bulu roma. Biasanya muncul malam hari, mengitari pekarangan rumah menyusuri tembok, bertempat inggal dirumah yang kosong.

Katugtug : terdiri hanya dari lutut ke bawah. Karena suara atau bunyi injakan kakinya yang khas, yakni tug-tug-tug, maka bhuta ini disebut katugtug. Biasanya muncul pada malam hari, tinggal dirumah yang kosong.
Berwujud kerangka manusia

Bhuta jenis ini disebut jerangkong yang terdiri dari rangka yang dapat bergerak, terutama malam hari tinggal ditempat rumah yang kosong.

Berwujud binatang
Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.
Banaspati-raja : berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.
Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selaluingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah).

Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit.

Sumber : kb.alitmd.com

UPACARA NYAMBUTIN / TIGA BULANAN DALAM AGAMA HINDU DI BALI

UPACARA NYAMBUTIN / TIGA BULANAN
DALAM AGAMA HINDU DI BALI

Nyambutin atau Nelu Bulanin atau "Tutug Sambutan" adalah upacara tiga bulanan (105 hari), penekanannya agar jiwatman sang bayi yang lahir tersebut benar-benar berada pada raganya. Upacara nyambutin ini juga sebagaimana disebutkan  termasuk dalam upacara manusia yadnya sebagai permohonan keselamatan dalam upaya peningkatan kehidupan spiritual menuju kebahagiaan di dunia ini.

Pelaksanaan upacara Nyambutin dalam adat dan kebudayaan, upacara nyambutin ini dipimpin oleh seorang Pemangku, upacara ini dilakukan di halaman rumah (ngatah), antara dapur dan rumah tengah dimana plasenta (ari-ari) si bayi di kubur, untuk sesajen (babaten) diletakan disebuah meja kecil. Sebelum upacara berlangsung, bayi dan orang yang mengikuti kegiatan upacara duduk dibelakang pimpinan upacara, lalu disiapkan daun dadap, benang dan kapas putih.

Urutan upacara dan symbol (niyasa) pada sebuah tentang : upacara tiga bulan dan otonan dalam babd bali dijelaskan sebagai berikut :
Ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
Nyama bajang dan kandapat "diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
Pada saat mecolongan, si Bayi natab banten bajang colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu kandapat (plasenta: ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom)
Si Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut "kotor" yang dibawa sejak lahir).
Si Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama (yang sesuai dengan nama khas nak Bali), dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.
Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
Si Bayi "mejaya-jaya" dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta.
Symbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan:
Regek yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai symbol Nyama Bajang;
Papah yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai symbol ari-ari,
Pusuh yaitu jantung pisang sebagai symbol getih,
Batu sebagai symbol yeh-nyom,
Blego sebagai symbol lamas,
ayam sebagai symbol atma,
sebuah periuk tanah yang pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan bayi,
lesung batu sebagai symbol kekuatan Wisnu,
pane symbol Windu (Hyang Widhi),
air dalam pane symbol akasa,
tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap symbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri).
Upacara otonan tiga bulanan ini juga disebutkan bertujuan untuk mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan.

Sumber: Media Hindu

Mantram Sesontengan

Mantram Sesontengan

Sesontengan adalah ucapan penganteb banten dengan kata-kata biasa sehari-hari yang dilakukan oleh para walaka yang belum mempelajari puja ataupun mantra.

Tegasnya sesontengan bukan mantra. Mantra adalah Weda, yaitu wahyu Hyang Widhi yang tidak dapat diubah. Menafsirkan Mantra harus dilakukan oleh orang-orang suci yang ahli di bidang itu agar tidak menyesatkan masyarakat.

Untuk menghindari salah pemahaman, mantra harus diucapkan dalam bahasa aslinya, yaitu Sanskerta, dengan irama tertentu. Mantra utama yang populer di masyarakat adalah Puja Trisandya bait pertama yang dikenal sebagai Mantram Gayatri.

Mantra boleh diucapkan oleh siapa saja asalkan cara mengucapkannya benar, untuk tujuan suci, dalam situasi sakral, dan keluar dari lubuk hati kesucian. Mengucapkan mantra juga dapat disebut sebagai Memantra atau Maweda.

Para Pandita/ Pedanda (atau umumnya disebut Wiku) tidak dapat dikatakan memantra atau maweda karena Weda tidak diucapkan secara utuh baik pada waktu Nyurya Sewana maupun ketika muput karya.

Apa yang diucapkan sudah bercampur antara mantra dengan doa/ rapal dalam bahasa Kawi. Oleh karena itu beliau disebut MAPUJA atau MAMEOS.

Selain itu perlu diketahui bahwa Trisandya bukanlah mantram, tetapi Puja karena tidak seluruh baitnya Weda (Catur Weda).

Mudah-mudahan dengan penjelasan ini anda dapat membedakan antara: SONTENG, PUJA, DAN MANTRA.

Sumber : Stitidharma.org.

CARA MENGUJI KERAUHAN BENAR ATAU BOHONG – BOHONGAN

CARA MENGUJI KERAUHAN BENAR ATAU BOHONG – BOHONGAN

Membahas masalah kerauhan di forum resmi atau setengah resmi alias obrolan  di bale banjar, dalam seminar setengah resmi seperti itu, seorang nara sumber dengan mengutif informasi yang dia peroleh, menggatakan ada tiga cara untuk membuktikan orang itu benar kerauhan atau bohong-bohongan.

Cara pertama
Di sulut  api dari kluping (tangkai atau pembungkus bunga) kelapa gading. bila tidak terbakar berarti benar kerauhan. Namun cara ini cukup riskan, karena kalau terbakar kita bisa di tuntut menganiaya orang itu.
Jalan keluar yang lain untuk menghindari tuntutan hukum ini, disodorkan api pasepan yang besar, kalau dia berani nakep (menaruh tangannya) diatas api besar itu, berarti benar kerauhan. Dan tidak bakalan di tuntut menganiaya orang karena kita Cuma menyodorkan saja, atas kemauan sendirilah menyentuh api itu atau tidak. Mungkin yang merasa punya ilmu kebal boleh coba-coba cara ini.

Cara kedua
Ambil air dalam baskom dan isi dengan berbagai bunga, celupkan tangannya, kemudian lihat telapak tangannya. Bila tidak ada air yang nempel di telapak tangannya, berarti benar kerauhan.

Cara ketiga
Ambil debu di tanah, kemudian oleskan di telapak tangannya, kemudian usap-usapkan kedua telapak tangannya agar debu-debu jatuh. Terus ambil kain putih atau tissu, oleskan di telapak tangannya. Kalau tidak ada debu sama sekali yang nempel berarti benar kerauhan.

Ketiga cara ini bisa di gunakan sekaligus, kalau seseorang bisa melewati ketiga ujian ini dengan aman, berarti benar dia kerauhan.                                                                                                           Semoga bermanfaat untuk semeton.

Sumber : OrtiBali.com

STRUKTUR PADMASANA SERTA FUNGSI TINGKATANYA DALAM AGAMA HINDU DI BALI.

STRUKTUR PADMASANA
SERTA FUNGSI TINGKATANYA
DALAM AGAMA HINDU
DI BALI.

Sebelum kura-kura di paling bawah adalah yoni yang merupakan bangunan berbentuk tepas yang disebut pradana dan prakerti. Di atas yoni ada bunga teratai yang merupakan simbol stana Dewa Brahma (Brahma Bhaga). Dewa Brahma disimbolkan sebagai Bunga teratai karena dalam Kitab Purana (Brahma Purana, Wisnu Purana dan Siwa Purana), disebutkan Dewa Brahma lahir dari Bunga Teratai yang keluar dari pusar Brahman.

Kura-kura (empas) Bhedawangnala
Bhedawangnala ini dililit oleh dua ekor naga.

Kura-kura merupakan simbol stana Dewa Wisnu (Wisnu Bhaga). Bhedwangnala berasal dari Bahasa Kawi, ‘bheda’ yang berarti lain, kelompok, selisih, dan ‘wang’

Artinya peluang, kesempatan, ‘nala’ artinya api. Jadi Bhedawangnala adalah sekelompok yang meluangkan adanya api. Pengertian api ini bisa berarti nyata sebagai api bumi alias magma, dan bisa bermakna simbol dari energi kekuatan hidup.

Karena letaknya di bawah maka Bhedawangnala ini bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga dan ditumbuh-kembangkan.

Naga 2 ekor
Kedua naga ini, Naga Anantabhig dan Basuki, membelit kura-kura.

Bangunan dasar padmasana dengan kura-kura dan naga ini berdasarkan pada cerita pemutaran Mandara Giri. Cerita mengenai usaha para dewa dan para raksasa mencari thirta amerta dengan jalan mengaduk lautan air susu (ksirarnawa). Tongkat pengaduknya mempergunakan Gunung Mandara, sedangkan sebagai dasarnya Dewa Wisnu mengubah dirinya menjadi kura-kura untuk penyangga. Tali pengikat gunung Mandara diminta Sang Hyang Ananta Bhoga. Kenapa dalam padmasana ada 2 naga dan disebutkan sebagai Naga Anatabhoga dan Naga Basuki?

Dalam Lontar Cri Purwana Tatwa dilukiskan bahwa pada saat manusia di dunia mengalami bencana kelaparan, Ida Sang Hyang Widhi memerintahkan Sang Hyang Tri Murti untuk terjun ke pertiwi. Batara Brahma berubah wujud menjadi Naga Anantanhoga, bulu-bulunya menjadi tumbuh-tumbuhan sehingga makmurlah manusia. (ananta = tidak habis-habisnya, bhoga = sandang, pangan dan papan).

Batara Wisnu terjun ke samudra sebagai Naga Basuki dan memberikan kekuatan hidup kepada air sehingga tumbuh-tumbuhan subur dan berbuah lebat. Sedangkan Batara Iswara turun ke angkasa dan berubah menjdan adi Naga Taksaka.

Jadi sebenarnya ada 3 naga dalam padmasana yaitu Naga Anantabhoga sebagai simbol dari tanah dan batu-batuan yang membungkus magma (Bhedawangnala). Lapisan berikutnya adalah lapisan air (air laut, danau sungai) yang disimbolkan dengan Naga Basuki. Sedangkan lapisan terakhir adalah udara yang di angkasa, disimbolkan sebagai naga yang memakai sayap.

Naga Anantabhoga dan Basuki membelit kura-kura, sedangkan Naga Taksaka (yang bersayap) digambarkan pada singgasana di bagian atas dari padmasana yang berbentuk menyerupai kursi, Untuk segi estetika Naga Taksaka ini dilukiskan 2 ekor, di kanan dan kiri kursi.

Naga Anantabhoga dan Basuki melambangkan alam bawah atau bhur loka. Badan padma termasuk singgasana melambangkan alam bwah dan madya loka sebagai atmosfer bumi. Sedangkan swah loka tidak dalam wujud bangunan tetapi pesimpen pedagingan.

Patung Garuda
Terletak di bagian belakang padmasana.
Merupakan kendaraan Dewa Wisnu, simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.

Patung Angsa
Terletak di bagian belakang padmasana.
Merupakan simbol Sang Hyang Saraswati bermakna sebagai ilmu pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.

Karang Gajah, Karang Boma, Karang Buun, dll
Hiasan ini merupakan simbol keanekaragaman alam semesta.
Dari semua uraian di atas, kita bisa simpulkan bahwa padmasana merupaan stana Hyang Widhi Wasa yang dengan kekuatanNya telah menciptakan manusia sebagai makhluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.

Lokasi Padmasana :

Berdasarkan arah mata angin, padmasana dibedakan dalam 9 yaitu:
1. Padma Kancana : lokasi di timur menghadap ke barat
2. Padmasana: lokasi di selatan menghadap ke utara
3. Padmasari: lokasi di barat menghadap ke timur
4. Padmasana Linga: lokasi di utara menghadap ke selatan
5. Padma Asta Sadana: lokasi di tenggara menghadap barat laut
6. Padma Noja: lokasi di barat daya menghadap ke timur laut
7. Padma Karo: lokasi di barat laut menghadap ke tenggara
8. Padma Saji: lokasi di timur laut menghadap ke barat daya
9. Padma Kurung: lokasi di tengah-tengah, ada 3 ruangan, puncaknya menghadap ke pintu keluar.

Bentuk padmasana:

1. Padma Anglayang: memiliki singgasana bebauran marong tiga, strukurnya 7 palihan, pada dasarnya memakai Bhedawangnala yang dibelit naga.
2. Padma Agung: memiliki singgasana marong kalih, strukturnya 5 palihan, pada dasarnya memakai Bhedawangnala yang dibelit naga.
3. Padmasana: memiliki singgasana bebaturan marong siki, struktur 5 palihan, pada dasarnya memakai Bedawangnala dibelit naga.
4. Padmasari marong siki, strukturnya mapalih 3 yaitu dari bawah ke atas Palih Taman, Palih Sancak dan Palih Sari. Tidak memakai Bedawangnala dan naga.
5. Padma Capah marong siki, strukturnya mepalih kalih, yaitu ring sor disebut Palih Taman dan ring luhur disebut Palih Capah. Tidak memakai Bedawangnala dan naga.

Bangunan padma dibedakan dari bentuk, struktur dan jenisnya, namun mempunyai fungsi yang sama yaitu tempat atau stana Hyang Widhi Wasa, Selain itu jenis padma juga dibedakan dari proses penyelesaian upacara, pemelaspas dan penyuciannya.

Karena Pura merupakan tempat suci maka pada saat pemilihan lokasi pun sudah ada aturan-aturan yang harus diikuti. Lokasi yang dipilih harus tempat yang suci, tanah berbau harum, pada arah matahari terbit (lereng gunung, pada umumnya timur atau utara) serta harus merupakan arah hulu.

Setelah lokasi dipilih maka melakukan persiapan pembangunan, ngeruak karang, nyukat karang, nasarin, memakuh, ngurip-urip (mendem pedagingan). Untuk tahapan pembangunan Pura akan dbahas secara khusus.

Sumber : hindualukta

REINKARNASI / PUNARBAWA DALAM AGAMA HINDU

REINKARNASI / PUNARBAWA
DALAM AGAMA HINDU


Kelahiran kembali dalam Hindu sesuatu hal yang ditunggu karena berhubungan dengan Tri Rna pertama yang harus dibayar oleh manusia yaitu hutang kepada leluhur. Akan tetapi Punarbhawa juga sekaligus harus dihindari karena dia merupakan penghambatan tujuan Hindu itu sendiri. Punarbhawa akan menjadi tujuan adalah jika mendapatkan kelahiran dalam raga sarira dan sukma sarira yang lebih baik dibandingkan ketika dalam kehidupannya sekarang sebelum meninggal (Nala, 2001). Rna yang kedua adalah hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menyebabkan kita ada di dunia ini dan Rna yang ketiga hutang kepada para Rsi yang telah mendidik manusia untuk belajar kebenaran (satyam, siwam dan sundaram).

Perjalanan panjang atman menuju Siwa Lokha tentu banyak hambatan dan tantangan. Hambatan paling utama dan pertama adalah kebingungan (unconsciousness) jati diri atman dalam tubuh manusia yang terikat oleh Panca Maya Kosa. Dalam Taittiriya Upanisad disebutkan annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, widnyanakosa dan anandamayakosa. Proses kosmis dalam 5 tahapan inilah yang selalu mengaburkan realitas tak terbatas yang tidak terbagi itu.

Punarbhawa bertujuan agar kita bisa memiliki raga dan sukma sarira yang lebih baik, untuk itu sebaiknya kita mampu memilih garbha (kandungan) yang baik. Menurut Pandita Mpu Nabe Daksa Samyoga (2007) ada beberapa cara untuk mencapai ini: Setelah 3 ½ hari pertama kematian kebanyakan orang belum bisa menyadari kematian dirinya. Untuk menyadari hal itu, maka si mati (?) harus berdoa dan mohon bantuan dari Keberadaan Pintu Garbha yang terbuka dan tertutup. Jika melihat orang melakukan senggama jangan tertarik dan tergoda, karena pintu Garbha bisa tertutup kembali. Kita bisa lahir kembali dengan 4 cara melalui: kandungan seorang ibu, telur, biji-bijian, dan cara lain yang bersifat supra natural. Kalau tergesagesa dan salah memilih cara lahir, kita bisa lahir menjadi hewan atau bahkan menjadi tumbuhan. Memilih Garbha begitu penting ketika kita ingin lahir kembali agar bisa menikmati alam dunia yang indah ini. Ada 8 tanda Gharba dengan artinya masing-masing sbb:

Danau dan angsa, sebagai pertanda kita lahir keluarga mapan dan nyaman.
Bangunan-bangunan megah, pertanda peningkatan kesadaran dan kemurnian di dunia yang akan datang.

Danau dan kuda-kuda yang berkeliaran di tepinya, kita akan memperoleh kekayaan tapi kesejahteraan yang semu.

Danau yang dikelilingi oleh hutan yang luas dengan berbagai macam binatang berkeliaran, kita dapat usia yang panjang, tetapi tidak menunjang kehidupan spiritual.

Tempat suci dan Pura yang megah, kita akan lahir dalam alam para Dewata atau lahir dalam keluarga yang religius yang sangat membantu proses kemurnian jiwa kita.

Belukar dan api yang membara, kita akan lahir dalam keluarga yang mengagungkan kekuatan dan kesaktian.

Gua-gua yang gelap atau lubanglubang yang besar yang tertutup kabut, kita akan lahir pada mereka yang masih bersifat hewani.

Bersamaan terlihat padang pasir yang luas, hutan belukar yang gelap, gua-gua yang sunyi dan lapangan tanpa habitat, kita akan lahir dalam kehidupan yang tidak berarti.

Itulah sebabnya kita harus memusatkan pikiran kita sebelum kematian menjemput agar kematian itu menjadi sesuatu yang indah yang diimpikan semua orang.

Sumber : Media Hindu / www.lenteradharma.com

Sarana Upakara (Banten) Otonan dan Maknanya

Sarana Upakara (Banten) Otonan dan Maknanya


Otonan merupakan hari ulang tahun ala masyarakat Bali. Otonan dalam kehidupan masyarakat pulau Dewata diperingati sebagai rasa syukur kepada Dewata karena atas kehendak Beliau kita dapat lahir.

Kelahiran menjadi manusia bagi Umat Hindu merupakan kesempatan yang sangat utama, karena di antara berbagai mahluk hidup di alam semesta ini, hanya manusia yang dapat memperbaiki hidupnya dengan jalan berbuat baik sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Otonan juga memiliki makna sebagai penyucian. Hari kelahiran umat Hindu di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali diperingati berdasarkan kalender Bali-Jawa yang disebut pasaran. Kalender ini mempergunakan perhitungan Wuku yang jumlahnya 30 Wuku (210 hari) dalam satu tahun Jawa-Bali, Sapta Wara (Pasaran Tujuh) dan Panca Wara (Pasaran Lima).

Jadi hari kelahiran seseorang diperingati setiap enam bulan sekali menurut perhitungan 35 hari sekali) atau Pitu Wulanan di Jawa dengan perhitunga setiap bulannya 30 hari. Misalnya seorang yang lahir pada hari Rabu Wage Wuku Klawu atau Buda Cemeng Klawu, maka setiap hari tersebut datang dalam jangka waktu 210 hari disebut hari Otonan.

Adapun beberapa sarana yang biasa digunakan dalam upacara Otonan adalah sebagai berikut:

 1. Banten Byakala atau Byakaon
Byakala atau Byakaon: Alasnya berupa Sidi, tempeh berlubang untuk menyaring tepung, sebagai alat pemisah yang bersih dan yang kotor. Di atas sidi ditaruh sebuah taledan (alas dari janur), raka-raka (buah-buahan) lengkap. Di tengah-tengah taledan diisi sejumput beras, benang dan sebuah sirih tampelan. Di atasnya ditempatkan kulit peras (ukiran dari tiga pucuk daun pandan).

Di atas kulit peras, diisi nasi yang dibungkus, satu slekos jajan sumping, satu slekos segi tiga jajan. Kojong (daun pisang) rangkadan. Sampiyan nagasari, sesedep berisi beras dan benang putih. Coblong (tempat air) berisi air dan sebuah padma (dari janur). Satu tanding pabresihan payasan. Satu takir isuh-isuh bersi sapu lidi, tulud, sambuk, danyuh dan satu takir benang merah.

🌺 Makna Banten Byakala
Sesuai dengan namanya banten ini mengandung makna simbolis untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. Sampeyan dari 3 pucuk daun pandan menunjukkan supaya kekuatan negatip itu menjauh, selanjutnya dikondisikan supaya yang bersangkutan bersih lahir dan batin dengan adanya sapu lidi, tulud dan sebagainya. setelah bersih diri lahir dan batin barulah seseorang menghadap Sang Hyang Widhi dan para leluhur.

2. Banten Peras
Peras alasnya berupa Taledan, diisi raka-raka (buah-buahan) lengkap, kulit peras yang dialasi beras dan di atasnya ditaruh nasi berupa 2 buah untek, sirih tampelan, benang dan kojong rangkadan. Dilengkapi dengan sampiyan peras atau pengambeyan, dapat dilengkapi dengan ayam panggang atau tutu dan canang sari.

🌺 Makna Banten Peras
Banten Peras sesuai dengan namanya memohon keberhasilan, sukses atau prasidha (Sidhakarya)nya sebuah Yajña. Di dalamnya juga terkandung permohon kepada Sang Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Tri Murthi, guna menyucikan Tri Guna (sifat Sāttwam, Rājah dan Tāmah) pada diri manusia.

 3. Banten Pengambeyan
Banten ini memiliki alas berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap dilengkapi dengan jajan bantal pengambeyan, nasi berupa 2 tumpeng yang ditengah-tengahnya disandarkan ketipat pengambeyan, 2 buah tulung pengambeyan yang berisi nasi, kacang saur, kojong rangkadan dan ayam panggang. Sampiyan pengambeyan dan sebuah canang.

🌺 Makna Banten Pengambeyan
Kata Ngambe berarti memanggil atau memohon. banten Pengambeyan mengandung makna simbolis memohon karunia Sang Hyang Widhi dan para leluhur guna dapat menikmati hidup dan kehidupan senantiasa berdasarkan Dharma di bawah lindungan dan kendali Sang Hyang Widhi dan para Leluhur. Disini muncul permohonan ketegaran dan ketangguhan untuk menghadapi tantangan hidup dan kehidupan.

4. Banten Ajuman atau Sodan
Banten ini memiliki alas berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasinya berupa 2 kelompok kecil nasi sodan, ulam (daging) dalam ceper (rerasmen) atau dalam ituk-ituk dan canang. Sodan yang lebih lengkap dapat diisi sampiyan slangsang atau sampiyan cili dan dilengkapi dengan ayam panggang, atau tutu, dapat diisi ketupat kelanan.

🌺 Makna Banten Ajuman atau Sodan
Banten Ajuman atau Sodan maknanya mempersembahkan makanan yang dilengkapi dengan sirih (canang) karena umat manusia diwajibkan mempersembahkan terlebih dahulu apa saja yang mesti dinikmati. Seseorang yang menikmati makanan tanpa mempersembahkan terlebig dahulu kepada-Nya, dinyatakan sebagai pencuri yang menikmati pahala dosanya sendiri.

5. Banten Sayut Lara Mararadan
Banten ini memiliki alas berupa tamas sesayut. Raka-raka (buah-buahan) lengkap. Nasi: Di atas sebuah kulit sayut, sebagian memakai tepi (masebeh) berisi nasi maura dan kacang saur. Dilengkapi 3 tanding kojong rangkadan. Ditancapkan 3 batang linting kapas berisi celupan minyak kelapa. Waktu natab linding dinyalakan. Sampiyannya: nagasari, sasedep, wadah uyah, penyenang, lis- padma, pabresihan payasan. Dilengkapi 1 buah kelapa gading muda (dikasturi/dibuka) yang airnya digunakan untuk dicipratkan dengan memakai lis padma yang berfungsi menghanyutkan lara dan canang.

🌺 Makna Banten Sayut Lara Mararadan
Banten ini mengandung makna keselamatan, mohon kesejahtraan, dan berkurang serta lenyapnya semua jenis penyakit, apakah sakit karena kekuasaan alam, seperti cuaca yang buruk, vbanjir besar dan sebagainya, penyakit yang disebabkan oleh virus atau kuman, atau penyakit yang disebabkan oleh kurang mampunya seseorang mengendalikan disi (psikosomatik), dan lain-lain.

 6. Banten Dapetan
Banten ini memiliki alas berupa taledan, raka-raka (buah-buahan) lengkap.Nasinya berupa 1 tumpeng, kojong rangkadan. sampiyannya jeet goak, sasedep berisi benang putih. Diisi penyenang (berupa tumpeng 3 buah) dan canang.

🌺 Makna Banten Dapetan
Banten ini mengandung makna seseorang hendaknya siap menghadapi kenyataan hidup dalam suka dan duka. Harapan setiap orang tentunya berlimpahnya kesejhatraan dan kebahagiaan, panjang umur dan sehat walafiat. banten ini juga sebagai ungkapan berterima kasih, mensyukuri karunia Tuhan Yang maha Esa (Santosa) karena telah diberikan kesempatan untuk meniti kehidupan dan memohon senantiasa tidak jauh dari lindungan-Nya.

Sumber dan Foto : hindualukta.com

MAKNA CANANG SARI DALAM AGAMA HINDU DI BALI.

MAKNA CANANG SARI
DALAM AGAMA HINDU
DI BALI.

 Canang Sari merupakan upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura, tempat sembahyang kecil di rumah-umah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi. Dikutip dari berbagai bersumber menyebutkan bahwa canang sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.

Canang sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang berasal dari kata “Can” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.

Unsur-unsur dari canang sari pun mempunyai makna dan simbolisme yaitu sebagai berikut:


1. Ceper,  merupakan sebuah alas dari canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.

2. Beras (Wija/Pija), merupakan sebuah lambang Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.

3. Porosan, biasanya terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yang terdiri dari Bayu (perbuatan), Sabda (perkataan), dan Idep (pikiran).Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

4. Jajan,Tebu & Pisang, ketiga itu merupakan simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.

5. Sampian Uras / Duras, melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya (“delapan karakteristik’) yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.

6. Bunga, merupakan salah satu bagian yang membuat canang terlihat lebih menarik. Dan setiap warna dan peletakan bunga pada canang mempunyai makna atau melambangkan sesuatu.

Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.
Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa.
Bunga berwarna Biru atau Hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu.
Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
7. Kembang Rampai, memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bungai ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.

8. Lepa/ Boreh Miyik, merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.

9. Minyak Wangi, melambangkan ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.

Sumber : iniputbali.com

Sejarah Gunung Agung

Gunung Agung

Sejarah bali mencatat letusan gunung agung :

Misteri Dibalik Letusan Gunung Agung di Bali - Biasanya dibalik letusan gunung berapi ada sebuah misteri yang terkandung didalamnya, seperti misteri yang satu ini. Saat gunung Merapi di Jogja meletus, Indonesia geger dan terenyuh dengan meninggalnya Mbah Marijan sang juru kunci gunung Merapi tersebut, tapi kalau kita lihat saat tahun 1963 gunung Agung meletus di Bali, tak hanya juru kunci gunung Agung nya yang tak mau mengungsi, bahkan hampir semua lelaki dewasa dari beberapa desa “menyambut” lahar tumpahan gunung Agung tersebut.

Gunung Agung merupakan sebuah gunung vulkanik tipe monoconic strato yang tingginya mencapai sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi di Bali ini termasuk muda dan terakhir meletus pada tahun 1963 setelah mengalami tidur panjang selama 120 tahun.

Sejarah aktivitas Gunung berapi Agung memang tidak terlalu banyak diketahui. Catatan sejarah mengenai letusan gunung ini mulai muncul pada tahun 1808. Ketika itu letusan disertai dengan uap dan abu vulkanik terjadi. Aktivitas gunung ini berlanjut pada tahun 1821, namun tidak ada catatan mengenai hal tersebut. Pada tahun 1843, Gunung Agung meletus kembali yang didahului dengan sejumlah gempa bumi. Letusan ini juga menghasilkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung.

Sejak 120 tahun tersebut, baru pada tahun 1963 Gunung Agung meletus kembali dan menghasilkan akibat yang sangat merusak. Berdasarkan buku yang dikarang Kusumadinata pada tahun 1979 gempa bumi sebelum letusan gunung berapi yang saat ini masih aktif tersebut terjadi pada 16-18 Februari 1963. Gempa tersebut dirasakan dan didengar oleh masyarakat yang hidup di sekitar Gunung Agung.

Letusan Gunung Agung yang diketahui sebanyak 4 kali sejak tahun 1800, diantaranya : Di tahun 1808 ; Dalam tahun ini dilontarkan abu dan batu apung dengan jumlah luar biasa. 1821 Terjadi letusan normal, selanjutnya tidak ada keterangan. Tahun 1843 Letusan didahului oleh gempa bumi. Material yang dimuntahkan yaitu abu, pasir, dan batu apung.

Selanjutnya dalam tahun 1908, 1915, dan 1917 di berbagai tempat di dasar kawah dan pematangnya tampak tembusan fumarola. 1963 Letusan dimulai tanggal 18 Pebruari 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Januari 1964. Letusan bersifat magnatis. Korban tercatat 1.148 orang meninggal dan 296 orang luka.

Karakter Letusan
Pola dan sebaran hasil letusan lampau sebelum tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963 menunjukkan tipe letusan yang hampir sama, diantaranya adalah bersifat eksplosif (letusan, dengan melontarkan batuan pijar, pecahan lava, hujan piroklastik dan abu), dan efusif berupa aliran awan panas, dan aliran lava (Sutukno B., 1996).

Periode Letusan
Dari 4 kejadian letusan masa lampau, periode istirahat Gunung Agung dapat diketahui yakni terpendek 16 tahun dan terpanjang 120 tahun.

Letusan 1963 ; Kronologi Letusan tahun 1963.
Lama letusan Gunung Agung tahun 1963 berlangsung hampir 1 tahun, yaitu dari pertengahan Pebruari 1963 sampai dengan 26 Januari 1964, dengan kronologinya sebagai berikut : .

16 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi ringan oleh penghuni beberapa Kampung Yehkori (lebih kurang 928 m dari muka laut) di lereng selatan, kira-kira 6 kilometer dari puncak Gunung Agung.

17 Pebruari 1963 : Terasa gempa bumi di Kampung Kubu di pantai timur laut kaki gunung pada jarak lebih kurang 11 km dari lubang kepundannya.
18 Pebruari 1963 : Kira-kira pukul 23.00 di pantai utara terdengar suara gemuruh dalam tanah.

19 Pebruari 1963 : Pukul 01.00 terlihat gumpalan asap dan bau gas belerang. Pukul 03.00 terlihat awan yang menghembus dari kepundan,makin hebat bergumpal-gumpal dan dua jam kemudian mulai terdengar dentuman yang nyaring untuk pertama kalinya. Suara yang lama bergema ini kemudian disusul oleh semburan batu sebesar kepalan tangan dan diakhiri oleh sembuaran asap berwarna kelabu kehitam-hitaman . Sebuah bom dari jauh tampak sebesar buah kelapa terpisah dari yang lainnya dan dilontarkan lewat puncak ke arah Besakih. Penghuni Desa Sebudi dan Nangka di lereng selatan mulai mengungsi, terutama tidak tahan hawa sekitarnya yang mulai panas dan berbau belerang itu. Di sekitar Lebih, udara diliputi kabut, sedangabu mulai turun.

Air di sungai mulai turun. Air di sungai telah berwarna coklat dan kental membawa batu dengan suara gemuruh, tanda lahar hujan permulaan. Penghuninya tetap tenang dan melakukan persembahyangan. Pukul 10.00 terdengar lagi suara letusan dan asap makin tebal. Pandangan ke arah gunung terhalang kabut, sedang hujan lumpur mulai turun di sekitar lerengnya.

Di malam hari terlihat gerakan api pada mulut kawah, sedangkan kilat sambung-menyambung di atas puncaknya.

20 Pebruari 1963 : Gunung tetap menunjukkan gerakan berapi. 06.30 terdengar suara letusan & terlihat lemparan bom lebih besar. 07.30 penduduk Kubu mulai panik, banyak diantara mereka mengungsi ke Tianyar, sedangkan penghuni dari lereng selatan pindah ke Bebandem dan Selat.

21 Pebruari 1963 : Asap masih tetap tebal mengepul dari kawah.

22 Pebruari 1963 : Kegiatan terus menerus berupa letusan asap serta loncatan api dan suara gemuruh.

23 Pebruari 1963 : Pukul 08.30 sekitar Besakih, Rendang dan Selat dihujani batu kecil serta tajam, pasir serta abu.

24 Pebruari 1963 : Hujan lumpur lebat turun di Besakih mengakibatkan beberapa bangunan Eka Dasa Rudra roboh. Penduduk Temukus mengungsi ke Besakih. Awan panas letusan turun lewat Tukad Daya hingga di Blong.

25 Pebruari 1963 : Pukul 15.15 awan panas turun di sebelah timurlaut lewat Tukad Barak dan Daya. Lahar hujan di Tukad Daya menyebabkan hubungan antara Kubu dan Tianyar terputus. Desa Bantas-Siligading dilanda awan panas mengakibatkan 10 orang korban. Lahar hujan melanda 9 buah rumah di Desa Ban , korban 8 orang.

26 Pebruari 1963 : Lava di utara tetap meleler. Lahar hujan mengalir hingga di Desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap tampak meningkat dan penduduk Desa Sogra, Sangkan Kuasa, Badegdukuh dan Badegtengah mengungsi ke selatan.

Di Lebih hujan yang agak kental dan gatal turun. Lahar terjadi di sekitar Sidemen. Juga lahar mengalir di utara di Tukad Daya dan Tukad Barak. Pukul 18.15 hujan pasir di Besakih. Pangi diliputi hawa belerang yang tajam sekali. Penduduknya mengungsi ke Babandem. Kemudian kegiatan Gunung Agung ini terus menerus berlangsung, boleh dikatakan setiap hari hujan abu turun, sementara sungai mengalirkan lahar dan lava terus meleler ke utara.

17 Maret 1963 : Merupakan puncak kegiatan. Tinggi awan letusan mencapai klimaksnya pada pk. 05.32. Pada saat itu tampak awan letusannya menurut pengamatan dari Rendang sudah melewati zenith dan keadaan ini berlangsung hingga pukul 13.00. Awan panas turun dan masuk ke Tukad Yehsah, Tukad Langon, Tukad Barak dan Tukad Janga di selatan. Di utara gunung sejak pukul 01.00 suara letusan terdengar rata-rata setiap lima detik sekali. Awan panas turun bergumpal-gumpal menuju Tukad Sakti, Tukad Daya dan sungai lainnya di sebelah utara. Mulai pukul 07.40 lahar hujan terjadi mengepulkan asap putih, dan ini berlangsung hingga pukul 08.10.

Pukul 08.00 turun hujan abu, pada pukul 09.20 turun hujan kerikil, dan sementara itu awan panas pun turun bergelombang.

Pada pukul 11.00 hujan abu makin deras hingga penglihatan sama sekali terhalang.

Pada pukul 12.00 lahar yang berasap putih itu mulai meluap dari tepi Tukad Daya. Baru pukul 12.45 hujan abu reda dan kemudian pukul 15.30 suara letusan pun berkurang untuk selanjutnya hilang sama sekali. Adapun sungai yang kemasukan awan panas selama puncak kegiatan ini adalah sebanyak lk. 13 buah di lereng selatan dan 7 buah di lereng utara. Jarak terjauh yang dicapainya adalah lebih kurang 14 kilometer, ialah di Tukad daya di utara. Sebelah barat dan timur gunung bebas awan panas. Lamanya berlangsung paroksisma pertama ini yakni selama lebih kurang 10 jam yakni dari pukul 05.00 hingga pukul 15.00.

21 Maret 1963 : Kota Subagan, Karangasem terlanda lahar hujan hingga jatuh korban lebih kurang 140 orang. Setelah letusan dahsyat pada tanggal 17 Maret ini, maka aktivitasnya berkurang, sedang suara gemuruh yang tadinya terus menerus terdengar hilang lenyap. Demikian leleran lava ke utara berhenti pada garis ketinggian 501,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m dari puncak.

16 Mei 1963 : Paroksisma kedua diawali oleh letusan pendahuluan, mula-mula lemah dan lambat laun bertambah kuat. Pada sore hari 16 Mei, kegiatan meningkat lagi terus meneru, hingga mencapai puncaknya pada pukul 17.07. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi kira-kira 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13. Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lebih kurang 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00. Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi lebih kurang 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13. Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lk. 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00.

Nopember 1963 : Tinggi asap solfatara/fumarola mencapai lebih kurang 500 m di ats puncak. Sejak Nopember warna asap letusan adalah putih.
10 Januari 1964 : Tinggi hembusan asap mencapai 1500 m di atas puncak.
26 Januari 1964 : Pukul 06.50 tampak kepulan asap dari puncak Gunung Agung berwarna kelabu dan kemudian pada pukul 07.02, 07.05 dan 07.07 tampak lagi letusan berasap hitam tebal serupa kol kembang, susul menyusul dari tiga buah lubang, mula-mula dari sebelah barat lalu sebelah timur mencapai ketinggian maksimal lebih kurang 4.000 m di atas puncak1980-an  Seluruh pinggir kawah tampak ditutupi oleh awan tersebut. Suara lemah tetapi terang terdengar pula.

27 Januari 1964 : Kegiatan Gunung Agung berhenti
Produk Letusan 1963 Lahar Hujan: Sesuai dengan letak geografi dari Gunung Agung yang bertindak sebagai penangkap hujan angin tenggara yang menghembus, lahar besar dimulai di lereng utara, kemudian di lereng timur menenggara untuk kemudian lambat laun bergeser ke jurusan barat dan mencapai klimaksnya di lereng selatan baratdaya. Lahar besar ke selatan mulai meluas pada ketinggian 500 m antara Rendang dan padangkerta. Kemudian di bawah Tukad Jangga, yakni di Tukad Krekuk dan Jasi, Bugbug dan akhirnya di Tukad Unda. Mengingat daerah utara terletak dalam bayangan hujan, laharnya bukan bayangan daripada endapan lepas, yang sebenarnya maksimal jatuh di sebelah sini.

Aliran Lava : Lava yang meleler antara 19 Pebruari dan 17 Maret 1963 mengalir dari kawah utama di puncak ke utara, lewat tepi kawah yang paling rendah, berhenti pada garis ketinggian 505,64 m dan mencapai jarak lebih kurang 7.290 m. Isi lava tersebut ditaksir sebanyak lebih kurang 339,235 juta m3.

Bahan Lepas : Terdiri dari bom gunungapi, lapili, pasir dan abu, baik berasal dari awan panas letusan maupun dari ledakan kawah pusat. Jumlah seluruhnya selama roda kegiatan berlangsung : Eflata (bom, pasir dan abu) lebih kurang 380,5 . 106 m3, Ladu lebih kurang 110,3 . 106 m3.

Awan Panas Gunung Agung : Di Gunung Agung terdapat dua macam awan panas, yakni awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi pada waktu ada letusan besar. Pada waktu itu maka bagian bawah dari tiang letusan yang jenuh dengan bahan gunung api melampaui tepi kawah dan meluncur ke bawah. Bergeraknya melalui bagian yang rendah di tepi kawah, ialah lurah dan selanjutnya mengikuti sungai. Kecepatan dari awan letusan ini menurut pengamatan dari Pos Rendang adalah rata-rata 60 km per jam dan di sebelah selatan mencapai jarak paling jauh 13 km, yakni di Tukad Luah dan di sebelah utara 14 km di Tukad Daya.

Menurut Suryo (1964) selanjutnya, awan panas guguran adalah awan panas yang sering meluncur dari bawah puncak (tepi kawah). walaupun tidak ada letusan dapat terjadi awan panas guguran. Dapat pula terjadi apabila terjadi bagian dari aliran lava yang masih panas gugur, seperti terjadi pada waktu lava meleler di lereng utara.

Daerah yang terserang awan panas letusan pada kegiatan 1963 terbatas pada lereng selatan dan utara saja, karena baik di barat maupun di sebelah timur kawah ada sebuah punggung. Kedua punggung ini memanjang dari barat ke timur. Awan panas letusan yang melampaui tepi kawah bagian timur dipecah oleh punggung menjadi dua jurusan ialah timur laut dan tenggara. Demikian awan panas di sebelah barat dipecah oleh punggung barat ke jurusan baratdaya dan utara. Awan panas letusan yang terjadi selama kegiatan 1963 telah melanda tanah seluas lebih kurang 70km2 dan menyebabkan jatuh 863 korban manusia.

Korban Kegiatan Gunung Agung
Menurut Suryo (1965, p.22-26) ada 3 sebab gejala yang menyebabkan jatuh korban selama kegiatan Gunung Agung dalam 1963, yakni akibat awan panas, piroklastika dan lahar. Akibat awan panas meninggal 820 orang, 59 orang luka. Akibat Piroklastika meninggal 820 orang, luka 201 orang. Akibat lahar meninggal 165 orang, 36 orang luka.

Kehebatan dan Energi : Kusumadinata (1964) telah menghitung energi dan kehebatan letusan Gunung Agung tahun 1963 dengan hasil sebagai berikut : kehebatan di level 4, Volume bahan letusan 0.83 km3, berat jenis 2,3 (d), Energi kalor yang dilepaskan 2,189.1025 erg (Eth), Kesetaraan bom atom : 2605,9 (Ae), Kebesaran letusan 8,99.

Dari catatan dan wawancara tim expedisi Ring of Fire, ada beberapa kisah memilukan juga “kemanusiaan” saat gunung Agung ini meletus, ini petikan dari hasil wawancara nya :
PURA di Badeg Dukuh dan Sogra hancur. Hampir seluruh bangunan ambruk diterjang awan panas. Menurut catatan Kusumadinata (1963), awan panas pagi itu telah menewaskan 109 warga Badeg Dukuh dan 102 warga Sogra.

Bagi sebagian orang, sikap warga Sogra dan Badeg mungkin dianggap mencari mati. Namun, tidak bagi masyarakat Bali waktu itu. Badeg Dukuh, menurut budayawan Bali, Cok Sawitri, memang bukan perdukuhan biasa. ”Kepala dukuhnya seperti juru kunci Gunung Agung, seperti Mbah Marijan (di Gunung Merapi, Yogyakarta). Dia bertugas berkomunikasi dengan Gunung Agung. Saat meletus, dia memang tak mau mengungsi,” katanya.

Budayawan yang berasal dari Karangasem ini pernah bertemu dengan saksi mata yang mengevakuasi korban awan panas di Badeg Dukuh. ”Mereka bilang, di pura itu seperti upacara penyambutan, semacam odalan. Saat ditemukan, para korban dalam posisi duduk menabuh gamelan. Kepala dukuh duduk dengan genta masih di tangan. Dia berdoa,” katanya.

Semua korban, menurut Cok Sawitri, berlapis debu. ”Saat disentuh langsung hancur.”

Cok yakin, orang-orang yang tewas di pura Badeg Dukuh itu sengaja menyambut letusan. ”Itu barangkali ungkapan kesetiaan sebagai kuncen,” katanya.

Keyakinan Cok Sawitri itu didasari cerita dari pamannya, Tjokorda Gde Dangin, yang pada saat letusan menjadi Perbekel Desa Sidemen, sekitar 20 kilometer dari Badeg Dukuh. Menjelang letusan pada Minggu pagi itu, anak-anak dari Badeg Dukuh, termasuk anak dari Kepala Badeg Dukuh, datang ke rumah Gde Dangin. Mereka meminta izin mengungsi di Sidemen karena Gunung Agung dipercaya akan meletus hebat.

”Paman lalu bertanya, bapak kalian mana?” kisah Cok Sawitri.

Anak-anak itu menjawab, ayah mereka tidak ikut karena harus mengiringi perjalanan Bathara Gunung Agung menuju samudra. ”Barangkali orang-orang di Badeg Dukuh itu disuruh memilih, mau menyambut letusan gunung itu atau mengungsi,” kata Sawitri.

Kisah Sawitri ini mengingatkan pada hasil penelitian Thomas A Reuter dalam Custodians of the Sacred Mountains (2002) yang menyebutkan bahwa orang-orang Bali di pegunungan merasa memiliki kewajiban suci melindungi pulau itu. Reuter mengutip pernyataan Jero Tongkong, tetua Bali Aga—sebutan orang luar terhadap masyarakat Bali pegunungan—yang mengatakan,”Kami menjaga pegunungan kehidupan ini, pura-pura asal-usul Bali: kami adalah dahan tua yang mendukung ujung yang segar. Jika kami mengabaikan tugas (ritual) kami, dunia akan berguncang dan seluruh penduduknya akan hancur lebur.”

Antropolog Universitas Indonesia, James Danandjaja dalam Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, 1980, juga mencatat tentang kisah orang-orang Trunyan yang tidak mau mengungsi saat Gunung Agung meletus hebat pada 1963. Padahal, letusan itu berdampak pula kepada masyarakat Trunyan yang desa induknya terletak di tepi Danau Batur.

Menurut Danandjaja, awan panas tidak langsung mengenai desa tersebut, tetapi hujan abu yang turun lebat menyebabkan sebagian tanah di kawasan itu menjadi tandus sehingga menimbulkan kelaparan. Lahar juga mengakibatkan sebagian besar desa induk Trunyan tersapu masuk ke dalam danau.

”Mereka tidak mau meninggalkan desa walau diperintahkan oleh Bupati Bangli untuk keluar dari kawah Gunung Batur purba, tempat desa induk berada,” tulis Danandjaja.

Yang mengungsi saat itu, menurut Danandjaja, hanya Perbekel (kepala desa) Trunyan, lantaran tidak mau menyinggung perasaan pemerintah daerah. ”Itu pun setelah beberapa hari, ia pulang kembali ke desa walaupun suara gemuruh dan gempa bumi belum reda,” tulisnya.

Danandjaja menggambarkan, masyarakat Bali sejak dulu begitu terikat dengan gunung-gunung yang mengelilingi mereka. Gunung menjadi pusat orientasi spiritual masyarakat.

Besakih saat Letusan

Menjulang 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) di tengah Pulau Bali, Gunung Agung merupakan gunung suci. Gunung tertinggi di Bali ini dipercaya sebagai perempatan agung atau sumbu Bumi yang menjadi persemayaman Bathara Mahadewa atau Hyang Tolangkir.

Kama Kusumadinata, vulkanolog Direktorat Geologi Bandung yang datang ke Bali pada saat kritis itu, menemukan sebagian masyarakat Bali meyakini bahwa penyebab letusan Gunung Agung tahun 1963 bersifat spiritual. Arahan dari jawatannya pun diabaikan. Padahal, Direktorat Geologi—lembaga pemerintah yang bertanggung jawab soal gunung api waktu itu—telah menetapkan zona bahaya Gunung Agung dalam radius 5 kilometer dari puncak.

Dalam laporan resmi kepada jawatannya berjudul Kegiatan Gunung Agung: tanggal 16 Febuari- 21 Maret 1963, Kusumadinata menyebutkan, sebagian masyarakat Bali lebih mempercayai ucapan orang yang kerasukan (trance). Beberapa informasi yang berhasil dikumpulkannya dari orang-orang trance itu, di antaranya, ”Bathara Gunung Agung marah dan mengancam akan meletus jika dalam jangka waktu satu minggu tidak dilaksanakan sesajen-sesajen dan permintaan lainnya yang akan dikemukakan oleh orang-orang yang kerasukan roh suci.”

Untuk mengatasi itu, tambah Kusumadinata, kemudian marak dilakukan upacara nyapuh agem dan manik sampih dengan bebantem berupa kerbau, angsa, kambing putih, dan aneka sesajen lainnya. ”Memang setelah itu terasa kegiatan Gunung Agung agak mereda,” tulis Kusumadinata.

Saat-saat kritis menjelang paroksimal pertama itu, masyarakat Bali tengah menyiapkan perayaan Eka Dasa Rudra pada 8 Maret 1963 di Pura Besakih, sekitar 6,5 km dari puncak Gunung Agung. Eka Dasa Rudra, menurut David J Stuart-Fox dalam Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali, 2010, merupakan upacara agama yang paling besar bagi umat Hindu-Bali karena itu harus diselenggarakan di pura terbesar dan paling utama: Pura Besakih.

Kusumadinata dan jajaran staf Direktorat Geologi, yang ditemui salah seorang panitia acara waktu itu, meminta agar upacara ditunda dulu seminggu hingga ada pemeriksaan lebih lanjut. Terjadi perdebatan alot. Upacara akhirnya tetap dilakukan pada tanggal yang sama.

Para peneliti dari Direktorat Geologi mengalah. Mereka berkompromi upacara hanya boleh digelar pada hari pembukaan saja, selebihnya disarankan agar Pura Besakih dikosongkan sejak 9 Maret 1963. Alasan pengosongan, menurut Kusumadinata, ”Terasa getaran tanah yang lain sekali dari semula dan mungkin menandakan akan terjadi letusan besar. Letusan terus-menerus, kemungkin bisa menyebabkan tangkis alam yang selama ini melindungi Besakih lama-lama runtuh.”

Sederet alasan yang disampaikan para ahli gunung api dari Direktorat Geologi itu pun tak mampu meyakinkan masyarakat Bali. ”Pengosongan Besakih tak dapat dilaksanakan,” tulis Kusumadinata.

Upacara Eka Dasa Rudra tetap digelar seperti yang direncanakan. ”Sepuluh ribu orang menghadiri upacara tersebut pada hari itu (8 Maret), termasuk gubernur, para kepala pemerintah daerah, dan tokoh-tokoh Bali yang terkemuka lainya,” tulis Stuart-Fox. Pada hari-hari setelah itu, sekitar 5.000 orang datang ke Pura Besakih walaupun terjadi hujan debu dan lapili—kerikil yang disemburkan gunung api. Ritual di Besakih terus digelar hingga 15 Maret, hanya dua hari sebelum letusan besar pertama terjadi.

Sepanjang masa letusan, bangunan dan tempat-tempat suci di Pura Besakih itu hanya mengalami kerusakan kecil. Warga yang berdoa di sana pun selamat. Bahkan, saat letusan besar pertama terjadi, Pura Besakih seperti tak tersentuh. Demikian pula pada letusan besar kedua pada 16 Mei 1963. Namun, Pura Besakih mengalami kerusakan besar karena gempa tektonik berkekuatan 6 skala Richter yang mengguncang Bali pada 18 Mei 19

Sumber :  www.serunik.com › Misteri

Selasa, 20 Desember 2016

Arti dan Makna Daksina di Bali


Daksina merupakan tapakan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa , dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina mempunyai beberapa fungsi atau tujuan yaitu sebagai berikut:
  • Permohonan kehadapan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar Beliau berkenan melimpahkan wara nugrahaNya sehingga mendapat keselamatan.
  • Sebagai persembahan atau tanda terima kasih yang dalam “Yadnya Patni”, disebutkan daksina selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan.
  • Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkanHyang Guru / Hyang Tunggal

Unsur-Unsur Daksina

Dalam daksina dibuat dari berbagai unsur yang mempunya maknanya masing-masing, yaitu sebagai berikut:
  1. Alas bedogan/srembeng/wakul/katung, terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
  2. Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina, terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
  3. Tampak, dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
  4. Beras, yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
  5. Sirih temple / Porosan, terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan.
  6. Kelapa, adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
  7. Telor Itik, dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu)
  8. Pisang, Tebu dan Kojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
  9. Buah Kemiri, adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan)
  10. Buah kluwek/Pangi, lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
  11. Gegantusan, merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
  12. Papeselan, terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
  13. Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya, godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
  14. Benang Tukelan, adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
  15. Uang Kepeng, adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
  16. Sesari, sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
  17. Sampyan Payasan, terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
  18. Sampyan pusung, terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria

Jenis - jenis daksina 

Daksina Alit
Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
Daksina Pekala-kalaan
Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
Daksina Krepa
Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
Daksina Gede atau
Daksina Galakan atau
Pemopog
Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:
Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan :
  • 5 x coblong beras
  • 5 butir kelapa yang di atasnya berisi benang putih tukelan kecil
  • 5 kojong tampelan letakkan berkeliling
  • 5 kojong pesel-peselan
  • 5 kojong gegantusan
  • 5 kojong tebu
  • 5 kojong pisang
  • 1 cepér berisi 5 buah pangi
  • 5 buah kemiri (tingkih)
  • 1 cepér berisi 5 butir telur bébék
    Sampiyannya : basé ambungan (kekojong dari janur berisi basé lembaran dan sampiyan sreyok – lihat gambar sebelah)
Semoga bermanfaat untuk semeton dan bisa menambah wawasan tentang Budaya, Adat dan tentang Hindu di Bali
Sumber :
http://inputbali.com/budaya-bali/tentang-arti-dan-makna-daksina-di-bali

Senin, 19 Desember 2016

Pendakian Gunung Rinjani 3726 m.dpl

Nama Rinjani sudah menggema lama di telinga saya. Banyak yang mempredikatkan gunung tersebut sebagai gunung terindah di Indonesia. Pantas saja lah, gunung yang juga menjadi gunung berapi yang tertinggi kedua di Indonesia itu punya banyak keistimewaan. Mulai dari keindahan savana Sembalun yang dimilikinya yang selalu saja membuat mata terpesona, disamping itu sejarah panjangnya hingga terbentuklah Danau Segara Anak yang begitu cantik di kalderanya, sampai cerita-cerita unik tentang keramahan porter-porter Rinjani yang  jago masak dan punya langkah seperti kuda serta kekuatan seperti unta. Semua bakal dibahas secara tuntas dalam catatan perjalanan ini berdasarkan fakta dan pengalaman yang telah saya dapatkan setelah akhirnya kesampaian juga mendaki gunung dengan sejuta pesona itu.
Perjalanan itu sudah saya nanti-nantikan sejak lama. Semua tentunya bakal dipersiapkan secara matang Mulai dari susun jadwal sampai pemanasan mendaki Rinjani dengan latihan lari setiap sore hakirnya saya dan 8 teman saya mendaki, awalnya kami kumpul di kampus STAHN Gde Pudja Mataram jam 5 untuk melakukan persembahyangan agar selamat dalam perjalanan maupun pendakian, lalu jam 7 kami brangkat menuju Sembalun, setelah sampai di lokasi kami membeli tiket masuk dan lalu ngejos mendaki awalnya saya merasa kecapean karena baru pertama mendaki gunung, namun rasa capek saya semakin hilang karena keinginan saya kepuncak gunung sangat tinggi setelah lumayan berjalan saya dan 8 teman saya beristirahat makan dan minum untuk memulihkan stamina, tak lama kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan mengejar target untuk sampai di Sembalun sore hari, kami pun dengan semangat mendaki hingga tak terasa terlewati pos 1,2,3,4 namun tak sesuai harapan kami tak sampai di pelawangan, pada saat itu saya dan 8 teman saya sampai di bawah pelawangan jam 7 karena situasi yang tidak memungkinkan untuk naik kami bersepakat untuk ngecamb, lalu saya dan teman-teman membagi tugas , masak dan pasang tenda lalu setelah makan kami sembahyang dan langsung istirahat memulihkan kondisi,  pada pagi hari kami bangun dan bergegas melanjutkan pendakian menuju pelawangan 

Setelah kami melanjutkan perjalanan saya dan teman-teman kewalahan dengan medan yang menanjak dan sedikit licin karna tanah pasir namun semua itu tak meluluhkan semangat kami dengan terus menerus kami melangkah akhirnya sampailah kami di plawangan saya sangat takjub akan keindahan dari danau Segara Anak yang luar biasa indahnya lalu saya dan teman-teman bergegas memasang tenda untuk menginap dan langsung akan kepuncak pada jam 12 malam, lalu saya bermain dan bernyanyi bersama teman-teman saya sekaligus menikmati keindahan gunung Rinjani tidak hanya sampai di situ dari depan tenda saya juga melihat gunung agung yang terpangpang jelas benar benar hal yang istimewa bagi saya akan keindahannya, tak terasa matahari pun terbenam malam pun menyelimuti langit,  saya dan teman-teman pun makan malam setelah itu kami sembahyang untuk keselamatan saat pendakian ke puncak, setelah itu kami langsung bergegas tidur, karena harus bangun jam 12 malam tak terasa sudah jam 12 saya di bangunkan oleh teman saya dan saya pun bergegas bangun dan langsung mempersiapkan  pendakian setelah selesai berkemas kami berdua terlebih dahulu agar selalu di lancar saat perjalanan setelah itu saya dan teman-teman bergegas untuk mendaki, dengan semangat tinggi saya melangkah sedikit demi sedikit Medan pendakian sangat sulit karena pasir, batu dan cuaca di atas yang bener-bener dingin namun optimis bisa mencapai puncak dengan semangat hakirnya saya dan teman-teman berhasil menuju puncak gunung Rinjani pada pukul 5.42 



benar-benar sangat bangga saya bisa mencapai puncak gunung berapi no 2 di Indonesia, rasa senang tercampur sedih karena tidak menyangka saya bisa sampai puncak dan saya senang karena saya bisa melihat sunrise dari puncak yang di kelilingi awan yang indah, tak terasa sudah semakin pagi saya pun bersama teman-teman bergegas turun karna angin mulai kencang, kami pun turun dengan gembira, Sesampai di pelawangan saya dan teman-teman bergegas turun ke danau untuk menginap, lalu turunlah kami dari pelawangan menuju danau disana lah saya merasa takut karena medan yang sangat ekstrim saya sangat berhati-hati untuk turun setelah melewati Medan yang ekstrim tak terasa persediaan air pun habis kami kebingungan karena air mau habis tapi saya tetap semangat dan hakirnya saya menemukan sumber air dan lalu bergegas mencarinya, setelah persediaan air terpenuhi kami pun bergegas melanjutkan perjalanan ke danau Segara Anak dan langsung mencari kayu bakar tak terasa sampailah saya di dana dan langsung bergegas memasang tenda, lalu saya, gusti dan bli buda memancing walaupun alat yang kami pakai sederhana namun sangat seru karena ikan yang kami dapat lumayan banyak tak terasa waktu sudah sore saya pun balik ke tenda untuk mengasi ikan yang akan di masak oleh bli Alit, menunggu masakan matang saya, gusti dan bli buda bergegas mandi di kalak, setelah mandi kami pun makan malam bersama setelah makan kami membuat suatu lingkaran bernyanyi dan bercanda untuk mengisi waktu, tak terasa cuaca semakin dingin kami pun bergegas istirahat tidur karena besok pagi-pagi sudah turun, pagi pun tiba saya dan teman-teman bergegas bangun dan berkemas-kemas setelah itu kami menyiapkan 8 bungkus makanan yang kami masak tadi malam untuk bekal saat turun, dan kami pun turun  jam 8 pagi dengan semangat walau Medan yang begitu susah untuk di lewati tak terasa langkah demi langkah sampailah saya dan teman-teman di gerbang Senaru dan lalu lagi melakukan perjalanan yang tinggal beberapa kg dan hakirnya kami pun di sambut dengan wajah yang sudah lelah tercampur kegembiraan.

Sejarah Gunung Rinjani

sumber info sejarah Gunung Rinjani

Dari info yang saya dapat, Gunung Rinjani dulunya sempat memiliki ketinggian ±5.000 mdpl pada masa Pleistosen. Oiya, Rinjani punya nama purba Gunung Samalas. Jenjang selanjutnya di masa yang sama terjadi erupsi dasyat yang pertama. Di jenjang ketiga mulai terbentuklah kaldera 7x6 km berbentuk elips akibat letusan paroksisma sekitar abad ke-13 berdasarkan data baru oleh Akira Takada dan Frank Lavigne. Jenjang keempat terbentuklah kerucut Rinjani muda di sisi timur kaldera diikuti letusan di abad ke-13. Hingga akhirnya di jenjang ke-5 kaldera tersebut terisi air dan terciptalah danau Segara Anak yang bisa kita nikmati keindahannya saat ini. Selain danau berwarna hijau tosca itu, terbentuk pula anak gunung Rinjani yang masih memperlihatkan aktifitas kegunungapiannya. Namanya Gunung Baru Jari yang bisa kita lihat dengan sangat jelas jika kita sudah berada di tepian Danau Segara Anak mau pun di Puncak Rinjani yang punya ketinggian 3.726 mdpl itu. Gunung Baru Jari tersebut punya elevasi 2.376 mdpl dan konon bisa jadi makin tinggi karena aktifitas vulkaniknya. Selain Gunung Barujari, aktifitas Rinjani juga menciptakan satu kerucut baru yang dinamakan Gunung Rombongan setinggi 2.110 mdpl. Kemunculannya diawali dengan gempa yang setara dengan 273,8 kali bom atom. Gempa itu disusul dengan kepulan asap dan hujan abu selama 7 hari pada tanggal 23-30 Desember 1944.


Sabtu, 17 Desember 2016

Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh


Awal Mula Munculnya Ogoh-Ogoh

Banyaknya versi yang beredar di masyarakat Bali yang menjelaskan tentang awal mula munculnya ogoh-ogoh. Agak sulit sebetulnya menentukan kapan awal mula ogoh-ogoh muncul. Namun, diperkirakan ogoh-ogoh tersebut dikenal sejak jaman Dalem Balingkang. Pada saat itu ogoh-ogoh digunakan pada saat upacara Pitra Yadnya. Pitra Yadnya adalah upacara pemujaan yang ditujukan kepada para pitara dan kepada roh-roh leluhur umat Hindu yang telah meninggal dunia.

Namun ada pendapat lain yang menyebutkan ogoh-ogoh tersebut terinspirasi dari Tradisi Ngusaba Ndong-Nding di Desa Selat Karangasem. Perkiraan lain juga muncul dan menyebutkan barong landung yang merupakan perwujudan dari Raja Jaya Pangus dan Putri Kang Cing Wei (pasangan suami istri yang berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) merupakan cikal-bakal dari munculnya ogoh-ogoh yang kita kenal saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu muncul tahun 70 – 80-an. Ada juga pendapat yang menyatakan ada kemungkinan ogoh-ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah merasa jenuh membuat patung yang berbahan dasar batu padas, batu atau kayu, namun di sisi lain mereka ingin menunjukan kemampuan mereka dalam mematung, sehingga timbul suatu ide untuk membuat suatu patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak dan dipertunjukan.
Bentuk Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh sendiri memiliki peranan sebagai simbol prosesi penetralisiran kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta (kekuatan alam). Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Kala yakni perwujudan makhluk yang besar dan menyeramkan.
Pada awal mula diciptakannya, ogoh-ogoh dibuat dari rangka kayu dan bambu sederhana. Rangka tersebut dibentuk lalu dibungkus kertas. Pada perkembangan jaman yang maju pesat, ogoh-ogoh pun terimbas dampaknya. Ogoh-ogoh makin berinovasi, dibuat dengan rangka dari besi yang dirangkaikan dengan bambu yang dianyam. Pembungkus badan ogoh-ogoh pun diganti dengan gabus atau stereofoam dengan teknik pengecatan.
Tema ogoh-ogoh pun semakin bervariasi, dari tema pewayangan, modern, porno sampai politik yang tidak mencerminkan makna agama. Tema ogoh-ogoh yang diharapkan adalah sesuai dengan nilai agama Hindu yaitu tidak terlepas dari Tuhan, Manusia dan Buta Kala sebagai penyeimbang hubugan ketiganya.
Ogoh-ogoh simbol Kala ini haruslah sesuai dengan sastra agama yang diatur dalam pakem. Tapi dari sudut pandang lain mengatakan ogoh-ogoh itu merupakan kreativitas anak muda yang mengeksploitasi bentuk gejala alam dan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat saat ini jadi tidak perlu adanya pembatasan ataupun pengekangan dalam berekspresi.
Makna Yang Terkandung Dalam Pawai Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia. Tradisi ini mengingatkan masyarakat Bali khususnya. Selain itu, ogoh-ogoh diarak keliling desa bertujuan agar kekuatan negatif yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh. Ritual meminum arak bagi orang yang mengarak ogoh-ogoh di anggap sebagai perwakilan dari sifat buruk yang ada di dalam diri manusia. Beban dari berat yang mereka gendong adalah sebuah sifat negatif, seperti cerminan sifat-sifat raksasa, ketika manusia menyadari hal ini.
Akhir pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat akan membakar figur raksasa ini, boleh jadi dikatakan membakar (membiarkan terbakar habis) sifat-sifat yang seperti si raksasa. Ketika semua beban akan sifat-sifat negatif yang selama ini mengambil (memboroskan) begitu banyak energi kehidupan seseorang, maka seseorang akan siap memulai sebuah saat yang baru. Ketika segalanya menjadi hening, masyarakat diajak untuk siap memasuki dan memaknai Nyepi dengan sebuah daya hidup yang sepenuhnya baru dan berharap menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya bagi dirinya dan segenap semesta.
Definisi Ogoh-Ogoh
Jika dilihat dari aspek tertentu ogoh-ogoh memiliki beberapa definisi. Bagi orang awam ogoh–ogoh adalah boneka raksasa yang diarak keliling desa pada saat menjelang malam sebelum hari raya Nyepi (Pengrupukan) yang diiringi dengan gamelan Bali yang disebut Baleganjur , kemudian untuk dibakar. Menurut Wilkipedia bahasa Indonesia, “Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala.”
Para cendekiawan Hindu mengambil kesimpulan bahwa proses perayaan ogoh-ogoh melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta, dan waktu yang maha dahsyat. Kekuatan itu dapat dibagi dua, pertama kekuatanBhuana Agung, yang artinya kekuatan alam raya, dan kedua adalah kekuatan Bhuana Alit yang berarti kekuatan dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini dapat digunakan untuk menghancurkan atau membuat dunia bertambah indah.
Kesimpulan
Ogoh-ogoh baru muncul pada awal tahun 70 – 80-an karena adanya spontanitas dari masyarakat dan kalangan remaja umat Hindu cetusan dari rasa semarak untuk memeriahkan upacara pengerupukan, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala dan juga jangan sampai menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu.
Ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara.
Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi yang dijiwai agama Hindu apalagi di era globalisasi ini. Ogoh-ogoh di jadikan sebagai sarana untuk menarik wisatawan mancanegara untuk datang ke Bali melihat pertunjukan arak-arakan Ogoh-ogoh sehingga dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat Bali.